http://sendang-wilisku.blogspot.com (blog-e konco dewe)

Selasa, 15 Juli 2014

Palestina

Pendeta Yahudi: Hamas Berhasil Tundukkan Israel di Kaki Rakyat Palestina


Roket pejuang Palestina yang ditembakkan ke wilayah Israel (islammemo.cc)
Roket pejuang Palestina yang ditembakkan ke wilayah Israel (islammemo.cc)
dakwatuna.com – Palestina. Mantan rabi (pendeta) Yahudi untuk militer Israel, Ovijaa Rontsakhi, mengakui bahwa gerakan Hamas berhasil menundukkan Israel dalam peperangan yang dikobarkan Israel sendiri saat ini, sebagaimana diberitakan Islam Memo (15/7/2014).
Dalam hal ini, Rontsakhi menolak kabar tentang keputusan terbaru Pemerintah Israel untuk menyetujui gencatan senjata dan menghentikan serangan ke Jalur Gaza. Menurut Rontsakhi hal itu sama artinya dengan mengakui kemenangan Hamas yang berhasil memaksa Israel “sujud” di kaki rakyat Palestina.
“Bagi Hamas tidak penting berapa jumlah korban dari kalangan musuh (Israel), karena target utama mereka adalah gambaran mental rakyat Israel yang ketakutan dan melarikan diri ke bunker-bunker perlindungan. Keputusan kabinet Netanyahu untuk gencatan senjata jelas akan menambah semangat pejuang Hamas, dan tentu menular kepada pejuang-pejuang kelompok Palestina lainnya,” tegasnya.
Lebih lanjut, Rontsakhi meminta Netanyahu membatalkan keputusan tersebut dengan alasan kewibawaan Israel dipertaruhkan sebagai pihak yang pertama kali memulai peperangan dan hingga kini tidak berhasil menewaskan para petinggi pejuang Hamas. Saat ini Rontsakhi menjabat sebagai rabi (pendeta) di permukiman Yahudi Itamar, sebelah timur Nablus, Tepi Barat. (islammemo/rem/dakwatuna)

Sumber: laman sebelah..

Selasa, 25 Februari 2014

Ayah: Sebuah Anugerah” Ungkapan Hati Seorang Anak

Malam ini, tak terasa air mata deras mengalir membasahi pipiku. Berteman notebook dan tumpukan buku, anganku bergegas menerawang kenangan masa lalu. Saat-saat membersama Ayah tercinta, yang begitu kental menjejakkan arti di kedalaman kalbu.
Adalah sebuah kisah, kenyataan juang seorang Ayah di desa terpencil, di Jawa Tengah. Usia yang tak lagi muda, tetap tak memupuskan semangat untuk membesarkan dan mendidik anak semata wayang sampai meraih cita yang diidamkan. Ia tak berpendidikan tinggi, layaknya saudara dan tetangga di kampungnya yang bisa sekolah sampai SMA bahkan perguruan tinggi. Ia hanya lulusan Sekolah Dasar. Fakta hidup bahwa ia adalah anak tertua di keluarga, membuatnya lebih dewasa, menjadi tumpuan kelangsungan hidup dan pendidikan adik-adiknya. Meski usia masih muda, ia adalah tulang punggung keluarga. Tak pernah terbesit sedikit pun berontak, berlari meninggalkan tanggung jawab, dan membiarkan kedua orang tuanya yang sudah menginjak lanjut usia mengurus keluarga. Alhasil, setamat SD ia langsung merantau mencari sesuap nasi untuk menghidupi kelima adik dan orang tua tercinta.
Tempaan hidup, kematangan, dan kesabaran memikul tanggung jawab sewaktu muda, membawanya menjadi pribadi yang berwibawa. Sampai, suatu saat ia ditinggalkan istri tercinta, yang mendahului bertemu Sang Pencipta. Saat Ibunda tutup usia, saya masih berumur 3 tahun. Saat itu, Ayah memutuskan untuk ‘tidak’ menikah kembali sebelum melihat buah hatinya besar dan sukses. Entah, jujur keputusan ini belum saya dengar langsung dari Ayah. Tak sedikit pun ia pernah bercerita tentang dirinya. Namun, dari kisah yang saya dapat dari teman dan kerabat dekatnya, begitulah Ayah bertekad.
Sesosok Ayah yang hebat. Itulah kalimat ringkas, yang meski sederhana tapi menurut saya cukup mewakili pengorbanan Ayah dalam memperjuangkan hidup dan penghidupan keluarga. Masih tersimpan dalam memori otak saya, beberapa episode mengharukan bersamanya.
Sewaktu kecil, melihat anak-anak berseragam putih merah berangkat menimba ilmu, saya merengek minta masuk sekolah. Segala upaya dilakukan Ayah, kakek, dan nenek untuk meredam ‘tindakan aneh’ saya yang menginginkan sekolah. Saat itu kata guru SD usia saya belum mencukupi kriteria masuk sekolah. Tak lazim anak seumuran saya sudah masuk sekolah, harus menunggu waktu setahun lagi baru boleh mengenyam pendidikan SD (‘kebijakan’ yang baru saya sadari berbeda dengan kenyataan di kota besar, usia saya saat itu sebenarnya sudah diperbolehkan sekolah). Berulang kali Ayah menjelaskan kepada saya alasan kenapa tidak boleh sekolah saat itu. Namun, berulang kali juga rengekan saya menjadi-jadi. Akhirnya, dengan segala upaya Ayah mencoba menuturkan keinginan saya ke pihak sekolah. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa mengenyam pendidikan Sekolah Dasar. Dari sini saya belajar, betapa rasa sayang sesosok lelaki ber-‘mahkota’ Ayah sangat tinggi terhadap buah hatinya.
Lain waktu, saat saya duduk di bangku SLTP, ada kejadian yang tak kalah mengharubirukan hati. Kala itu, hujan semalam yang mengguyur bumi menyisakan limpahan air bah banjir di desa dan kecamatan kami. Pagi hari menjelang jam berangkat sekolah, dengan sisa-sisa air banjir yang masih mengalir deras menyusuri jalanan tak beraspal, tak mungkin bagi saya naik sepeda seperti biasa karena jalanan becek. Pun, tak mudah bagi saya mendapatkan angkutan umum semacam mini bus karena pagi itu jam padat anak sekolah dan pedagang. Di tengah kesulitan dan keinginan masuk sekolah tersebut, Ayah menyambut dengan tindakan. Ia akan mengantarkan saya ke sekolah dengan sepeda tuanya. Artinya, ia menerjang deras nya aliran banjir, mengalahkan liatnya tanah yang menempel di roda-roda sepeda, serta menempuh minimal setengah jam perjalanan dari rumah ke sekolah yang berada di pusat kecamatan. Itulah Ayah. Ia mengajari ku arti pengorbanan. Tak ada rasa malu baginya mengantarkan buah hati menuju cita-cita ‘bersekolah’ meski hanya berbekal sepeda tua, berlomba menunjukkan ‘cinta’-nya kepada orang tua lain yang mengantarkan anak mereka dengan sepeda motor atau mobil pribadi. Ketika kaki berlumur lumpur itu mengayuh sepeda, kulihat wajah yang tetap anggun dan memancarkan aura semangat kepada jantung hatinya. Seolah-olah, dengan tetes keringat yang menempel di dahi bergurat terik mentari itu ia berkata “Nak, ayo…Ayah mendukungmu. Apa pun yang kamu inginkan, kan kuturuti. Tak peduli kata orang. Semampu ku, insya Allah akan ku bantu”.
Menjelang lulus SMU, alhamdulillah saya diterima di sebuah Perguruan Tinggi Negeri ternama melalui jalur PMDK. Saya ingat, saat itu masih bulan Maret-April. Jauh hari sebelumnya, saya pernah berujar pada Ayah bahwa saya akan melanjutkan kuliah. Mendengar keinginan saya, Ayah pun bertanya tentang waktu masuk kuliah nya. Karena dulu saya belum menentukan secara spesifik akan melanjutkan ke PT mana dan jurusan apa, saya bilang sesuai pengetahuan saya bahwa biasanya mahasiswa mulai aktif kuliah bulan Agustus atau September. Apa gerangan Ayah menanyakannya? Ya, tentu berkaitan dengan persiapan dana yang tidak sedikit untuk masuk kuliah. Namun, pengumuman PMDK yang ‘lebih’ awal, sempat membuat saya kaget bercampur gembira. Di pengumuman tersebut, saya harus mendaftar ulang dan memulai kuliah matrikulasi bulan Juni. Ini 3 bulan lebih awal dari bayangan saya. Kabar ini langsung saya beritakan kepada Ayah. Lalu, surat pengumuman pun saya berikan. Melihat isi pengumuman, Ayah gembira. Namun, sejurus kemudian ia termenung dan dengan mata agak berkaca-kaca ia berujar, “Jadi, masuknya bulan Juni?”
Tak aneh bagi saya mendengar pertanyaan Ayah. Ya, terkaan saya benar: biaya. Setidaknya jadwal kuliah yang lebih awal itu belum diprediksi Ayah. Boleh jadi, saat itu ia belum memperoleh uang yang cukup untuk membiayai perkuliahan saya. Dengan nada optimis, saya berujar pada Ayah “Tenang, Ayah…nggak usah mempermasalahkan biaya. Insya Allah saya akan usaha nyari uang pinjaman ke guru-guru di SMU”. Entah, kenapa saat itu saya sangat optimis. Mungkin, keinginan terbesar saat itu bagi saya adalah bagaimana mata Ayah yang berkaca-kaca, disertai dengan suara bergetar karena menangis belum mendapatkan sejumlah uang yang harus disiapkan untuk daftar ulang kuliah, segera terhenti dan beralih bahagia karena anak semata wayangnya diterima kuliah di PTN favorit. Masya Allah, fabi ayyi aalaa’i robbikumaa tukadz-dzibaan? Bukankah Engkau telah menganugerahkan Ayah yang pantang menyerah menyekolahkan anak-nya? (*/Syef)
“Semoga Allah melimpahkan nikmat iman, Islam, dan keberkahan hidup pada Ayahanda nun jauh di sana. Maafkan, Ananda belum bisa menjadi tumpuan yang diharapkan. Suatu saat, kuingin kita berkumpul, bercerita tentang anakmu, harapanmu, dan kebahagiaanmu”.
(*/Sebagaimana dikisahkan oleh seorang mahasiswa. Kini, ia tengah menempuh program magister sambil bekerja di sebuah institusi perguruan tinggi. Semasa meraih pendidikan sarjana, ia mendapatkan beasiswa penuh dari berbagai institusi dan atas nama pribadi. “Saya yakin, Allah selalu memberikan yang terbaik bagi kami”, ujarnya optimis)

Sumber: dakwatuna.

Kelut meletus

Gunung Kelud telah meletus Kamis (13/2) malam sekitar pukul 22.50 WIB. Ribuan warga sekitar,  mengungsi  ke Wilayah Kabupaten Tulungagung.

