GOA PASIR

Bagi warga Masyarakat Tulungagung siapa
yang belum mengenal Goa Pasir, Goa yang terletak di Dukuh Pasir Desa
Junjung Kecamatan Sumbergempol atau tepatnya di sisi utara pegunungan
kapur selatan (Gunung Podo) ini ternyata banyak menyimpan berbagai benda
purbakala (Patung, berbagai pahatan/relief yang ada di antara bebatuan,
makam kuno dan goa) yang dapat dijadikan obyek wisata sejarah maupun
cagar budaya.
Dari Buku yang berjudul TABUTA (Tapak
Budaya Tulungagung) karangan Drs. M Dwi Cahyono, M.Hum dijelaskan bahwa
Goa Pasir atau yang dinamakan Situs Karsyan Goa Pasir yang terletak di
Desa Junjung Kecamatan Sumbergempol berbentuk bangun landam kuda serta
tinggalan arkeologi yang berupa goa pertapaan yang berisi banyak relief
(goa I) dengan ukuran goa 260 x 175 cm dan kedalaman 218 cm dengan
ketinggian 200M di atas permukaan tanah tanpa disertai dengan tangga
batu. Dan goa II yang tidak ber-relief dengan posisi tebing bawah dengan
keadaan mulut lebih besar dari goa I berukuran 305 x 255 x 190 cm dan
kedalaman 255 cm posisi goa menghadap ke barat.
Dalam buku TABUTA juga dijelaskan bahwa sesuai dengan sebutannya yaitu “Situs Goa Pasir“
dan fungsinya sebagai karsyan maka kedua Goa tersebut waktu itu
difungsikan sebagai pertapaan. Hal tersebut didukung dengan banyaknya
temuan lain yang tersebar di area goa serta sebagian yang tertimbun
tanah, hal ini selaras dengan esoteris dari Hindu sekte Siwa Shidanta
yang lazim di jalankan di lingkungan karsyan yang sifatnya tertutup.
Temuan lain di situs Goa Pasir berupa
sisa struktur bangunan, berbangun bujur sangkar dengan ukuran sisi 700
cm berupa tatanan batu bata yang semula diperkirakan sebagai pondasi
suatu asrama (rumah tinggal semi permanen bagi para Resi) dan hingga
kini yang tersisa dari bangunan ini adalah bagian bangunan yang tampak
di permukaan tanah yang berada di sisi selatan dan barat.
Selain itu di area situs juga terdapat
arca-arca lepas batu adesit, sedangkan arca yang tersisa berupa dua buah
arca penjaga pintu (dwara pala) berbeda ukuran dan detail bentuknya,
fragmen arca Ganesha (Putra kedua dari Dewa siwa dan parwati/uma)
peninggalan kerajaan Majapahit dan ini di indikatori berupa pahatan
teratai yang tumbuh dari vas bunga yang dipahat pada sandaran kanan kiri
kaki arca.
Berdasarkan catatan penelitian N.J. Krom
dan Verbeek di situs Goa pasir pernah ditemukan arca batu yang
sandarannya dipahatkan konogram saka 1325 (1403 M) dan 1224 S (1302 M)
tahun 1302-1403 M yang berarti dari masa Majapahit, juga pernah
ditemukan kronogram yang bertarikh Saka 1228 (1306 M), menunjuk pada
zaman Majapahit oleh karena itu situs Karsyan Goa pasir diperkirakan
sebuah peninggalan zaman Majapahit.
CANDI BOYOLANGU

Candi Boyolangu merupakan kompleks
percandian yang terdiri dari tiga bangunan perwara. Masing-masing
bangunan menghadap ke barat. Candi ini ditemukan kembali oleh masyarakat
pada tahun 1914 dalam timbunan tanah. Bangunan pertama disebut dengan
bangunan induk perwara, karena bangunan ini berukuran lebih besar
dibanding dengan bangunan kedua dan bangunan lainnya. Letak bangunan ini
di tengah bangunan lainnya.