Hujan abu dan pasir menyelimuti  sebagian besar Wilayah Tulungagung mulai tengah malam, dan mulai reda sekitar pukul 03.30 WIB Jum’at dini hari. Puncak gunung, terlihat kilat terus menerus yang mengindikasikan erupsi terus berlangsung. Visual kondisinya gelap. 
Dengan Himbauan yang dilakukan  pihak berwenang setempat, apabila Gunung Kelud Erepsi  agar Masyarakat   mengungsi ke luar radius 10 kilometer dari lereng Gunung Kelud. Semalam sebagian masyarakat sekitar kelut telah  mengungsi   ke Kabupaten Tulungagung
Bupati Tulungagung Syahri Mulyo, SE bersama jajaranya dengan sigap menyambut kedatangan para pengungsi erupsi Gunung Kelud, mereka rata-rata warga Blitar dan sekitarnya. Oleh Pemkab Tulungagung para pengungsi ditempatkan di 16 titik dengan total 1.172  Jiwa. Pada malam itu juga, para pengunsi didata serta diberikan bantuan makan, snack dan air mineral.
Kabag Humas Setda Tulungagung, Drs. Mardjaji, MM mengatakan, Bupati tadi malam langsung meninjau lokasi di GOR Rejoagung tempat para pengungsi erupsi Gunung Kelud berkumpul. Syahri Mulyo langsung memimpin untuk memastikan penanganan dan pemberian bantuan kepada pengungsi secara baik.  
“ Pak Bupati tadi malam langsung berada dilokasi pengungsian Rejoagung, dan memerintahkan kapada pejabat terkait untuk memberikan bantuan  kepada pengungsi secara baik, Ujar Mardjaji.
Seperti kita ketahui, akibat  erupsi Gunung Kelud telah menimbulkan Hujan abu dan kerikil hingga merambak Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Trenggalek yang berjarak lebih dari 50 kilometer arah barat Gunung Kelud. Di Tulungagung Hujan abu  telah menutupi jalan setebal sekitar 1 cm. (sumber/Humas)

13 Sifat Laki-laki Yang Tidak Disukai Perempuan

Para istri atau kaum wanita adalah manusia yang juga mempunyai hak tidak suka kepada laki-laki karena beberapa sifa-sifatnya. Karena itu kaum lelaki tidak boleh egois, dan merasa benar. Melainkan juga harus memperhatikan dirinya, sehingga ia benar-benar bisa tampil sebagai seorang yang baik. Baik di mata Allah, pun baik di mata manusia, lebih-lebih baik di mata istri. Ingat bahwa istri adalah sahabat terdekat, tidak saja di dunia melainkan sampai di surga. Karena itulah perhatikan sifat-sifat berikut yang secara umum sangat tidak disukai oleh para istri atau kaum wanita. Semoga bermanfaat.
Pertama, Tidak Punya Visi
Setiap kaum wanita merindukan suami yang mempunyai visi hidup yang jelas. Bahwa hidup ini diciptakan bukan semata untuk hidup. Melainkan ada tujuan mulia. Dalam pembukaan surah An Nisa’:1 Allah swt. Berfirman: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. Dalam ayat ini Allah dengan tegas menjelaskan bahwa tujuan hidup berumah tangga adalah untuk bertakwa kepada Allah. Takwa dalam arti bersungguh mentaati-Nya. Apa yang Allah haramkan benar-benar dijauhi. Dan apa yang Allah perintahkan benar ditaati.
Namun yang banyak terjadi kini, adalah bahwa banyak kaum lelaki atau para suami yang menutup-nutupi kemaksiatan. Istri tidak dianggap penting. Dosa demi dosa diperbuat di luar rumah dengan tanpa merasa takut kepada Allah. Ingat bahwa setiap dosa pasti ada kompensasinya. Jika tidak di dunia pasti di akhirat. Sungguh tidak sedikit rumah tangga yang hancur karena keberanian para suami berbuat dosa. Padahal dalam masalah pernikahan Nabi saw. bersabda: “Pernikahan adalah separuh agama, maka bertakwalah pada separuh yang tersisa.”
Kedua, Kasar
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Ini menunjukkan bahwa tabiat wanita tidak sama dengan tabiat laki-laki. Karena itu Nabi saw. menjelaskan bahwa kalau wanita dipaksa untuk menjadi seperti laki-laki tulung rusuk itu akan patah. Dan patahnya berarti talaknya. Dari sini nampak bahwa kaum wanita mempunyai sifat ingin selalui dilindungi. Bukan diperlakukan secara kasar. Karena itu Allah memerintahkan para suami secara khusus agar menyikapi para istri dengan lemah lembut: Wa’aasyiruuhunna bil ma’ruuf (Dan sikapilah para istri itu dengan perlakuan yang baik) An Nisa: 19. Perhatikan ayat ini menggambarkan bahwa sikap seorang suami yang baik bukan yang bersikap kasar, melainkan yang lembut dan melindungi istri.
Banyak para suami yang menganggap istri sebagai sapi perahan. Ia dibantai dan disakiti seenaknya. Tanpa sedikitpun kenal belas kasihan. Mentang-mentang badannya lebih kuat lalu memukul istri seenaknya. Ingat bahwa istri juga manusia. Ciptaan Allah. Kepada binatang saja kita harus belas kasihan, apalagi kepada manusia. Nabi pernah menggambarkan seseorang yang masuk neraka karena menyikas seekor kucing, apa lagi menyiksa seorang manusia yang merdeka.
Ketiga, Sombong
Sombong adalah sifat setan. Allah melaknat Iblis adalah karena kesombongannya. Abaa wastakbara wakaana minal kaafiriin (Al Baqarah:34). Tidak ada seorang mahlukpun yang berhak sombong, karena kesombongan hanyalah hak priogatif Allah. Allah berfirman dalam hadits Qurdsi: “Kesombongan adalah selendangku, siapa yang menandingi aku, akan aku masukkan neraka.” Wanita adalah mahluk yang lembut. Kesombongan sangat bertentangan dengan kelembutan wanita. Karena itu para istri yang baik tidak suka mempunyai suami sombong.
Sayangnya dalam keseharian sering terjadi banyak suami merasa bisa segalanya. Sehingga ia tidak mau menganggap dan tidak mau mengingat jasa istri sama sekali. Bahkan ia tidak mau mendengarkan ucapan sang istri. Ingat bahwa sang anak lahir karena jasa kesebaran para istri. Sabar dalam mengandung selama sembilan bulan dan sabar dalam menyusui selama dua tahun. Sungguh banyak para istri yang menderita karena prilaku sombong seorang suami.
Keempat, Tertutup
Nabi saw. adalah contoh suami yang baik. Tidak ada dari sikap-sikapnya yang tidak diketahui istrinya. Nabi sangat terbuka kepada istri-istrinya. Bila hendak bepergian dengan salah seorang istrinya, nabi melakukan undian, agar tidak menimbulkan kecemburuan dari yang lain. Bila nabi ingin mendatangi salah seorang istrinya, ia izin terlebih dahulu kepada yang lain. Perhatikan betapa nabi sangat terbuka dalam menyikapi para istri. Tidak seorangpun dari mereka yang merasa didzalimi. Tidak ada seorang dari para istri yang merasa dikesampingkan.
Kini banyak kejadian para suami menutup-nutupi perbuatannya di luar rumah. Ia tidak mau berterus terang kepada istrinya. Bila ditanya selalu jawabannya ngambang. Entah ada rapat, atau pertemuan bisnis dan lain sebagainya. Padahal tidak demikian kejadiannya. Atau ia tidak mau berterus terang mengenai penghasilannya, atau tidak mau menjelaskan untuk apa saja pengeluaran uangnya. Sikap semacam ini sungguh sangat tidak disukai kaum wanita. Banyak para istri yang tersiksa karena sikap suami yang begitu tertutup ini.
Kelima, Plinplan
Setiap wanita sangat mendambakan seorang suami yang mempunyai pendirian. Bukan suami yang plinplan. Tetapi bukan diktator. Tegas dalam arti punya sikap dan alasan yang jelas dalam mengambil keputusan. Tetapi di saat yang sama ia bermusyawarah, lalu menentukan tindakan yang harus dilakukan dengan penuh keyakinan. Inilah salah satu makna qawwam dalam firman Allah: arrijaalu qawwamuun alan nisaa’ (An Nisa’:34).
Keenam, Pembohong
Banyak kejadian para istri tersiksa karena sang suami suka berbohong. Tidak mau jujur atas perbuatannya. Ingat sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh ke tanah. Kebohongan adalah sikap yang paling Allah benci. Bahkan Nabi menganggap kebohongan adalah sikap orang-orang yang tidak beriman. Dalam sebuah hadits Nabi pernah ditanya: hal yakdzibul mukmin (apakah ada seorang mukmin berdusta?) Nabi menjawab: Laa (tidak). Ini menunjukkan bahwa berbuat bohong adalah sikap yang bertentangan dengan iman itu sendiri.
Sungguh tidak sedikit rumah tangga yang bubar karena kebohongan para suami. Ingat bahwa para istri tidak hanya butuh uang dan kemewahan dunia. Melainkan lenbih dari itu ia ingin dihargai. Kebohongan telah menghancurkan harga diri seorang istri. Karena banyak para istri yang siap dicerai karena tidak sanggup hidup dengan para sumai pembohong.
Ketujuh, Cengeng
Para istri ingin suami yang tegar, bukan suami yang cengeng. Benar Abu Bakar Ash Shiddiq adalah contoh suami yang selalu menangis. Tetapi ia menangis bukan karena cengeng melainkan karena sentuhan ayat-ayat Al Qur’an. Namun dalam sikap keseharian Abu Bakar jauh dari sikap cengeng. Abu Bakar sangat tegar dan penuh keberanian. Lihat sikapnya ketika menghadapi para pembangkang (murtaddin), Abu Bakar sangat tegar dan tidak sedikitpun gentar.
Suami yang cenging cendrung nampak di depan istri serba tidak meyakinkan. Para istri suka suami yang selalu gagah tetapi tidak sombong. Gagah dalam arti penuh semangat dan tidak kenal lelah. Lebih dari itu tabah dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.
Kedelapan, Pengecut
Dalam sebuah doa, Nabi saw. minta perlindungan dari sikap pengecut (a’uudzubika minal jubn), mengapa? Sebab sikap pengecut banyak menghalangi sumber-sumber kebaikan. Banyak para istri yang tertahan keinginannya karena sikap pengecut suaminya. Banyak para istri yang tersiksa karena suaminya tidak berani menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Nabi saw. terkenal pemberani. Setiap ada pertempuran Nabi selalu dibarisan paling depan. Katika terdengar suara yang menakutkan di kota Madinah, Nabi saw. adalah yang pertama kaluar dan mendatangi suara tersebut.
Para istri sangat tidak suka suami pengecut. Mereka suka pada suami yang pemberani. Sebab tantangan hidup sangat menuntut keberanian. Tetapi bukan nekad, melainkan berani dengan penuh pertimbangan yang matang.
Kesembilan, Pemalas
Di antara doa Nabi saw. adalah minta perlindingan kepada Allah dari sikap malas: allahumma inni a’uudzubika minal ‘ajizi wal kasal , kata kasal artinya malas. Malas telah membuat seseorang tidak produktif. Banyak sumber-sumber rejeki yang tertutup karena kemalasan seorang suami. Malas sering kali membuat rumah tangga menjadi sempit dan terjepit. Para istri sangat tidak suka kepada seorang suami pemalas. Sebab keberadaanya di rumah bukan memecahkan masalah melainkan menambah permasalah. Seringkali sebuah rumah tangga diwarnai kericuhan karena malasnya seorang suami.
Kesepuluh, Cuek Pada Anak
Mendidik anak tidak saja tanggung jawab seorang istri melainkan lebih dari itu tanggung jawab seorang suami. Perhatikan surat Luqman, di sana kita menemukan pesan seorang ayah bernama Luqman, kepada anaknya. Ini menunjukkan bahwa seorang ayah harus menentukan kompas jalan hidup sang anak. Nabi saw. Adalah contoh seorang ayah sejati. Perhatiannya kepada sang cucu Hasan Husain adalah contoh nyata, betapa beliau sangat sayang kepada anaknya. Bahkan pernah berlama-lama dalam sujudnya, karena sang cucu sedang bermain-main di atas punggungnya.
Kini banyak kita saksikan seorang ayah sangat cuek pada anak. Ia beranggapan bahwa mengurus anak adalah pekerjaan istri. Sikap seperti inilah yang sangat tidak disukai para wanita.
Kesebelas, Menang Sendiri
Setiap manusia mempunyai perasaan ingin dihargai pendapatnya. Begitu juga seorang istri. Banyak para istri tersiksa karena sikap suami yang selalu merasa benar sendiri. Karena itu Umar bin Khaththab lebih bersikap diam ketika sang istri berbicara. Ini adalah contoh yang patut ditiru. Umar beranggapan bahwa adalah hak istri mengungkapkan uneg-unegnya sang suami. Sebab hanya kepada suamilah ia menemukan tempat mencurahkan isi hatinya. Karena itu seorang suami hendaklah selalu lapang dadanya. Tidak ada artinya merasa menang di depan istri. Karena itu sebaik-baik sikap adalah mengalah dan bersikap perhatian dengan penuh kebapakan. Sebab ketika sang istri ngomel ia sangat membutuhkan sikap kebapakan seorang suami. Ada pepetah mengatakan: jadilah air ketika salah satunya menjadi api.
Keduabelas, Jarang Komunikasi
Banyak para istri merasa kesepian ketika sang suami pergi atau di luar rumah. Sebaik-baik suami adalah yang selalu mengontak sang istri. Entah denga cara mengirim sms atau menelponnya. Ingat bahwa banyak masalah kecil menjadi besar hanya karena miskomunikasi. Karena itu sering berkomukasi adalah sangat menentukan dalam kebahagiaan rumah tangga.
Banyak para istri yang merasa jengkel karena tidak pernah dikontak oleh suaminya ketika di luar rumah. Sehingga ia merasa disepelekan atau tidak dibutuhkan. Para istri sangat suka kepada para suami yang selalu mengontak sekalipun hanya sekedar menanyakan apa kabarnya.
Ketigabelas, Tidak Rapi dan Tidak Harum
Para istri sangat suka ketika suaminya selalu berpenampilan rapi. Nabi adalah contoh suami yang selalu rapi dan harum. Karena itu para istrinya selalu suka dan bangga dengan Nabi. Ingat bahwa Allah Maha indah dan sangat menyukai keindahan. Maka kerapian bagian dari keimanan. Ketika seorang suami rapi istri bangga karena orang-orang pasti akan berkesan bahwa sang istri mengurusnya. Sebaliknya ketika sang suami tidak rapi dan tidak harum, orang-orang akan berkesan bahwa ia tidak diurus oleh istrinya. Karena itu bagi para istri kerapian dan kaharuman adalah cermin pribadi istri. Sungguh sangat tersinggung dan tersiksa seorang istri, ketika melihat suaminya sembarangan dalam penampilannya dan menyebarkan bahu yang tidak enak. Allahu a’lam

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/06/03/695/13-sifat-laki-laki-yang-tidak-disukai-perempuan

Agar Disayang Istri Setiap Hari

Dalam kehidupan keluarga, sering dijumpai hal-hal yang tidak menyenangkan hati suami maupun istri. Suami merasa jengkel dengan sikap, perkataan atau perbuatan istri; dan istri merasa jengkel atas sikap, perkataan atau perbuatan suami. Akumulasi dari kejengkelan atau ketidaknyamanan yang bermula dari hal-hal kecil ini akan menumpuk menjadi sesuatu perasaan kejengkelan dan ketidaknyamanan yang besar.
Padahal sesungguhnya, mereka tidak sedang mempersoalkan hal-hal yang besar. Mereka hanya berhadapan dengan rutinitas kehidupan yang mengalir begitu saja setiap harinya. Bukan sebuah rekayasa atau konspirasi, namun respon spontan yang kadang tidak menyenangkan pasangan. Hal yang tidak menyenangkan ini bisa berulang setiap hari, yang akhirnya menimbulkan kesan betapa banyak ketidaknyamanan mereka rasakan.
Sebagai suami, kita harus selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi istri dan anak-anak. Istri akan selalu merasa nyaman, senang dan bahagia di dekat suami, apabila suami mampu memberikan hal terbaik sesuai harapan istri. Seringkali harapan itu bukan sesuatu yang besar atau muluk-muluk, justru hal-hal praktis yang sesungguhnya mudah untuk dilakukan suami. Namun dalam beberapa kejadian, banyak suami yang enggan untuk melakukan hal-hal praktis tersebut.
Agar Selalu Disayang Istri
Karena hal-hal yang menjengkelkan itu banyak bermula dari hal sederhana dan praktis, maka hal yang menyenangkan pun banyak bermula dari hal-hal sederhana dan praktis. Bagi para suami, coba lakukan beberapa hal sederhana dan praktis berikut, agar selalu disayang oleh istri.
1. Biasakan mengobrol dengan istri
Mengobrol adalah hal yang sangat disenangi perempuan pada umumnya. Rata-rata perempuan memiliki kecerdasan linguistik yang lebih tinggi dibanding laki-laki, memiliki kosa kata yang lebih banyak dibanding laki-laki, dan meringankan beban masalah dengan jalan menceritakan kepada orang lain. Dengan demikian, mengobrol adalah “kebutuhan pokok” istri yang harus dipenuhi suami.
Kadang karena alasan kesibukan atau kelelahan, banyak suami tidak memiliki waktu untuk berbicara dengan istri. Karena suami di rumah diam saja, tidak bisa diajak bicara, tidak nyaman diajak berdiskusi, tidak suka membuka pembicaraan, hal ini cukup memberikan tekanan perasaan ketidaknyamanan pada istri. Ia akan merasa tidak diperhatikan, tidak dibutuhkan dan tidak dicintai, hanya karena suami jarang mengobrol dengan istri.
2. Berikan bantuan praktis kepada istri
Ini bukan soal hak dan kewajiban, namun lebih kepada sikap empati dan kepekaan suami untuk melihat hal yang diperlukan istri. Ketika pagi hari istri sibuk menyiapkan berbagai keperluan rutin keluarga, sejak dari memasak nasi, merebus air, menyiapkan perlengkapan mandi anak-anak, menyiapkan baju sekolah anak-anak, menyiapkan perlengkapan sekolah anak-anak, membersihkan dapur dan rumah, akan sangat menyenangkan bagi istri apabila suami membantunya tanpa diminta.
Pertolongan praktis ini bisa dilakukan spontan, misalnya dengan menawarkan membantu satu bagian pekerjaan tertentu. “Apa yang bisa aku bantu? Mungkin aku saja yang menyiapkan sarapan, ibu menyiapkan keperluan sekolah anak-anak”. Tawaran spontan seperti ini sangat menyenangkan istri. Bahkan merasa surprise karena suami mau melakukan hal-hal teknis untuk keperluan keluarga.
Bagi pasangan yang sudah biasa berbagi tugas dalam segala hal, akan tetap menyenangkan hati istri apabila suami memberikan bantuan praktis atas tugas yang sedang dikerjakan istri. “Ini memang tugasmu, tapi aku sangat senang membantumu”.
3. Segera respon keinginan atau permintaannya
Ketika istri sedang sibuk mengurus berbagai keperluan anak-anak, kadang ia merasa kewalahan untuk menyelesaikan semuanya. Akan menjadi hal yang menyenangkan hati istri, apabila suami bersegera merespon permintaannya. Ketika istri meminta tolong kepada suami, “Pak tolong anak-anak segera dibangunkan untuk shalat Subuh dan bersiap ke sekolah. Ibu sedang menyiapkan masakan untuk sarapan ini”; akan sangat menyenangkan istri apabila suami segera bangkit melakukan permintaan istri tersebut.
Tidak perlu dimaknai bahwa itu adalah “perintah”, namun maknai bahwa hal itu adalah panggilan sayang istri yang ingin menguatkan kebersamaan dalam rumah tangga. Kadang suami tersinggung mendengar permintaan istri seperti itu, “Masak saya sebagai suami selalu disuruh-suruh istri…” keluh seorang suami. Semestinya itu tidak perlu dimaknai sebagai perintah istri, tapi sebagai ungkapan kasih sayang istri kepada suami.
4. Berikan perhatian pada sisi pribadi dan kegiatannya
Akan sangat menyenangkan hati istri apabila suami memberikan perhatian pada sisi pribadi maupun pekerjaannya. Misalnya memuji penampilannya, atau sebuah kejutan dan hadiah sederhana namun indah ulang tahunnya, atau memberikan ucapan selamat atas prestasi kerjanya. Itu adalah contoh perhatian pada sisi-sisi pribadi dan pekerjaan istri, walaupun pekerjaan itu di rumah sendiri.
Misalnya ungkapan, “Luar biasa pintarnya Ibu menata taman rumah kita. Sekarang jadi tampak indah dan menarik”. Atau ungkapan, “Kamar kita selalu bersih dan wangi, ini karena ditata oleh istri yang cantik dan wangi”. Apresiasi seperti ini menunjukkan adanya perhatian dan kepedulian suami terhadap jerih payah istri melakukan kegiatan di rumah.
Cobalah hal-hal sederhana itu setiap hari, niscaya Anda akan disayang istri Anda setiap hari pula.

Sumber: dakwatuna

Selasa, 18 Februari 2014

Merapi Menggeliat

Merapi Menggeliat

Senin, 10 Februari 2014

Coretan kecil

Allahu akbar! Maha Besar Allah dengan segala keajaiban penciptaan makhluk bergelar khalifah di muka bumi-Nya ini. Tentu dengan segala rintihan sakit dan mekarnya senyum semua kita lalui dengan izin-Nya.
Hampir kugenapkan 3 bulan berbenah di sini. Di tempat luar biasa yang hampir setiap hari mengajarkanku segala bentuk pengabdian seorang Ibu pada anaknya, ketundukan dan keikhlasan seorang istri pada lelaki yang menggelari diri sebagai penyambung pikulan amanah dari Ayahnya.
Iya benar. Tempat ini menyulap segala sisi kerasnya pendapatku terhadap sosok lelaki, melebur keyakinanku bahwa kaum adam ini kadang hanya mengerti perintah tanpa mendalami jalan naluri. Ah… bisa jadi ini perjalanan baru buatku dengan mengamati segala apa yang terjadi di sini, di samping ruang kerjaku yang hanya berbatas dinding dan pintu keluar masuk.
Bagaimana mungkin aku tak banyak menggenangi otak dengan kondisi luar biasa ini, kondisi yang sebelumnya jarang kutemui. Setiap hari aku menyaksikan para Ibu dengan perut besarnya menuju klinik bersalin itu dengan berbagai macam maksud dan tujuan kedatangan mereka: periksa janin, kontrol bulanan, USG, bahkan ada yang datang dengan lipatan kening yang susah dihitung karena menahan sakit keburu lahiran.
Wah… sebenar-benar pembelajaran berarti untukku yang di seperlima abad usiaku tidak pernah berpikir sejauh ini. Ya… baru akhir-akhir ini saja aku sadar bahwa hal ini milk wanita. Ya… kamu benar lagi… aku wanita, tepatnya wanita yang sudah bisa merasakan sakitnya apa yang pernah kulihat dari Ibu hebat tadi pagi itu.
Ini jam istirahat shalat Dzuhur dan makan siang. Mungkin pekan ini sudah ketiga kalinya aku mendengar rintihan halus dan tarik napas teratur dari ruang bersalin itu. Tepat di belakang ruangan tempat makan siangku kali ini, lagi-lagi aku keringat dingin, menarik nafas dan sesak sesaat. Ya Rabb… tiba-tiba aku merindukan sosok hebat itu, tiba-tiba aku ingin dia ada di sini menceritakan semua apa yang dialaminya ketika perjuangannya menghadirkan aku di dunia-Mu ini. Ya… Ibu.  Ibuku yang hampir tak pernah meninggalkan kesan buruk di otakku, meski kadang repetan lisannya membuatku tersungut dan menangis. Tapi dia tetap hebat. Tetap memiliki sesamudra perhatian tulus untuk darah dagingnya ini.
Saat ini juga aku akan menelponnya. Iya…  sekarang. Mungkin dia sudah selesai shalat.
“Assalamu’alaikum, Mak… sehat?”
“Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah sehat, nak. Kakak sehat? Sudah makan siang, kak? Masih banyak kerjaan hari ini? Jangan lupa istirahat ya Inang,” itu suara wanita hebatku di seberang sambungan HP ini. Aku cuma bertanya satu pertanyaan untuknya, tapi dia balikkan begitu banyak kecemasan untukku. Ya Rabb, bagaimana mungkin aku tak semakin rindu padanya.
Terasa kelu, aku seperti sedang menyaksikan romansa mengharukan, yang membuat Ibuku heran dengan tingkahku yang tiba-tiba terbawa sedih. Sisi kecengenganku menjadi-jadi. Kututup pembicaraan anehku dengan Ibu dengan salam yang hampir terbata-bata.
Kuingat lagi, sewaktu SMP dulu, Ibuku pernah bercerita bahwa aku lahir selepas Ibu mandi sore dan ingin shalat Ashar. Waktu itu Ayahku belum pulang dari tempat kerjanya yang berjarak kurang lebih 20 km dari rumah nenekku. Ibuku dititip Ayah di sana karena sudah menjelang masa bersalin dan juga karena aku bakal anak pertama sekaligus cucu pertama buat kakek nenekku dari Ibu.
Kata Ibu, tidak cukup sulit melahirkanku. Hanya ada Ibuku dan opung (kakek nenekku) di sana serta tulangku (adk Ibuku) yang disuruh menjemput bidan desa ke RT sebelah. Aku lahir tidak dihadapan Ayahku, jadi aku diiqomahkan kakekku. Ayahku sampai ke rumah nenek  setelah hampir 3 jam usai kelahiranku. Kata Ibu, Ayahku mengiqomahkan aku kembali. Menurut Ayah agar suaranya kelak selalu jadi kedekatan antara dia dan aku sebagai putri kebanggaan tentunya dalam hal yang baik-baik.
Waktu itu Ibu minta maaf pada Ayah karena anak pertama mereka bukan bayi laki-laki seperti yang dikhayal-khayalkan Ayahku. “Esok, kalau anakku besar, aku ajak main bolalah, aku ajak mancing, kuajak ke Masjid, bla… bla…” itu yang sering diucapkan Ayah sewaktu aku masih dalam rahim suci Ibuku.
“Dedeknya cantik, Pa, bukan ganteng,” kira-kira begini kata pertama Ibuku setelah Ayahku mengiqomahkanku.
“Tidak apa-apa sayang, terimakasih. Kelak putriku ini akan sangat kuat dan sangat hebat melebihi impian-impian kita,” itu yang sampai sekarang sering kudengar dari Ayahku jika aku sudah mengadu kepadanya. Jika sifat manjaku kadang mendadak hadir.
Ah… hebat bukan gelar orang tua itu? Menurutku sangat heroik, sangat menyentuh. Bagaimana tidak, dengan segala keterbatasan dan kondisi materi mereka di zaman itu, tak menjadi alasan buat mereka mendidik generasi titipan Ilahi Rabbi. Sampai-sampai aku merasa jauh lebih bodoh dari Ayah dan Ibuku. Ah… semoga saja… semoga doa-doa mereka masih lama membersamaiku. Berkahi usia keduanya, ya Rahman. Hingga benar terwujud aku bisa membaktikan diri sepenuh hatiku untuk mereka, mengantar mereka menuju sejuta kebaikan yang mereka belum sampai.
Pernah juga beberapa waktu yang lalu aku bertanya iseng pada Ibuku, “Mak, waktu hamil kakak, Umak ngidam apa?”
“Tidak ngidam banyak dan aneh-aneh, kak. Apa yang ada Umak makan aja. Tapi, ada sih satu yang Mak ingat. Waktu itu sudah tengah malam, kak. Umak ingin makan nasi rames dari warung di pinggir pantai dekat pasar,” kata Ibuku.
Malam itu juga Ayahku pergi ke sana dengan motor butut warisan Uwakku. Dengan harapan nasi jualan Ibu warung pantai itu masih ada. Dan Alhamdulillah, Ayahku pulang membawa makanan idaman Ibuku yang waktu itu merupakan permintaan Ibuku yang sangat aneh bagi Ayahku.  Tapi diturutinya saja, sambil mengancam lembut Ibuku. “Sudah jemput sejauh-jauh itu, dihabiskan ya,” kata Ayahku sambil membukakan bungkusan daun pisang yang berisi nasi pesanan si Mak.
Setelah Ibuku menceritakan itu, aku tertawa dan memeluk tangan Ibuku. “Ah, romantis ya Papa dan Umak waktu itu,” ledekku pada Ibuku. Hanya senyum dan tangannya yang semakin lembut merapikan jilbab kucelku.
Itu Ibuku. Itu Ayahku. Sesanggup mereka selalu menitipkan semangat buatku, meski bukan dengan serba kecukupan materi tapi tak sekalipun mereka menelantarkan hak kami. Selalu mereka bilang ada meskipun adanya masih di langit. Pada adik-adikku, Ibu bilang, “Ada, nak.” Tapi aku tahu, adanya di langit dan sebentar lagi akan diturunkan Allah. Selalu bertopeng ketenangan, selalu menyembunyikan ketersiksaan. Selalu dan selalunya mereka yang hingga saat ini mengajarkanku banyak jalan keluar dari onggokan masalah duniawi ini.
Sejauh ini, aku masih bersama kesyukuran yang kujalin bersusah payah, meski selama hayatku tak semua senyum yang mereka sisipkan di hatiku. Pernah juga aku sedih. Tapi mereka tetap Ayah Ibu yang sangat hebat, sangat cerdas mengakal-akali ketakutanku. Dan nyatanya memang benar, kayuhan perahu keluarga kami masih satu komando, masih diqiyadahi oleh Ayah terhebatku.
Ibu, jazakillah sangat atas tumpangan rahim suci tanpa tarif itu. Sembilan bulan kurang beberapa hari gratis. Bagaimana mungkin bisa kubayar dan akupun tak tahu cara melunasinya, meskipun tak akan pernah terbersit di otakmu untuk mentarifnya, terimakasih Ibuku sayang. Kau wariskan kepadaku ilmu sabarmu, titipi aku doa penjagaan tanda setia milikmu, lengkapi kuatku ini dengan kekuatan yang kau miliki. Kelak aku juga akan berubah jadi wanita setia, jadi Ibu luar biasa sepertimu, jadi istri manut yang tak sekalipun membiarkan periuk nasimu kosong ketika Ayah tiba di pintu rumah. Ibu, Surga terlayak kupinta pada Allah, ajak juga aku kelak ke sana untuk memenuhi shaf-shaf rapi bidadari-bidadari shalihah pemilik ridha para suaminya. Aku janji aku tak akan keras kepala lagi dengan hal ini Ibu.
Ayah, segalanya dari Rabbmu telah kau kucurkan pada kami. Kau yang tak pernah sekalipun meragukan keputusanku, selalu jadi orang pertama mendukung segala ide-ide konyolku, karena menurutmu aku akan mampu dengan ketajaman masalah seperti apapun. Ah… aku tetap masih putri kecilmu dulu, Pa, yang selalu menunggu putaran jarum jam di depan pintu rumah kita, menunggumu pulang kerja membawakan kantongan plastik oleh-oleh untukku. Aku hanya punya sebait kata yang dari dulu kujadikan jimat kekuatan di perjalanan tunggang langgangku ini: Dunia ini keras, Inang. Maka keraskan prinsipmu, agar tak satu orangpun bisa menyakitimu. Dunia ini keras, Inang. Maka lembutkan hatimu seperti fitrahmu. Sekali lagi kau tetap satu-satunya penyair dan pemimpin kebanggaanku.
Aku, akan berusaha jadi amanah terindah buat kalian, dan kelak pemberi payung teduh di lapangan persaksian itu.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/02/11/46089/gelar-mereka-tetap-ayah-ibu/#ixzz2syVfSRSB