Candi Boyolangu berada di tengah
pemukiman penduduk di wilayah Dusun Dadapan, Desa Boyolangu, kecamatan
Boyolangu Kabupaten Tulunaggung, Wilayah Provinsi Jawa Timur.
Bangunan induk perwara terdiri dari dua
teras berundak yang hanya tinggal bagian kakinya. Bentuk bangunan
berdenah bujur sangkar dengan panjang dan lebar 11,40 m dengan sisa
ketinggian kurang lebih 2,30 m (dengan mengambil sisi selatan).
Di dalam bangunan ini terdapat sebuah
sempalan arca wanita Budha dan beberapa umpak berukuran besar. Kondisi
arca sudah rusak, namun masih terlihat baik. Bagian kepala dan anggota
tangan arca hilang karena pengrusakan. Oleh para ahli arca ini dikenal
dengan nama Gayatri. Gayatri adalah salah satu dari keempat anak raja
Kertanegara (Singosari) yang kemudian diwakili Raden Wijaya (Majapahit).
Pada masa hidupnya, Gayatri terkenal sebagai pendeta wanita Budha
(Bhiksumi) kerajaan Majapahit dengan gelar Rajapadmi.
Bentuk arca menggambarkan perwujudan
Dhyani budha Wairocana dengan duduk diatas padmasanan (singgasana)
berhias daun teratai. Sikap tangan arca adalah Dharmacakramudra
(mengajar). Badan arca dan padmasana tertatah halus dengan gaya
Majapahit. Sedangkan jumlah umpak pada bangunan perwara ini ada tujuh
buah dengan dua umpak berangka tahun 1291 C (1369 M) dan 1322 C (1389
M). Dengan adanya umpak-umpak tersebut diduga bangunan Candi Boyolangu
dahulunya memakai atap, mengingat fungsi umpak pada umumnya sebagai
penyangga tiang bangunan.
Berdasarkan angka tahun pada kedua umpak
bangunan induk (1369 M dan 1389 M) maka diduga Candi Boyolangu dibangun
pada zaman Majapahit masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1359 M s/d
1389 M). Sedangkan sifat, nama, dan tempat bagunan disebutkan dalam
Kitab Kesusastraan Nagarakertagama karangan Mpu Prapanca (masa Majapahit
pemerintahan Raja Hayam Wuruk) bahwa di Boyolangu terdapat bangunan
suci (candi) beragama Budha dengan nama Prajnaparamitapuri.
Bangunan perwara yang kedua berada di
selatan bangunan induk. Keadaan bangunan hanya tinggal bagian kaki dan
berdenah bujursangkar dengan ukuran panjang dan lebar 5,80 m. Adapun
bangunan perwara ketiga berada di utara bangunan induk perwara. Kondisi
bangunan sudah runruh dan berdenah bujur sangkar dengan ukuran panjang
dan lebar masing-masing 5,80 m.
Latar Belakang Sejarah
Candi ini ditemukan kembali pada tahun
1914, yang menurut informasi sejarah dibangun pada masa pemerintahan
Raja Hayam Wuruk (1359 s/d 1389 M). Sumber lainnya menyebutkan bahwa
candi ini merupakan penyimpanan abu jenazah Gayatri yang bergelar
Rajapadmi.
Berdasarkan pada angka tahun terdapat
pada bangunan induk diketahui bahwa candi ini dibangun pada zaman
Majapahit, yaitu sekitar abad XIV. Pembangunannya dikaitkan dengan tokoh
wanita yang diduga adalah Gayatri. Menurut kitab Nagarakertagama
bangunan ini didirikan pada masa Pemerintahan Hayam Wuruk (1359 s/d 1389
M) dengan nama Prajnaparamitaputri (Slamet Mulyana, 1979).