Lirik

Ngopo Kudu Pisah


KAPAN DURUNG NGERTI..,
NANDHES TATU DODO,
SING GAWE NELOSONGSO,ISO MARI..
KAPAN DURUNG NGERTI,
OPO AKU BISO NOMPO TRESNO LIYO,
NGGO NAMBANI..

WIS AKEH SING NGANDHANI,
AJAR SEKO SITHIK NGLALEKAKE..
NGALAMUN SENENG NDEWE,
DUDU DALAN KANGGO NUNTASAKE SEDIHMU..

BISANE PODHO NDUWENI,
OPO MUNG WATES NONG NGIMPI..
SEPRENE AKU ORA NGERTI,
NGOPO KUDU PISAH..

reff:
OPO AKU SALAH, MALES KATRESNANE
SING WIS DIBUKTEKKE, CUKUP SUWE..
OPO DEK’E SALAH, NRESNANI AWAKKU
BEN KAHANANKU NENG KOYO NGENE..

BISAKU MUNG NYENYUWUN,
ONO MUKJIZAT SING ANEKANI..
BANDHAKU MUNG KATRESNAN,
SING TUWUH TULUS NOK NJERO ATI, SEDIHE..

BISANE PODHO NDUWENI,
OPO MUNG WATES NONG NGIMPI..
SEPRENE AKU ORA NGERTI,
NGOPO KUDU PISAH..

BISANE PODHO NDUWENI,
OPO MUNG WATES NONG NGIMPI..
SEPRENE AKU ORA NGERTI,
NGOPO KUDU PISAH..
SEPRENE AKU ORA NGERTI,
NGOPO KUDU PISAH..