Menurut keterangan para ahli bangunan
ini merupakan tempat penyimpanan abu jenazah Gayatri setelah jenazahnya
dibakar di lokasi lain yang berdekatan.
Situs ini berada pada dataran yang
berjarak hanya sekitar 6 km di sebelah selatan kota Tulungagung. Di
sekitarnya cukup banyak situs lain yang dapat dikatakan se-zaman.
Sekitar 1 km di sebelah timurnya terdapat Candi Sanggrahan yang menurut
cerita merupakan tempat persinggahan pada saat menuju Candi Boyolangu
atau Candi Gayatri.
Latar Belakang Budaya
Situs ini dahulu berfungsi sebagai
tempat penyimpanan abu jenazah Gayatri dan sekaligus tempat pemujaan
masyarakat pendukungnya dalam pemuliaan tersebut Gayatri diwujudkan
sebagai Dyani Budha Wairocana dengan sikap Dharmacakramuda.
Hal tersebut didukung dengan temuan
berupa sumuran dan arca perwujudan Majapahit. Melihat pada Arca Pantheon
Dewa dan wahananya, dapat ditentukan bahwa situs berlatar belakang
agama Hindu.
Pada masa Indonesia kuno, candi dikenal
sebagai tempat pemujaan, temapat raja/penguasa yang telah meninggal
dimanifestasikan sebagai arca perwujudan yang sekaligus dijadikan sarana
pemujaan masyarakat pendukungnya.
Artinya tempat tersebut selain berfungsi sebagai tempat pemujaan juga sebagai tempat penyimpanan abu jenazah raja/penguasa.
Fungsi candi persinggahan itu cukup
menonjol mengingat berbagai sumber menyebutkan peran Candi Boyolangu
sebagai tempat keramat yang di sekar para pembesar Majapahit setiap
bulan Badrapada.
Di bagian selatan Candi Boyolangu ini,
seolah-olah melingkarinya, terdapat situs-situs lain yang berada di
perbukitan. Bermula dari Gua Tritis di sebelah Barat Daya, terus ke
Tenggara adalah situs-situs Goa Selomangkleng, Candi Dadi dan Goa Pasir.
Jarak antara Boyolangu dan masing-masing situs berkisar antara 2 - 4
km.
WADUK WONOREJO

Waduk Wonorejo adalah waduk terbesar di
Asia Tenggara dengan debit 15.000 m3 per detik. Selain berfungsi sebagai
PLTA dan sebagai irigasi, Waduk Wonorejo juga diperkenalkan sebagai
obyek "journey" yang menyuguhkan kenyamanan dan ketersediaan fasilitas
rekreasi. Dalam konsepnya Waduk Wonorejo dimaksudkan untuk penyuplai air
bersih baik untuk kawasan Tulungagung maupun sekitarnya, sebagai sarana
irigasi di daerah Pagerwojo dan sekitarnya, dan sarana penggerak turbin
untuk menghasilkan energi listrik.
Selain itu, konsep lain yang ditawarkan
adalah sebagai obyek wisata dengan memberikan fasilitas berupa jet ski,
wisata dengan perahu kano, bumi perkemahan dan lintas alam, sarana
penerbangan domestik setingkat heli, pemancingan air tawar, serta ada
juga sirkuit berkualitas standar untuk event Motocross atau Offroad.
Dengan jarak tempuh ±15 km dari pusat
kota, ditunjang dengan akses dan sarana jalan yang berkualitas
menjadikan Waduk Wonorejo menjadi area yang mudah ditempuh. Tersedia
juga resort dan villa berkualitas nasional untuk disinggahi para
pengunjung. Di samping itu juga standart kebersihan yang tinggi dapat
dirasakan di sini.
Waduk Wonorejo menjadai daerah yang
sangat nyaman walau berada di daerah tropis karena bentang alam
perbukitan yang berhawa sejuk dan dengan tingkat kemiringan lereng dan
lembah yang tidak curam. Penampakan hutan baik alami maupun buatan dapat
dijumpai di sini. Dengan konsep pengecoran total sebuah bukit,
menjadikan Waduk Wonorejo memiliki nilai artistik bagi para pengunjung.
Event-event banyak sekali dijumpai
disini baik itu dalam skala daerah maupun nasional. Contoh acara rutin
yang selalu diselenggarakan adalah lomba layang-layang tingkat nasional,
Kejurnas Motocross dan 4WD OFFROAD, lomba panahan, dl
Misi lain yang diemban oleh Waduk
Wonorejo adalah mencoba mengembangkan konsep wisata pegunungan yang ada
di Tulungagung, sehingga potensi wisata tidak hanya sub sektor pantai
ataupun agrobisnis, tetapi fasilitas umum yang begitu penting bagi
masyarakat dapat juga dikembangkan menjadi obyek wisata. Sehingga ke
depan nantinya Tulungagung akan dikenal bukan hanya sebagai Kota Marmer,
tetapi juga kota yang menyuguhkan berbagai kemudahan fasilitas
rekreasi.
PANTAI CORO

Pantai Coro Apa yang menarik dari pantai
ini? Pantai yang memiliki panjang sekitar 400 meter, pasirnya berwarna
putih, bersih, dan lembut. Menjadikan Pantai Coro tidak kalah dengan
pantai lain yang ada di Jawa Timur. Selain itu daya tarik lain pada
pantai yang berjarak sekitar 1,5 km timur padepokan "Retjo Sewu" adalah
keberadaannya yang masih natural, belum banyak tergarap, serta ombak
pantai juga tidak terlalu besar.
Lebih dari itu air laut pantai sangat
jernih sehingga permukaan dasar laut bisa dilihat dengan mata telanjang,
seperti semua karang dan tumbuhan laut.
Di pantai yang menurut cerita dulunya
banyak hewan coro (kecoak), juga banyak sekali dijumpai batu karang,
tumbuhan dan hewan laut. Pengunjung bisa melihat dengan jelas tumbuhan
dan hewan laut hidup di batu-batu karang di sepanjang pantai yang
berbentuk teluk tersebut. Dan semua itu akan lebih jelas terlihat ketika
air laut mulai surut.
Bagi mereka yang suka mengoleksi aneka
kulit kerang bisa datang ke tempat ini, karena banyak sekali jenis kulit
kerang yang terdampar di bibir pantai, begitu juga dengan batu karang
yang terdapat di hamparan pasir putih yang luas
CANDI PANAMPEHAN

Candi Penampehan yang terletak dilereng
Gunung Wilis, Dusun Turi Desa Geger kecamatan Sendang Kabupaten
Tulungagung merupakan candi Hindu kuno peninggalan kerajaan Mataram kuno
dibangun pada tahun saka 820 atau 898 Masehi. Arti penampehan itu
sendiri konon berasal dari Bahasa Jawa yang berarti antara penolakan dan
penerimaan yang bersyarat demikian tafsirnya.
Candi penampehan merupakan candi
pemujaan dengan tiga tahapan (teras) yang dipersembahkan untuk memuja
Dewa Siwa, dimana konon peresmian candi ini dengan mengadakan pagelaran
Wayang (ringgit). Selanjutnya era demi era pergolakan perebutan
kekuasaan dan politik di tanah jawa berganti mulai dari kerajaan Mataram
Kuno, Kediri, Singosari, hingga Majapahit sekitar abad 9-14 M, candi
ini terus digunakan untuk bertemu dan memuja Tuhan, Sang Hyang Wenang.
Di dalam kompleks Candi terdapat
beberapa Arca yaitu arca Siwa dan Dwarapala, tetapi karena ulah Manusia
yang tidak mencintai dan menghargai Heritage dan legacy dari nenek
moyang beberapa arca telah hilang dan rusak. Untuk mengamankan beberapa
arca yang tersisa yaitu arca siwa sekarang diletakan di museum situs
Purbakala Majapahit Trowulan Jawa timur.