Selasa, 28 Januari 2014

Kalender Hijriah

Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriah

Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com – Kalender hijriah ditetapkan pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab, 17 tahun setelah hijrahnya Rasulullah SAW. Keputusan itu muncul setelah dijumpai kesulitan mengidentifikasikan dokumen yang tak bertahun. Hijrah Rasulullah akhirnya sepakat dipilih dari sekian usulan alternatif acuan tahun Islam, karena saat itulah titik awal membangun masyarakat Islami.
Akurasi penghitungan mundur untuk menetapkan awal tahun hijriyah dan peristiwa-peristiwa penting lainnya sepenuhnya bergantung pada ingatan banyak orang. Secara hitungan berskala besar, seperti tahun, kemungkinan kesalahannya relatif kecil. Mungkin sekian banyak orang masih ingat suatu peristiwa terjadi tahun ke berapa sesudah atau sebelum Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah. Tetapi hitungan rinci sampai tanggal atau bulan, kemungkinan kesalahannya lebih besar.
Riwayat kronologis kehidupan Rasulullah yang menyatakan tentang hari atau musim merupakan alat uji terbaik dalam analisis konsistensi historis-astronomisnya. Urutan hari tidak pernah berubah dan bersifat universal. Pencocokan musim diketahui dengan melakukan konversi sistem kalender hijriyah ke sistem kalender masehi. Program digunakan sebagai pendekatan awal yang praktis dalam merekonstruksi kronologi kejadian penting dalam kehidupan Rasulullah.
Analisis konsistensi kronologi sejarah dengan pendekatan astronomi menunjukkan bahwa sistem kalender hijriyah juga baik untuk menelusur kejadian sebelum hijrah. Walaupun bilangan nol belum dikenal saat itu, sistem kalender hijriyah ternyata telah memperkenalkan konsep tahun nol. Saat Rasul hijrah dianggap sebagai tahun nol, karena angka tahun menyatakan sekian tahun setelah Rasul hijrah.
Konsep tahun nol seperti itu tidak dikenal dalam sistem kalender Masehi sehingga menimbulkan polemik tentang kapan awal abad 21 atau milenium ke tiga (tahun 2000 atau 2001). Dengan konsep tahun nol pada tahun Hijriyah, umat Islam secara tepat dapat menyatakan tahun 1400 lalu sebagai awal abad 15 hijriyah, yang disebut sebagai abad kebangkitan Islam.
Rekonstruksi Kronologis
Dalam sebuah hadits shahih tentang puasa hari Senin, Rasulullah SAW menyatakan bahwa hari itu (Senin) dilahirkan, diutus menjadi Rasul, dan diturunkan Al-Quran pertama kalinya (HR Muslim). Jabir dan Ibnu Abbas berpendapat Rasulullah SAW dilahirkan malam Senin 12 Rabi’ul awal, pada hari dan tanggal itu beliau diangkat sebagai Nabi dan Rasul, di-Mi’raj-kan ke langit, hijrah ke Madinah, dan wafat.
Beragam informasi dijumpai di buku-buku tarikh tentang kejadian-kejadian itu. Haekal menyatakan tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW saja terdapat berbagai pendapat. Ada yang menyatakan lahir pada tanggal 2, 8, 9, atau 12. Bulannya pun beragam: Muharam, Shafar, Rabi’ul awal, Rajab, atau Ramadhan. Tahunnya: tahun Gajah, 15 tahun sebelum tahun Gajah, 30 tahun setelah tahun Gajah, atau 70 tahun setelah tahun Gajah. Namun kebanyakan pendapat menyatakan Rasulullah SAW dilahirkan pada hari Senin 12 Rabi’ul awal tahun Gajah.
Tahun Gajah adalah saat Abraha dan pasukan bergajahnya berniat menghancurkan Ka’bah, tetapi digagalkan Allah. Hal itu terjadi 53 tahun sebelum hijrah (secara matematis-astronomis dapat dinyatakan sebagai tahun -53 H). Sehingga saat kelahiran Nabi tersebut bertepatan dengan hari Senin 5 Mei 570 M.
Kapankah tepatnya pengangkatan beliau menjadi Rasul? Tahun kejadiannya umumnya bersepakat pada saat Nabi berumur 41 tahun, atau tahun Gajah ke-41 (tahun -13 H). Hanya tentang tanggal dan bulannya tidak ada kesepakatan. Menurut Jabir dan Ibnu Abbas tersebut di atas, hal itu terjadi pada hari Senin 12 Rabi’ul awal. Itu bertepatan dengan Senin 24 Februari 609 M.
Pendapat lainnya menyatakan terjadi pada 17 Ramadhan berdasarkan isyarat pada QS 8:41 bahwa Al-Quran diturunkan pada hari Furqan, hari bertemunya dua pasukan yang ditafsirkan sebagai saat perang Badar 17 Ramadhan. Isyarat lainnya ada pada QS 2:185 bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Bila harinya mengacu pada hadits Muslim serta pendapat Jabir dan Ibnu Abbas, maka 17 Ramadhan -13 H tersebut bertepatan dengan hari Senin 25 Agustus 609 M.
Hasbi Ash Shiddieqy dalam pengantar Tafsir Al Bayaan menyatakan ayat nubuwah (pengangkatan sebagai Nabi) pertama kali turun pada bulan Rabi’ul awal dengan 5 ayat pertama surat Al Alaq. Kemudian ayat risalah (pengangkatan sebagai Rasul) turun pada 17 Ramadhan dengan beberapa ayat awal surat Al Muddatstsir. Riwayat menyatakan bahwa baik saat menerima ayat nubuwah maupun ayat risalah, Rasulullah SAW meminta Sitti Khadijah menyelimuti beliau. Pendapat mana pun yang diambil, kenyataan pada saat musim panas bulan Agustus Rasulullah SAW minta diselimuti, menunjukkan betapa hebatnya ketakutan manusiawi beliau hingga beliau menggigil.
Peristiwa Isra’ Mi’raj saat mulai diwajibkannya shalat lima waktu pun tidak ada kesepakatan kapan terjadinya. Sebagian besar mengikuti pendapat Ibnu Katsir dari riwayat yang tidak shahih isnadnya, bahwa Isra’ mi’raj terjadi pada 27 Rajab -1 H (satu tahun sebelum Hijrah). Itu berarti terjadi pada hari Rabu 15 Oktober 620. Tetapi bila mengikuti pendapat Jabir dan Ibnu Abbas bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada hari Senin 12 Rabi’ul awal, berarti terjadi pada 12 Rabi’ul awal -3 H (tiga tahun sebelum Hijrah) yang bertepatan dengan Senin 6 November 618.
Peristiwa Hijrah Rasulullah SAW terjadi pada bulan Rabi’ul awal tahun 13 Bi’tsah (13 tahun setelah pengangkatan sebagai Rasul). Berangkat pada 2 Rabi’uilawal dan tiba pada 12 Rabi’ul awal. Saat tiba di Madinah 12 Rabi’ul awal 0 H bertepatan dengan hari Senin, 5 Oktober 621. Ini sesuai dengan pendapat Jabir dan Ibnu Abbas bahwa harinya Senin. Beberapa penulis riwayat Rasulullah SAW merancukan saat hijrah tersebut dengan tahun baru hijriyah pertama. Haekal dan Al Hamid Al Husaini menyebutkan peristiwa Hijrah terjadi pada bulan Juli. Haekal menyatakan Rasulullah tiba di Madinah hari Jumat. Sesungguhnya bulan Juli adalah tahun baru 1 Muharram 1 H yang jatuh pada hari Jumat, 16 Juli 622.
Puasa Ramadhan mulai diwajibkan pada hari Senin 2 Sya’ban 2 H atau 30 Januari 624 M. Itu berarti puasa Ramadhan pertama terjadi pada bulan Februari-Maret, dengan suhu yang relatif sejuk dan panjang hari termasuk normal (panjang siang hari sekitar 12 jam). Menurut analisis astronomis, selama Rasulullah hidup hanya 9 kali beliau berpuasa, 6 kali selama 29 hari dan hanya 3 kali selama 30 hari. Puasa pertama selama 29 hari.
Riwayat tentang perang Badar tidak konsisten dari segi hari dan tanggalnya. Menurut beberapa pendapat, perang Badar terjadi hari Jumat 17 Ramadhan 2 H. Sesungguhnya 17 Ramadhan 2 H jatuh pada hari Selasa 13 Maret 624.  Tanggal 17 Ramadhan yang jatuh pada hari Jumat terjadi pada tahun 1 H yang bertepatan dengan 25 Maret 623. Namun, dikonfirmasikan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya, tidak mungkin hal itu terjadi pada tahun pertama hijriyah. Jadi, riwayat yang menyatakan perang Badar terjadi pada hari Jumat, tidak akurat menyebutkan harinya.
Perang Uhud yang memberikan pelajaran berharga akan pentingnya ketaatan kepada perintah Rasul terjadi pada 15 Syawal 3 H atau hari Ahad 31 Maret 625. Pada perang tersebut kemenangan berbalik menjadi kekalahan ketika pasukan pemanah yang diperintah Rasulullah tidak taat untuk tetap di tempat. Walaupun demikian kedua belah pihak sama-sama menderita korban yang besar. Kemudian Abu Sufyan ketika hendak meninggalkan medan perang menantang untuk berperang kembali di Badar.
Ternyata perang Badar Shugra (Badar kecil) yang terjadi pada Sya’ban 4 H (Januari 626) saat musim paceklik tidak jadi berlangsung karena Abu Sufyan merasa ketakutan dan menarik pasukannya kembali ke Mekah (QS 3:172-174). Mungkin pada peristiwa inilah, yang terjadi sebelum Ramadhan, Rasulullah menyatakan bahwa mereka baru pulang dari perang yang kecil menuju jihad yang besar, jihadunnafs, jihad melawan hawa nafsu pada puasa Ramadhan yang menjelang tiba.
Berbeda dengan perang Badar kubra dan perang Uhud yang terjadi pada awal musim semi, perang Khandaq terjadi pada musim dingin saat krisis pangan dan perang Tabuk pada akhir musim panas yang sangat terik. Perang Khandaq (parit) terjadi pada bulan Syawal 5 H (Februari 627). Saat itu kaum Muslimin yang membentengi diri dengan parit di sekeliling Madinah dikepung selama 3 pekan. Kaum musyrikin menghentikan pengepungannya setelah diporakporandakan oleh badai yang sangat dingin.
Perang Tabuk terjadi pada bulan Rajab 9 H (Oktober 630). Hadits dan Al-Quran (QS 9:81) menceritakan perjuangan yang berat di tengah cuaca yang sangat terik menghadapi ancaman tentara Romawi. Sebagian penulis sejarah meragukan peristiwa tersebut terjadi pada bulan Oktober yang dianggapnya sudah memasuki musim dingin, yang berbeda dari ungkapan dalam hadits atau Al-Quran. Tapi sesungguhnya pada bulan itu suhu mendekati 30 derajat pada siang hari bukan hal yang mustahil dalam perjalanan dari Madinah ke Tabuk (dekat Jordan).
Hari-hari terakhir kehidupan Rasulullah ditandai dengan turunnya QS 5:3 yang menyatakan bahwa Allah telah menyempurnakan agama Islam dan meridhainya. Ayat itu turun saat wukuf di Arafah 9 Dzulhijjah 10 H yang bertepatan dengan Jumat 6 Maret 632. Mungkin ini berkaitan dengan sebutan haji akbar bila wukufnya jatuh pada hari Jumat.
Tiga bulan setelah turunnya ayat tersebut Rasulullah wafat pada  12 Rabi’ul awal 11 H. Analisis astronomis menyatakan 12 Rabi’ul awal mestinya jatuh pada hari Sabtu 6 Juni 632. Namun banyak yang berpendapat Rasulullah wafat pada hari Senin, itu berarti tanggal 8 Juni 632. Perbedaan dua hari tidak dapat dijelaskan akibat terjadinya istikmal (penggenapan menjadi 30 hari) bulan Shafar. Mungkin yang terjadi adalah  ‘kelalaian’ massal dalam penentuan awal bulan akibat kesedihan umat yang mendalam menghadapi Rasul yang dicintainya menderita sakit sejak bulan Shafar.
Terlepas dari “kelalaian” tersebut ada hal yang menarik tentang hari Senin 12 Rabi’ul awal tersebut. Apakah suatu kebetulan atau mukjizat Rasulullah SAW, ternyata beberapa peristiwa penting jatuh pada hari Senin 12 Rabi’ul awal. Konsistensi hari dan tanggal membuktikan bahwa Rasulullah lahir, hijrah, dan wafat terjadi pada hari dan tanggal tersebut. Walaupun tidak banyak yang bersepakat, pengangkatan sebagai Nabi saat menerima wahyu pertama kali dan peristiwa Isra’ Mi’raj mungkin pula terjadi pada hari dan tanggal tersebut.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/01/16/44887/konsistensi-historis-astronomis-kalender-hijriah/#ixzz2rYiQJDam

Pewayangan

KADEWATAN

Sang Hyang Widhi

Filosofi

"Hyang" merupakan sebutan untuk keberadaan spiritual memiliki kekuatan supranatural, bagaikan matahari di dalam mimpi. Kedatangannya dalam hidup seseorang memberikan kesenangan tanpa jeda dalam waktu lama yang tak dapat dibedakan antara mimpi dan realita. Orang-orang Indonesia umumnya mengenal kata ini sebagai penyebutan untuk penyebab keindahan, penyebab semua ini ada (pencipta), penyebab dari semua yang dapat disaksikan, atau secara sederhana disebut Tuhan.

Definisi Etimologi

Sang Hyang Widhi, berasal dari akar kata "Sang", "Hyang", dan "Widhi".
  • Sang, memiliki makna personalisasi atau identifikasi. Contoh penggunaan kata lainnya: sang bayu, sang Nyoman, sang Raja, dan lain-lain.
  • Hyang, terkait dengan keberadaan spiritual yang dimuliakan atau mendapatkan penghormatan yang khusus. Biasanya, ini dikaitkan dengan wujud personal yang bercahaya dan suci.
  • Widhi, memiliki makna penghapus ketidaktahuan. Penghapus ketidaktahuan memiliki wujud yang beragam menurut jalan ketidaktahuan diselesaikan. Wujud-wujud ini menjadi media bagaimana manusia dan ciptaan di jagat raya ini mengerti dan memahami diri dan lingkungannya. Widhi dapat berupa: cahaya, suara, wujud tersentuh, sensasi tersensori, memori pikiran, rasa emosional, radiasi bintang, pengartian tanda, rasa kecapan, dan lain-lain. Widhi ini sangat terkait dengan dharma, atau lingkungan yang merupakan pustaka abadi dimana manusia dapat membaca keseluruhan pengetahuan tentang widhi. Dharma secara keseluruhan adalah widhi itu sendiri. Terkait dengan proses belajar, dharma tampaknya terpartisi menjadi arus berlanjut yang hadir kepada manusia tanpa henti hingga masa manusia itu berakhir.

Dharma

Dharma adalah pustaka atau sarana belajar manusia untuk mengerti dan memahami semua pengetahuan untuk menyelesaikan ketidaktahuan. Dharma ini pun menjadi jalan untuk dapat memahami kemahakuasaan, termasuk memahami 'Sang Hyang Widhi'. Dharma ini secara nyata adalah lingkungan manusia, dari yang menyusun manusia itu sendiri hingga hal-hal di luar manusia.

Sang Hyang Widhi

Secara deskriptif, makna Sang Hyang Widhi tidak cukup untuk diungkapkan dengan beberapa kalimat. Namun, dengan adanya dharma, semua orang dapat memahami makna sang hyang widhi ini secara utuh. Bahwa sang hyang widhi dipahami pertama melalui terlihatnya matahari di dalam mimpi seseorang, yang memberikan kesenangan luar biasa atau kesenangan tertinggi dari yang pernah dia rasakan. Kesenangan atau kebahagiaan ini berlanjut beberapa hari tanpa jeda. Namun, seseorang tidak dapat melihat matahari di dalam mimpi jika di dalam kenyataan ini dia tidak perhatian dengan matahari dan perkembangan hari siang dan malam.
Sang Hyang Widhi secara sederhana berarti dia yang memancarkan widhi atau penghapus ketidaktahuan. Dengan batasan media yang berupa cahaya, maka sang hyang widhi adalah sumber cahaya. Sumber cahaya ini berupa matahari atau sumber cahaya lain. Dengan demikian, dengan membatasi bentuk widhi berupa cahaya, sang hyang widhi adalah sumber cahaya.


Sang Hyang Tunggal


Sang Hyang Tunggal adalah suami dari Dewi Wiranti putri dari Sang Hyang Rekatatama. Serta ayah dari Batara Ismaya (Semar), Batara Antaga (Togog) dan Batara Manikmaya (Bathara Guru).
Pada episode Dewa Ruci, dia muncul sebagai Dewa Ruci dan bertemu Bima di dasar Laut Selatan. Bentuk wayangnya (dalam wayang kulit) termasuk kecil, seukuran wayang kulit tokoh-tokoh perempuan. Tokoh ini jarang dimainkan dalam pertunjukkan wayang kulit, karena episode yang memunculkannya memang sangat sedikit. Konon tidak sembarang dalang berani memainkan tokoh ini. Sang Hyang Tunggal adalah anak dari Sang Hyang Wenang.
Kisah mistis perjalanan batin yang dialami oleh Bima sehingga bertemu dengan Sang Hyang Tunggal dalam Dewa Ruci sangat baik untuk diambil pelajarannya.....