Selain Arca terdapat sebuah prasasti
kuno yaitu Prasasti Tinulat tertulis dengan menggunakan huruf Pallawa
dengan stempel berbentuk lingkaran di bagian atas prasasti. Berdasarkan
Penuturan Bu Winarti umur 44 Tahun, juru kunci Candi Penampehan,
prasasti itu berkisah tentang Nama-nama raja Balitung, serta seorang
yang bernama Mahesa lalatan, siapa dia? Sejarah lisan maupun artefak
belum bisa menguaknya. Serta seorang putri yang konon bernama Putri
Kilisuci dari Kerajaan Kediri. Selain menyebutkan nama, prasasti itu
juga memberikan informasi tentang Catur Asrama yaitu sistem sosial
masyarakat era itu di mana pengklasifikasian masyarakat (stratifikasi)
berdasarkan kasta dalam agama Hindu yaitu Brahmana, Satria, Vaisya dan
Sudra.
Masih di kompleks candi Penampehan
terdapat 2 kolam kecil yang bernama Samudera Mantana (pemutaran air
samudera), di mana menurut pengamatan empiris selama berpuluh-puluh oleh
Bu Winarti, 2 kolam tersebut merupakan indikator keadaan air di Pulau
Jawa. Kolam yang sebelah utara merupakan indikator keadaan air di Pulau
Jawa bagian utara dan Kolam sebelah selatan merupakan indikator keadaan
air di Pulau Jawa bagian selatan. Berdasarkan penuturan Bu Winarti,
Apabila sumber air di kedua kolam tersebut kering berarti keadaan air
dibawah menderita kekeringan, sebaliknya bila kedua atau salah satu
kolam tersebut penuh air berarti keadaan air di bawah sedang banjir.
PANTAI SINE

Pantai yang terletak di Desa Kalibatur
Kecamatan Kalidawir atau sekitar kurang lebih 35 km kearah selatan dari
kota Tulungagung ini mempunyai keindahan dan panorama alam yang begitu
indah. Pantai Sine ini merupakan pantai bebas dengan ombak yang cukup
besar selain itu Pantai Sine ini merupakan pantai alam berbentuk teluk
di pesisir selatan Kabupaten Tulungagung.
Di sebelah utara terdapat tebing dengan
pancuran alami yang mana airnya berasal dari mata air di atasnya dan di
sebelah selatan Pantai Sine terdapat hutan yang masih terlindungi dan
keberadaan pasar ikan tradisional yang pastilah menambah keindahan
Pantai Sine. Walaupun menghabiskan waktu yang lumayan lama dari pusat
kota tetapi perjalanan menuju wisata Pantai ini sangatlah menyenangkan
karena melewati pegunungan dan perbukitan yang sangat indah.
Selain menyajikan keindahan alami Pantai
Sine ini juga menyajikan keragaman budaya lokal masyarakat sekitar,
misalnya kesenian wayang kulit yang dipertunjukkan setiap tanggal satu
suro, dan ada juga prosesi larung sesaji yang berguna untuk menangkal
mara bahaya ataupun acara mencuci atau memandikan gaman seperti keris
dan tombak dari para sesepuh masyarakat.
CANDI DADI

Komplek Candi Dadi berada pada
ketinggian 360 m dari permukaan laut, berada di areal kehutanan di
lingkungan RPH Kalidawir. Candi ini memiliki candi tunggal yang tidak
memiliki tangga masuk, hiasan, maupun arca. Candi tersebut berdiri tegak
pada puncak sebuah bukit di lingkungan pegunungan Walikukun. Denah
candi berbentuk bujursangkar dengan ukuran panjang 14 m, lebar 14 m, dan
tingi 6,50 m.