 

Senin, 27 Januari 2014

Cerpen

Lelaki Tampan di Sudut Masjid Nabawi 
 sumber :laman sebelah
 
Dengan mengucap “bismillahirrahmanirrahim”, aku menaiki pesawat Boeing 747 milik penerbangan Saudia Airlines. Inilah perjalanan umrahku yang pertama. Hatiku berdebar bercampur haru. Sejak kecil, aku memimpikan untuk bisa mengunjungi Mekah dan Madinah; dan mimpiku kini terwujud. Aku lebih berbangga dan bahagia sebab perjalanan umrahku ini hasil dari keringatku sendiri. Ya, selama ini aku menabung, menyisihkan uang sedikit demi sedikit dari gajiku agar dapat menunaikan mimpiku, kelak. Terbayang wajah almarhum Papa saat semua keluarga mengantarku di bandara Soekarno – Hatta pagi ini. Papa tak menyaksikan kebahagiaanku. Allah memanggilnya dua tahun lalu akibat kanker prostat yang menggerogotinya sejak empat tahun lalu. Teringat saat Papa mengantarku ke bangku TK dulu. Ampun deh, aku menangis sejadi-jadinya, dan Papa membiarkanku “diculik” bu guru. Papa juga yang mengantarku saat masuk SD, menemaniku saat masuk SMP, SMA dan menjadi fotografer setia saat aku diwisuda di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, empat tahun lalu. Tak lama setelah itu, Papa divonis sakit kanker prostat, dan semakin hari kesehatannya semakin menurun; sampai setahun lalu Papa menghembuskan nafas terakhirnya di RS Cipto Mangunkusumo, didampingi Ibu, Indra, Abangku, Aku dan Airin, adikku. Sore tadi, semua hadir di bandara. Bang Indra datang dari Bandung, khusus menemuiku di bandara. Airin berangkat bersamaku dan Mama dari rumah. Sejak menikah, Bang Indra tinggal di Bandung. Dia alumni ITB dan dapat istri teman kuliahnya. Dia lalu bekerja dan membangun rumah tangga di sana. Meski tinggal jauh denganku, Bang Indra adalah segalanya buatku, terutama sejak Papa meninggal dunia. Dia tak pernah absen melewati malam meneleponku, sekadar “say hello”, menanyakan pekerjaanku, dan – tentu – menanyakan calon pendampingku. Terus terang, kadang aku jenuh juga ditanyakan soal calon suami. Bang Indra tentu bermaksud baik. Usiaku kini 27 tahun. Sebagai abang, dia pasti khawatir dengan masa depanku. Tetapi, aku selalu meyakinkan dia, jodoh Allah yang tentukan. Dan aku selalu percaya kata-kata almarhum Papa; “wanita baik-baik akan mendapat laki-laki baik-baik juga..” hm…. Kata-kata Papa itu diucapkannya saat aku memutuskan memakai jilbab, saat kelas dua SMA dulu. Waktu itu, ibu menentang. Biasa lah, ibu khawatir aku bakalan tak suka gaul, tak modis. Kasarnya sih “susah laku!”. he… “Seat nomor berapa, Mba?” tanya pramugari Saudia Airlines memecah lamunanku. “Oh, 28-K Mba”, jawabku singkat. Pramugari itu melepas senyumnya dan menunjuki aku kursi nomor dua puluh delapan. Ternyata, meski penerbangannya Saudia, pramugarinya orang-orang Indonesia; mungkin karena melayani rute Indonesia, jadi yang direkrut orang Indonesia. Sejurus kemudian, aku mendapati kursi 28-K. Persis di dekat jendela dan barisan terdepan kursi kelas ekonomi. Sebetulnya aku bisa saja membayar umrah paket eksekutif, tapi karena aku berangkat sendiri dan “dititipkan” di keluarga Pak Arif, aku merasa tak pantas membayar kelas eksekutif sementara beliau di kelas ekonomi. Kata “dititipkan” sengaja aku berikan tanda petik. Sebab, dalam perjalanan umrah, seorang anak gadis tak boleh berangkat sendirian. Konon, itu peraturan pemerintah Saudi. Maka, oleh travel agent, aku didaftarkan sebagai anggota keluarga Pak Arief. Dan di visa-ku tertulis sebagai mahram Pak Arief. —***— Setelah melakukan perjalanan selama sembilan jam, pesawat Saudia Airlines mendarat mulus di Bandara Pangeran Muhammad bin Abdul Aziz, Madinah. Paket umrahku memang langsung ke Madinah baru kemudian Mekah. Kata Pak Endang, tour leader-ku, perjalanan ke Madinah dulu baru ke Mekkah lebih menguntungkan. Imigrasinya tak serumit di Jeddah, dan tak perlu naik bis dari Jeddah ke Madinah yang menempuh waktu enam jam lagi. Benar saja, imigrasi di Madinah relatif cepat; meski – menurutku – petugasnya tetap tak secekatan di Jakarta. Kadang, bangga juga jadi orang Indonesia, petugas imigrasinya ramah dan tak berbelit-belit. Kami langsung menuju hotel Royal al-Eman, hotel berbintang lima. Perjalanan dari bandara ke hotel sekitar tiga puluh menit. Sepanjang jalan, aku mencium aroma Madinah seperti yang kubaca di buku panduan dari travel agent. Suasana musim dingin terasa sejak keluar bandara; angin bertiup semilir; ada sederetan pohon kurma yang ditanam di median jalan raya. Meski hari beranjak malam, sekawanan burung merpati terbang rendah, tepat di dekat persimpangan sebuah lampu merah. Debu pun terbang tertiup angin. Aku teringat kata-kata ustadz Faishol saat belajar manasik di Jakarta, “Debu di Madinah adalah obat. Jadi jangan pakai masker di sana” Mulia sekali kota ini, bahkan debu-nya pun bernilai penawar sakit. Dan kini – aku berada di sini, di Madinah. Aku cubit tanganku sendiri; sekadar ingin memastikan aku tak sedang bermimpi. Di lobby hotel, saat menunggu pembagian kunci kamar, seorang petugas hotel berpakaian necis menghampiri kami. Aku menebak dia manager hotel, sebab – sungguh – dia rapi sekali: memakai jas, dasi dan bersepatu mengkilap. Rambutnya disisir ke belakang, alisnya tebal, kumis dan janggutnya dicukur bersih; dagunya belah, dan – oh my God, matanya biru. Aku seperti tak asing dengan wajahnya, tapi…Tidak, aku tidak sedang di Amerika atau Italia, aku di Madinah. Sekilas, aku bertemu mata dengannya, dan buru-buru aku menunduk, demi menyadari bahwa aku tengah ibadah. Dalam bahasa Arab, dia bercakap-cakap dengan Pak Endang. Aku tak paham sama sekali apa yang mereka berdua bicarakan, tapi pasti tak jauh dari soal pembagian kamar. Benar rupanya, petugas hotel itu meminta maaf sebab sebagian jamaah harus berada di lantai tiga, sebagian lain di lantai sembilan. Padahal, awalnya, kami dijanjikan akan berada di lantai yang sama. Aku, bu Wiwin, istri Pak Arif dan Linda, anaknya, ditempatkan di lantai tiga. Kami menempati kamar triple; sekamar bertiga. Sementara Pak Arief dan sebagian jamaah lainnya di lantai sembilan. Sekali lagi, si Arab itu melintasi kami; dan aku dengar dia berucap, “we are sorry for this inconvinience.” Oh, bagus juga bahasa Inggrisnya, gumamku. Kami check-in sekitar jam 9 malam waktu Madinah. –***— Kumandang adzan Subuh menggema memecah langit Madinah; aku, bu Wiwin dan Linda bergegas menuju masjid Nabawi. Hotel kami terletak sekitar lima ratus meter dari masjid Nabawi. Lamat-lamat, kuperhatikan, hotel-hotel di Madinah ini relatif sama; sama tingginya, sama pula modelnya. Mungkin hanya management-nya yang berbeda. Ini adalah shalat Subuh pertamaku di masjid Nabawi. Setelah istirahat sekian jam dari kedatanganku tadi malam, subuh ini sudah terasa fresh, meski masih ada sedikit sisa letih. Bu Wiwin pernah umrah, jadi cukup berpengalaman mengajakku langsung menuju masjid Nabawi wilayah khusus perempuan. Sesampainya di dalam masjid, aku langsung sujud syukur; “Ya Allah, aku sampai di kota Rasul-Mu.” Kelopak mataku kurasakan mengalirkan air hangat, ya – aku menangis. Betapa tidak, kini aku hanya beberapa meter dari makam Rasulullah yang mulia; makhluk teragung dalam sejarah peradaban umat manusia; nabi pemberi syafaat kelak; tokoh pilihan Allah untuk menyampaikan risalah-Nya. Sekali lagi aku ingat almarhum Papa. Aku teringat saat beliau sering sekali menceritakan Rasulullah sebelum kami beranjak tidur. Papa memang gemar membaca sejarah, terutama sejarah Nabi lalu diceritakannya kepada kami, anak-anaknya. Aku hampir hafal semua yang diceritakannya. Salah satu cerita yang paling aku suka adalah romantisme Rasulullah dan bagaimana beliau SAW menaruh trust– kepercayaan pada istri-istrinya. Sungguh, wanita merasa terhormat jika suami memberikan kepercayaan dalam senang dan susah. Kata almarhum Papa, setelah perang Khaibar selesai, para sahabat Nabi menghadap Rasulullah sambil membawa wanita bernama Shafiyah. Salah seorang di antara mereka berkata, “Shafiyah adalah wanita terhormat dari Bani Quraidzah dan Bani Nadzir. Dia hanya pantas buatmu, wahai Rasulullah.” Setelah wanita itu dimerdekakan, Rasulullah kemudian menikahinya untuk mengurangi tekanan batin dan guncangan jiwanya. Juga untuk memelihara kedudukannya yang terhormat. Rupanya, ada sahabat Nabi yang khawatir dengan keislaman Sofiyah, maka semalaman itu dalam perjalanan pulang dari Khaibar, Abu Ayyub Khalid Al-Anshari, sahabat Nabi itu, berjaga-jaga di sekitar tenda Rasulullah. Pagi harinya, Rasulullah melihatnya, dan bertanya, “Ada apa, wahai Abu Ayyub?” Abu Ayyub menjawab, “Aku khawatir akan keselamatanmu dari perbuatan wanita itu. Karena ayahnya, suaminya dan golongannya sudah terbunuh, sedang beberapa saat lalu dia masih seorang kafir.” Mendengar itu, Rasulullah tersenyum, lalu mendoakan Abu Ayyub agar ia selalu dijaga oleh Allah subhanahu wata‘ala. Lalu, lihatlah apa yang terjadi pada Shafiyah. Demi mendapatkan trust yang demikian besar dari suaminya, Rasulullah, Shafiyah pun sangat taat dan setia. Bahkan ketika Rasulullah sakit, Shafiyah berkata, “Ya Rasulullah, sekiranya mungkin, biarkan aku saja yang menderita sakitmu ini.” Selesai shalat subuh, aku berdoa agar kelak mendapatkan suami yang menaruh rasa percaya penuh padaku. Bagiku, itulah setinggi-tinggi penghormatan seorang suami pada istrinya. Ah, andai saja…. –***— Kini aku sudah tiga hari di Madinah, lusa kami akan ke Mekah. Aku telah ziarah ke makam Rasulullah, shalat di raudhah, city tour Madinah dan mulai menikmati suasana dingin kota ini. Diam-diam, dalam hati, aku ingin bertemu dengan manager hotel Royal Eman yang setiap bertemu selalu menyapa kami. Siapa tahu berpapasan di lobby hotel atau bertemu di lift. Aku cuma penasaran, kok ada orang Arab bermata biru seperti itu. Ya, aku ingat sekarang, dia mirip Pierce Brosnan, bintang film James Bond “Tomorrow Never Dies”. Bedanya; dia kelihatan lebih atletis, muda dan selama tiga hari, aku tak pernah melihatnya merokok. Jadi, kusimpulkan sementara, dia bukan perokok. Dia juga rajin sekali ke masjid. Setiap waktu shalat, masih dengan pakaian dinasnya itu, dia berangkat ke masjid. Hanya saja, aku tak pernah melihatnya masuk ke dalam masjid. Dia hanya shalat di pelataran masjid bersama para jamaah lainnya. Pernah kutanyakan pada Pak Endang, mengapa banyak orang yang tidak masuk ke masjid, dan hanya shalat di halaman masjid Nabawi. Pak Endang bilang, mereka rata-rata warga Madinah atau pekerja-pekerja hotel sekitar sini. Alasannya, mereka harus segera balik bekerja namun di saat yang sama tak ingin kehilangan shalat jamaah di masjid Nabawi. “Jika dia seorang cleaning service, misalnya. Dia kan harus segera bekerja. Kalau masuk ke dalam masjid, terlalu jauh. Jadi dia shalat di luar saja.” Oh, gumamku. Jadi, manager itu pun begitu. Dia selalu shalat di sudut masjid Nabawi dekat tiang arah pulang ke hotel agar segera bisa kembali bekerja. Subhanallah. Benar deh, benar-benar Pierce Brosnan plus dia. Tadi malam, saat kami makan di restoran bersama jamaah lain, Pierce Brosnan plus itu menghampiri kami, menanyakan cita-rasa masakan hotelnya. Tentu saja nikmat; semua masakan terasa betul bumbu Indonesia-nya. Terus terang, aku tak berani memandangnya. Namun, setelah dia pergi, Pak Endang justru bercerita kepada jamaah bahwa manager itu bernama Nael al-Zaydan. Dia warga negara Jordania; sudah lima tahun bekerja di Madinah. Sejak Pak Endang kenal, setiap kali datang ke Madinah, pasti Nael yang menyambutnya di Royal Eman. Dan – kata Pak Endang lagi – dia selalu tampil dandy. Menyaksikan ibu-ibu dan sejumlah anak gadis serius mendengarkan cerita Pak Endang, ada cemburu membakar hatiku. he.. –*** — Kami sudah mengepak seluruh koper dan tas jinjing untuk dibawa ke Mekah. Selepas shalat Zhuhur nanti, kami akan check-out. Tiba-tiba saja, aku merasa akan kehilangan kota ini. Ya, kota yang dipilih Rasulullah untuk membangun contoh peradaban Islami. Aku jadi ingat sekali lagi cerita almarhum Papa. Kata beliau, sewaktu selesai perang Hunain, Rasulullah membagi-bagikan harta rampasan perang kepada beberapa tokoh Quraisy; namun tidak kepada orang-orang Anshar Madinah. Hal ini menimbulkan kejengkelan dalam hati orang-orang Madinah hingga ada yang mengatakan: “Rasulullah memihak dengan kaumnya.” Kemudian Sa’d bin ‘Ubadah menemui Rasulullah. Katanya, “Wahai Rasulullah, orang-orang Madinah merasa tidak enak hati terhadap apa yang engkau lakukan dengan harta rampasan sebab engkau hanya membagikannya kepada kaum-mu sendiri.” Rasulullah balik bertanya, “Engkau sendiri di barisan mana, wahai Sa’d?” Ia menjawab, “Aku hanyalah bagian dari mereka.” Rasulullah kemudian, antara lain, berkata, “Tidakkah kalian ridha, wahai orang-orang Anshar, orang lain pergi dengan kambing dan unta mereka, sedangkan kalian pulang ke kampung halaman kalian membawa Rasulullah? Demi yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentulah aku termasuk salah seorang dari Anshar. Seandainya manusia menempuh satu lembah, dan orang-orang Anshar melewati lembah lain, pastilah aku ikut melewati lembah yang dilalui orang-orang Anshar. Ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak-anak kaum Anshar, dan cucu-cucu kaum Anshar.” Demi mendengar ucapan Rasulullah itu, menangislah orang-orang Anshar hingga membasahi janggut-janggut mereka, sambil berkata: “Kami ridha bagian kami adalah Rasulullah!” Ya, kota ini mendapat kemuliaan menjadi bagian dari sejarah Rasulullah. Dan sebentar lagi aku akan meninggalkannya. Meninggalkan kenikmatan beribadah di masjid Nabawi. Meninggalkan suara khas kumandang adzan masjid Nabawi ini. Saat aku berada di lobby mengawasi koperku dinaikkan ke bus, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang menyapaku. “Nisa…”. “How come you know my name?” tanyaku dengan wajah bego. “I have your passport” jawab Pierce Brosnan, eh Nael al-Zaydan sambil menggenggam photo-copy sejumlah paspor. Oh… Jadi… “Yes,” lanjutnya seakan membaca pikiranku. “I have learned your details. Thank you to be my guest in this hotel. I will be in Jakarta in the coming month, if you don’t mind, my I have your mobile number?” Hah! Dia meminta nomor HP-ku. Aku seakan tak menapak di atas lantai. Tanganku gemetar. Untuk apa? “I may need your help and we may communicate each other.” lanjutnya dengan senyum tersungging. Hah! Kini aku benar-benar tak berani menaikkan wajahku. Aku tak kuasa menjadi Zulaikha yang tertawan ketampanan Yusuf. Aku tak ingin melukai tanganku dengan pisau, eh pulpen dan menjadikannya berdarah-darah. Segera setelah selesai menuliskan nomor HP-ku, aku pun permisi. Kulihat dia tersenyum dengan secarik kertas yang aku berikan itu. Selepas Zhuhur, kami pun meninggalkan Madinah menuju Mekah guna menunaikan ibadah umrah. “Labaik Allahuma Labbaik… Labbaika Lasyarika La baik… Inal Hamda Wa Nikmata Laka Wal Mulk, La SyarikaLaak…” –*** — Tiga bulan berlalu sudah sejak aku umrah dan bertemu dengan lelaki tampan di sudut masjid Nabawi itu. Kini aku sedang berbulan madu bersama suamiku. Mau tahu siapa dia? He… lain kali aku ceritakan yah… :) Salam hormat, Nisa. 

Labbaik AllahumaLabbaik… Labaika La Syarika Labbaik… Innal Hamda Wa ni’mata LakaWal Mulk… La Syarika Laak…”
Mobil bus Ar-Raheel yang kami tumpangi memasuki tanah suci Mekah. Setelah menempuh perjalanan sekitar enam jam dari kota Madinah, kini kami mulai memasuki kawasan tanah haram Mekah. Cukup meletihkan perjalanan ini, namun semangat untuk segera melihat Ka’bah, bertawaf mengitarinya dan mencium hajar aswad telah berhasil membunuh rasa kantuk dan letihku.
Kuperhatikan jamaah yang umumnya telah sepuh, mereka mulai terbangun dari tidurnya. Perjalanan Madinah – Mekah memang menakjubkan. Meski bukan jalan tol, namun jalanan sangat lancar. Sepanjang perjalanan adalah gunung batu dan hamparan pasir. Aku teringat bagaimana dulu Rasulullah berangkat menunaikan haji dari Madinah ke Mekah. Berhari-hari melewati jalan batu ini. Sungguh, jamaah haji dan umrah sekarang sangat dimudahkan.
Kini, bus kami telah benar-benar berhenti di depan hotel. Ya, di depan hotel Darul Eman Mekah. Benarlah kata Pak Endang, tour leader kami; bahwa sepanjang perjalanan umrah ini menggunakan fasilitas Darul Iman Group. Top deh travel-nya. Dan kami mulai check in sekitar pukul delapan malam.
Pak Endang berpesan, “Selesaikan dulu makan malamnya, nanti sama-sama berkumpul lagi di lobby, kita bersiap umrah.” Umrah! Seakan aku tak percaya, sebentar lagi kami akan ke Masjidil haram, menunaikan ibadah umrah. Tak sabar rasanya untuk segera melihat Ka’bah; melihat “bangunan sederhana” yang menjadi kiblat setiap muslim menunaikan ibadah shalatnya.
Aku teringat ceramah ustadz Faishol saat manasik tempo hari. “Ka’bah adalah rumah ibadah paling tua yang dibangun oleh umat manusia. Al-Qur’an menegaskan, “sesungguhnya, rumah ibadah yang pertama kali untuk umat manusia adalah yang ada di Bakkah / lembah.” Karena itu, Ka’bah dinamakan sebagai “baitullahi al-atieq”; rumah Allah yang sangat antik.”
Tak sabar rasanya ingin segera bertawwaf, mengitari Ka’bah bersama ribuan umat muslim lainnya. “Mba Nisa, makan dulu yuk…” suara Linda membuyarkan lamunanku. Selesai makan malam, kami berkumpul kembali di lobby hotel. Kulihat Pak Endang juga sudah menunggu di lobby. Kali ini dia tidak sendiri. Kulihat ada seorang laki-laki, berperawakan tinggi, putih, agak kurus, bermuka tirus dan berhidung mancung tengah terlibat percakapan dengan Pak Endang. Aku tak mengenali laki-laki itu, sebab tak ada dari rombongan umrah kami anak muda itu.
Setelah jamaah semua berkumpul di lobby, Pak Endang bilang, “Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, mengingat jumlah kita banyak; lima puluh orang; maka, khawatir terpisah-pisah, kita akan dibantu Mas Idil.” Oh…Jadi dia mutawwif, pantas aku tak melihatnya. Hm…
— *** —
Akhirnya, sampailah kami di depan Ka’bah. Ya, benar-benar di depan Ka’bah. Aku langsung sujud syukur saat pertama menatap bangunan mulia itu. Ya Allah, betapa beruntungnya aku, saat jutaan umat muslim tak mampu ke tanah suci, aku telah berada di sini. Menatap Ka’bah dengan mata kepalaku sendiri. Aku menangis sejadi-jadinya.
Dalam sujud-ku, aku teringat almarhum Papa, Mama, Bang Indra dan Airin, adik-kakakku. Kami memulai tawwaf dari sudut bertanda lampu hijau. Pak Endang di depan kami, memulai aba-aba… “Bismillahi allahu akbar..” melangkahlah kaki kami dalam putaran tawwaf bersama ribuan malaikat yang terus bertasbih pada-Nya.
Putaran pertama selesai, lalu kedua, ketiga, keempat – dan kulihat rombongan kami yang berjumlah lima puluh orang ini semakin terberai. Aku tak melihat lagi Pak Endang dan bapak-ibu lainnya. Aku bersama Linda, bu Wiwin dan dua bapak tua (maaf aku tak hafal namanya) kini didampingi Mas Idil. Kami terus melanjutkan tawwaf hingga selesai tujuh putaran.
Selesai tawwaf, kami shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim, memanjatkan segala doa (tentu termasuk doa dapat jodoh :), lalu bersegera menuju bukit Shafa untuk bersa’i. “Sesungguhnya, Safa dan Marwa adalah bagian dari syiar Allah…”. Lamat-lamat terdengar suara orang-orang melafalkan bagian dari ayat tersebut. Kami memulai rangkaian perjalanan sa’i dari bukit Safa menuju bukit Marwa. Jauh juga ternyata, setidaknya satu perjalanan dari bukit Safa ke Marwa dibutuhkan waktu sekitar sepuluh menit. Kami menuntaskan seluruh prosesi umrah sekitar dua jam.
Kami tahalul (menggunting rambut sedikit) di atas bukit Marwa sebagai pertanda ibadah umrah kami telah sempurna. Aku, bu Wiwin dan Linda mengucapkan terima kasih pada Mas Idil yang telah sabar membimbing kami.
— *** —
Ini adalah hari kedua di Mekah. Tak ada agenda resmi dari pihak travel agent-ku kecuali nanti malam berkumpul di restoran untuk sekadar siraman rohani. Aku dan Linda memutuskan untuk mengisi pagi menunggu Zhuhur dengan belanja oleh-oleh. Sebenarnya sih, koperku sudah penuh sejak di Madinah, tapi ada saja yang belum terbeli. Biasa, ibu-ibu, eh belum yah.
Saat turun ke lobby hotel, aku bertemu Mas Idil.
“Mau ke mana, Mba?”
“Beli oleh-oleh” kataku sekilas.
“Kalau mau ikut denganku. Banyak oleh-oleh dengan harga murah dibandingkan di dekat Masjidil haram ini” Katanya.
Aku melirik Linda; ia nampak tak keberatan.
“Jauh?” tanyaku.
“Nggak, daerah di ujung Misfalah.” Katanya sambil menunjukkan jari ke arah Misfalah. “Aku kebetulan bawa mobil, jadi nanti terkejar shalat Zhuhurnya di masjid.”
Kami berangkat ke Misfalah. Sesaat aku teringat pesan orang-orang tua di kampung; jangan pernah naik taksi di Arab.
“Tenang saja, Mba. Ini bukan taksi.” Kata Mas Idil seakan membaca pikiranku.
“O yah. Namanya siapa?” Katanya lagi. Aku perkenalkan diriku dan Linda. Dari balik kaca spion, kulihat wajah Mas Idil sumringah. He… kurang kerjaan banget aku yah!
Jam sebelas kami sudah sampai kembali ke hotel. Aku ucapkan terima kasih untuk Mas Idil yang sudah berbaik hati mengantarkan “nyonya besar” belanja. Aku melihatnya tersenyum dan lalu izin pergi mau balik ke rumahnya. Katanya sih rumahnya di sekitar Subaikah. Mana aku tahu Subaikah; Pulo Gadung aku tahu.
Malam hari, siraman rohani diagendakan mulai jam delapan. Biasa lah, molor sedikit dari jadwalnya. Maklum, banyak ibu-ibu sepuh. Biasanya juga Pak Endang yang menyampaikan taushiyah. Tetapi malam ini berbeda. Laki-laki berpakaian Arab dengan sangat rapi duduk di depan jamaah. Sekilas, aku tak mengenali laki-laki itu; Sejurus kemudian baru aku tersadar bahwa itu Mas Idil.
Ya ampun, saat ia memakai gamis (baju panjang), sungguh tak terlihat sebagai orang. Pak Endang lalu “memperkenalkan” ustadz muda itu.“Bapak – ibu sekalian, taushiyah malam ini akan disampaikan olehal-mukarram sahabat dan guru kita semua; Aidil al-Atas.” oh, berdarah al-Atas toh, pantesan… gumamku.
Mas Idil, eh ustadz Aidil al-Atas itu kemudian menyampaikan tausiyahnya. Sungguh terlihat penguasaannya pada ilmu agama. Ia fasih menyitir ayat-ayat al-Qur’an, hadits dan tentu cerita-cerita menarik seputar Ka’bah.
Tentang Ka’bah, ustadz Aidil menceritakan bagaimana bangunan itu telah menjadi “centre of attraction” para peziarah sejak zaman sebelum Islam. Caranya menceritakan surah al-Fil (gajah) sungguh berbeda dengan para da’i di teve Indonesia yang umumnya kering, penuh lelucon dan tak berisi. Lalu, ia menceritakan tentang Tahun Gajah.
“Disebut demikian, sebab pada tahun ketika Nabi lahir itu, pasukan Abraha dari Yaman tengah menuju Mekah untuk menghancurkan Ka’bah. Peristiwa itu, menurut Ibn Hisyam, “coinsident” dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Awalnya, raja Abraha di Yaman telah membangun al-Qullaiys – gereja Ekanola – di Yaman. Abraha sendiri adalah raja Yaman yang berdarah Ethiopia. Saya lebih suka menyebutnya sebagai gubernur wilayah Yaman sebab pusat kekuasaan Kristen ketika itu adalah kerajaan Aksum di Ethiopia. Kerajaan itu sangat besar. Mereka menguasai perdagangan kawasan Arab dan India. Maka itu pula, Rasulullah sendiri pernah mencoba ber-hijrah ke Ethiopia; menunjukkan kawasan itu adalah “land of opportunity”.
Abraha berharap al-Qullaiys yang ia bangun menjadi “daya tarik” untuk mengembangkan industri turisme Yaman. Namun, pesona Ka’bah di lembah Mekah lebih menarik perhatian para peziarah. Sehingga, ia mengkonsolidasikan pasukannya untuk menghancurkan “bangunan kubus” di Mekah itu.
Peristiwa itu diabadikan al-Qur’an dengan diturunkannya surah al-Fil. Ketika menceritakan tentang proses penghadangan mereka, Allah SWT berfirman, وأرسلعليهم طيرا أبابيل Selama ini, pemahaman atas ayat itu adalah, Allah mengirim burung Ababil. Saya lebih suka memahaminya, “Dan Aku utus untuk menghadang mereka burung yang berbondong-bondong.” Sebab, burung-burung itu diutus untuk menghadapi empat puluh ribu tentara Abraha, maka wajar-lah jika mereka datang bergelombang.” Maka, sejak itu semua musuh Allah takut dengan kesucian Ka’bah.
Mas Idil lalu menutup ceramahnya dengan gurauan, “Perhatikan deh, ribuan merpati di dekat Masjidil haram ini juga takut dengan Ka’bah, tak ada satu pun yang hinggap di atas-nya.”
Iya kah? Pikirku. Diam-diam aku memperhatikan Ka’bah saat tawaf di hari berikutnya; memang tak ada merpati hinggap di atapnya. Padahal, kota ini dipenuhi ribuan burung jinak itu.
—***—
Hari demi hari berlalu. Tak terasa sudah sepekan kami di tanah suci Mekah. Seluruh rangkaian ziarah telah dilaksanakan; mengunjungi Arafah, Mina, Mudzhalifah dan tempat-tempat bersejarah lainnya. Bahkan, aku dan Linda dapat bonus dari Mas Idil. Ya, kami berdua diajak mengunjungi museum Ka’bah dan mampir makan di restoran di tengah padang pasir. Aku tak tahu nama daerahnya, tetapi jelas di luar kota Mekah; sebab di restoran itu banyak anak-anak muda Arab yang nongkrong sambil nonton bola. Pengalaman yang menakjubkan. Sesekali Mas Idil menelpon ke kamarku, sekadar tawarkan buah dan makanan kecil lainnya. Bu Wiwin pasti menggodaku.
Setelah selesai menunaikan seluruh rangkaian perjalanan ibadah umrah ini, kini kami bersiap-siap kembali ke tanah air. Jam sepuluh pagi kami telah berkemas; menyiapkan seluruh bawaan untuk dimasukkan ke koper. Mas Idil menghampiriku;
“Aku akan ikut kalian ke Jeddah” Katanya, seakan memberi tahu aku; padahal aku tak pernah bertanya.
Aku hanya tersenyum. Bu Wiwin dan Linda saling melirik. Aku tahu apa maksud mereka. Sekali waktu, Bu Wiwin juga pernah menggodaku; “Sudahlah, dipikir apa lagi. Tampan lho dia. Kalau di Jakarta sudah jadi bintang sinetron tuh” Aku hanya senyum-senyum saja.
Terus terang, aku mulai bimbang. Ada Nael Al-Zaydan yang kukenal hanya sekilas di Madinah namun mampu memberikan kesan yang mendalam. Dia sungguh sangat tampan, simpatik dan – shalih. Tapi, apa iya dengannya. Pria asing yang bahkan aku tak tahu asal-usulnya. Bagaimana pula nantinya, jauh sekali. Eh, aku kok jadi berfikir aneh.
“Nis…” suara Mas Idil memecah lamunanku. “Aku titip ini; baru boleh dibaca saat di mobil nanti.” Mas Idil memberikan sepucuk surat. Kini aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Dosakah aku? Salahkah aku dengan Nael; seseorang yang baru saja melintas di benakku. Tapi kan, dia bukan siapa-siapa aku…
Di dalam bus, aku membuka surat Mas Idil. Ini isi suratnya:
Assalamu’alaikum,
Nisa yang baik hati.
Bertahun sudah aku tinggal di Mekah; mula-mula ikut ayah yang merantau ke tanah suci ini, hingga akhirnya kuselesaikan studiku di Universitas Ummul Qura’. Kini, ayah telah wafat dan aku selalu ditanya ibu: kapan mau berumah-tangga. Tahu apa jawabanku, selalu. “Aku belum melihat merpati hinggap di atap Masjidil haram, bu.” Ibu lalu tersenyum.
Aku bangga mengenalmu, Nis. Aku bahagia sebab mendapati merpati yang kini hinggap, tidak lagi di Masjidil haram, tetapi di sini – di lubuk hatiku. Ia terbang jauh dari negeri nan hijau ke kota nan tandus ini, lalu menyirami hatiku yang gersang. Ia terbang bersama jutaan suara dalam irama talbiyah, dan aku menemukannya di antara jutaan suara itu.
Saat menulis surat ini, aku teringat Qais bin Maluh – itu lho penyair yang sampai gila karena cintanya tak tertunaikan pada Layla.
تعَلَّقتُ لَيْلَى وهْيَ غِرٌّ صَغِيرَة ٌ *** ولم يَبْدُ لِلأترابِ من ثَدْيها حَجْمُ
صَغِيرَيْنِ نَرْعَى البَهْمَ يا لَيْتَ أنَّنَا *** إلى اليوم لم نكبر ولم تكبر البهم
Aku mengagumi Layla saat ia bermain boneka; seorang anak kecil ***
bahkan gundukan pasir debu lebih besar dari ukuran tubuhnya
Kami adalah dua anak yang merawat domba bersama; sekiranya kami ***
hingga hari ini tak pernah menjadi dewasa; dan domba-domba itupun tak pernah menjadi tua.
Saat pertama melihat-mu, aku sungguh merasa menemukan sahabat kecilku. Impian saat kami merajut cita-cita di Taman Kanak-kanak di masjid al-Ittihad, Tebet, sekitar lima belas puluh tahun lalu. Nama kalian pun sama: Annisa.
Maaf jika aku kurang sopan, membandingkanmu dengan sahabat kecilku. Aku hanya ingin mempertegas bahwa “rasa” ini datang bagaikan kolektif memori yang membangunkanku dari lamunan panjang. Kita hanya sepekan bertemu, namun aku mulai punya keberanian untuk bercerita pada Ibu di rumah, di Subaikah. Insya-Allah, bulan depan – kami sekeluarga akan kembali ke Indonesia, jika Nisa berkenan, aku – dan tentu dengan ibu – ingin mampir ke rumah.
Aku senang mengutip Qais bin Maluh sekali lagi:
وَجَدْتُ الحبَّ نِيرَاناً تَلَظَّى *** قُلوبُ الْعَاشَقِينَ لَهَا وَقودُ
فلوكانت إذا احترقت تفانت ***  ولكن كلما احترقت تعود
Aku mendapati cinta sebagai api yang menyala ***
di mana dua hati sejoli adalah bahan bakarnya
Semestinya, setelah terbakar – punahlah ia ***
Namun, semakin sering terbakar, keduanya penuh kembali
Demikian surat ini kubuat, malam ini – jam 22.30 Waktu Mekah. Sampaikan salamku untuk ibu dan keluargamu di Indonesia. Salam hormat, Idil.
Selesai membaca surat itu, aku terhenyak. Dahsyat sekali kekuasaan Allah; dua puluh tujuh tahun aku di Indonesia, tak pernah ada yang benar-benar membuatku “bingung”, kini hanya dalam hitungan hari, aku bertemu dengan dua laki-laki yang membuatku “melongo”, bahkan aku jadi terkesan bloon dan bego.
Saat kami akan masuk imigrasi di bandara Jeddah, Mas Idil menghampiriku dan bilang, “hati-hati di jalan. Take care!” Aku hanya tersenyum.
— *** —
Kini, aku benar-benar dalam pilihan sulit. Nael al-Zaydan – sosok tampan — di Madinah; dan Mas Idil – sosok mempesona — di Mekah. Keduanya bulan depan ke Jakarta dan berniat menemuiku. Ya Allah bimbinglah aku dalam menentukan pendamping hidupku. Jadikanlah umrah-ku sebagai umrah yang maqbul hanya karena-Mu. Dan dua laki-laki itu adalah “bonus” untuk shalat istikharahku.


Jumat, 24 Januari 2014

Indonesia Kehilangan Pakar Ilmu Fikih Modern

JAKARTA - Di tengah bencana yang melanda negeri tercinta, Indonesia kembali diuji Tuhan dengan dipanggilnya salah satu ulama kharismatiknya, KH Dr. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz.
Ketua Umum Ikatan Sarjana NU Ali Masykur Musa menyatakan kesedihannya yang mendalam atas meninggalnya Rais Aam PBNU tersebut. “Innnalilahi wa inna Ilaihi rojiun telah meninggal dunia guru kami, KH Sahal Mahfudz. Al Fatihah,” ujar Ali Masykur Musa kepada Okezone di Jakarta, Jum’at (24/1/2014).

Menurut Ali Masykur Musa, almarhum yang lazim disapa Mbah Sahal tersebut adalah fuqoha (ahli ilmu Fikih) modern. Ada dua kitab karya beliau yang selalu menjadi rujukan umat untuk memperkaya khasanah Islam, yaitu Fiqih Siyasah (politik) dan Fikih Lingkungan.

“Mbah Sahal adalah sosok yang sangat alim. Indonesia kehilangan ahli Fiqih terbaiknya. Dengan buku yang menjadi karya beliau itu hukum Islam mampu menjawab berbagai tantangan zaman,” ungkap Cak Ali, panggilan akrabnya.

Cak Ali melanjutkan, bahwa Mbah Sahal yang juga mengemban amanah sebagai Ketua Umum MUI selama 3 periode ini adalah tokoh yang sangat disegani, bukan hanya karena ilmu, tetapi juga akhlaknya. Dalam berorganisasi, almarhum adalah sosok sangat taat pada aturan organisasi yang ada, sehingga pengambilan keputusan selalu menunggu pendapat KH Sahal Mahfudz.

“Secara pribadi saya sangat kagum dan hormat pada almarhum Mbah Sahal. Banyak sikap politik saya yg dipengaruhi oleh pandangan beliau. Saya sangat terkesan saat menjadi Ketum ISNU saya dilantik langsung oleh beliau, yang mana tidak biasa dilakukan sebelumnya,” terangnya.

KH Sahal Mahfudz wafat pada Jum’at, (24/1) dini hari pukul 01.05 WIB di kediamannya, kompleks Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen Pati Jawa Tengah. Selain karena sudah sepuh, Mbah Sahal meninggal karena penyakit yang dideritanya selama beberapa bulan terakhir dan mendapat perawatan intensif. Rencananya almarhum akan dimakamkan pagi ini pukul 09.00 WIB di Kajen, Pati.