Bangunan berbahan batuan andesit itu
terdiri atas batur dan kaki candi. Berbatur tinggi dan berpenampil pada
setipa sisinya. Bagian atas batur merupakan kaki candi yang berdenah
segi delapan, pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat yang
kemungkinan berfungfi sebagai sumuran. Diameter sumuran adalah 3,35
dengan kedalaman 3 m.
Dalam perjalanan ke lokasi ini dapat
dilihat sisa bangunan kuna yang masing-masing disebut Candi Urung, Candi
Buto dan candi Gemali. Candi-candi yang disebut belakangan dapat
dikatakan tidak terlihat lagi bentuknya, kecuali gundukan batuan
andesit, itupun sudah dalam jumlah yang sangat kecil yang menandai
keberadaannya dahulu.
Latar Belakang Sejarah
Berakhirnya kekuasaan Hayam wuruk juga
merupakan masa suram bagi kehidupan agama Hindu-Budha. Pertikaian
politik yang terjadi di lingkungan kraton memunculkan kekacauan, seiring
dengan munculnya agama Islam. Dalam kondisi yang demikian, penganut
Hindu-Budha yang berupaya menjauhkan diri dari pertikaian yang ada
melakukan pengasingan agar tetap dapat menjalankan kepercayaan/tradisi
yang dimilikinya.
Sebagian besar memilih bukit-bukit atau
setidaknya kawasan yang tinggi dan sulit dijangkau. Biasanya tempat baru
yang mereka pilih merupakan tempat yang jauh dari pusat keramaian
maupun pusat pemerintahan. Candi Dadi adalah salah satu dari karya
arsitektural masa itu, sekitar akhir abat XIV hingga akhir abat XV.
CANDI SANGGRAHAN

Candi Sanggrahan terletak di Dusun
Sanggrahan, Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu. Secara umum kompleks
Candi Sanggrahan terdiri atas sebuah bangunan induk dan dua buah sisa
bangunan kecil lainnya. Bangunan induk menggunakan batuan andesit dengan
isian bata. Bangunan induk berukuran panjang 12,60 m, lebar 9,05 m, dan
tinggi 5,86 m. Bangunan ini terdiri atas empat tingkat yang
masing-masing berdenah bujursangkar dengan arah hadap ke barat.
Bangunan kecil yang berada disebelah
timur bangunan induk hanya tersisa bagian bawahnya saja. Di tempat ini
dulu terdapat lima buah arca Budha yang masing-masing memiliki posisi
mudra yang berbeda (demi keamanan arca tersebut sekarang tersimpan di
rumah Juru Pelihara).
Bangunan Candi Sanggrahan berada pada
teras/undakan berukuran 5,10 m x 42,50 m. Pagar penahan undakan itu
adalah bata setinggi tidak kurang dari dua meter.
Latar Belakang Sejarah
Para ahli sejarah menduga bahwa Candi
Sanggrahan dibangun sebagai tempat peristirahatan rombongan pembawa
jenazah pendeta wanita Budha kerajaan Majapahit bernama Gayatri yang
bergelar Rajapadmi. Jenazah itu dibawa dari Kraton Majapahit untuk
menjalani upacara pembakaran di sebuat tempat di sekitar Boyolangu.
Belakangan abu jenazahnya disimpan di Candi Boyolangu. Dimungkinkan
Candi Sanggrahan dibangun pada jaman Majapahit masa pemerintahan Raja
Hayam Wuruk (1359-1389 M).

Kompleks Goa Selomangleng yang menempati
areal kehutanan di lingkungan BKPH Kalidawir, atau tepatnya di Dusun
Sanggrahan Kidul, Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu, merupakan lereng
Jurang Sanggrahan yang cukup terjal. Berbatasan dengan kebun milik
penduduk, kompleks ini dapat dibedakan atas dua bagian, yakni bagian
yang sekarang agak datar yang berada di bagian bawah, serta bagian yang
terjal di bagian atas. Di bagian pertama itulah terdapat dua buah goa,
sedangkan sebuah candi terdapat di bagian kedua.
Ketiga kekunoan tersebut merupakan hasil
pengerjaan pada bongkahan batu besar, memenuhi hampir seluruh sisa
bagian atas batu. Goa pertama berada di bagian tanah yang relatif datar,
merupakan hasil pengerukan terhadap sebuah bongkah batu besar (monolit)
dengan bentuk mulut persegi empat sebanyak dua buah. Gua pertama
dihiasi dengan relief, sedangkan goa kedua tidak memilki relief. Lahan
yang ditempati bongkahan batu bergoa tersebut meliputi areal seluas 29,5
m x 26 m. Ukuran bagian dalam goa pertama adalah: panjang 360 cm, lebar
175 cm, dan dalam ceruk 380 cm. Mulut goa mengahadap ke arah arah
barat. Relief dipahatkan pada panel di dinding sisi timur dan utara.
Hiasan itu menggambarkan bagian dari cerita Arjunawiwaha, yakni ketika
Indra memerintahkan bidadarinya untuk menggoda Arjuna di Gunung
Indrakila.
Digambarkan pula adegan ketika bidadari
menuruni awan dari kahyangan ke bumi. Gua kedua terletak di bagian
selatan dari goa pertama, pada bongkah yang sama, tetapi pada posisi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan goa pertama. Goa yang di bagian
selatan ini menghadap ke selatan dan tidak memiliki hiasan apapun di
dalamnya. Ukurannya panjang 360 cm dan lebar 200 cm
Beberapa meter di sebelah timur goa
tersebut, pada tempat yang lebih tinggi terdapat bongkahan batu yang
dipahatkan kaki dan batur candi berdenah persegi empat dengan ukuran
panjang 490 cm dan lebar 475 cm. Dinding batur candi tersebut dihiasi
palang Yunani berbingkai bujursangkar.
Latar Belakang Sejarah
Secara khusus tidak dijumpai keterangan
yang dapat diacu untuk mengenal lebih dalam lagi latar belakang sejarah
situs tersebut. Menghubungkan kesamaan relief yang terdapat di goa
Selomangleng dengan yang dijumpai di Petirtaan Jalatunda, A. J. Bernet
Kempers menduga bahwa situs tersebut dibuat dan digunakan pada akhir
abad X. Sebaliknya, berdasarkan cara pemahatan dan penataan rambut
tokoh-tokohnya, Satyawati Suleiman, berpendapat bahwa goa tersebut
berasal dari masa awal Majapahit.
Di Tulungagung, relief yang dipahatkan
mengambil cerita bagian dari Arjunawiwaha, khususnya pada episode
penggodaan bidadari terhadap Arjuna yang sedang menjalankan tapa. Ini
mencerminkan kedekatan mereka akan wiracarita gubahan para pujangga
sejak zaman Kerajaan Kadiri. Sekaligus untuk mengingatkan mereka akan
laku yang sedang ditekuninya, serta harapan bahwa kekuatan yang
terkandung dalam kisah cerita tersebut dapat terwujud.
Laut dan Waduk
KecamatanKalidawir |
|||||||||||||||||||||
![]()
Pantai Sine terletak di desa Kalibatur, kecamatan Kalidawir, 35 Km
arah selatan kota Tulungagung. Pantai Sine ini merupakan pantai bebas
dengan ombak yang cukup besar selain itu Pantai Sine ini merupakan
pantai alam berbentuk teluk di pesisir selatan Kabupaten Tulungagung.
Selain menyajikan keindahan alami Pantai Sine ini juga menyajikan
keragaman budaya lokal masyarakat sekitar, seperti kesenian wayang kulit
yang dipertunjukkan setiap tanggal satu suro. Ditambah lagi, prosesi
larung sesaji yang dipercaya untuk mengusir semua hal-hal buruk ataupun
acara mencuci atau memandikan senjata kuno seperti keris dan tombak dari
para sesepuh masyarakat.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar