TEMANTEN KUCING
Reog Tulungagung merupakan gubahan tari
rakyat, menggambarkan arak-arakan prajurit Kedhirilaya tatkala
mengiringi pengantin “Ratu Kilisuci“ ke Gunung Kelud, untuk menyaksikan
dari dekat hasil pekerjaan Jathasura, sudahkah memenuhi persyaratan
pasang-girinya atau belum. Dalam gubahan Tari Reog ini barisan prajurit
yang berarak diwakili oleh enam orang penari.
Yang ingin dikisahkan dalam tarian
tersebut ialah, betapa sulit perjalanan yang harus mereka tempuh, betapa
berat beban perbekalan yang mereka bawa, sampai terbungkuk-bungkuk,
terseok-seok, menuruni lembah-lembah yang curam, menaiki gunung-gunung,
bagaimana mereka mengelilingi kawah seraya melihat melongok-longok ke
dalam, kepanikan mereka, ketika “Sang Puteri“ terjatuh masuk kawah,
disusul kemudian dengan pelemparan batu dan tanah yang mengurug kawah
tersebut, sehingga Jathasura yang terjun menolong “Sang Puteri“ tewas
terkubur dalam kawah, akhirnya kegembiraan oleh kemenangan yang mereka
capai.
Semua adegan itu mereka lakukan melalui
simbol-simbol gerak tari yang ekspresif mempesona, yang banyak
menggunakan langkah-langkah kaki yang serempak dalam berbagai variasi,
gerakan-gerakan lambung badan, pundak, leher dan kepala, disertai mimik
yang serius, sedang kedua tangannya sibuk mengerjakan dhogdhog atau
tamtam yang mereka gendong dengan mengikatnya dengan sampur yang
menyilang melalui pundak kanan. Tangan kiri menahan dhogdhog, tangan
kanannya memukul-mukul dhogdhog tersebut membuat irama yang dikehendaki,
meningkahi gerak tari dalam tempo kadang-kadang cepat, kadang-kadang
lambat. Demikian kaya simbol-simbol yang mereka ungkapkan lewat tari
mereka yang penuh dengan ragam variasi, dalam iringan gamelan yang
monoton magis, dengan lengkingan selompretnya yang membawakan melodi
terus-menerus tanpa putus, benar-benar memukau penonton, seakan-akan
berada di bawah hipnose.
Busana penari adalah busana keprajuritan
menurut fantasi mereka dari unit reog yang bersangkutan. Di Tulungagung
dan sekitar, bahkan sampai di luar daerah Kabupaten Tulungagung,
sekarang sudah banyak bersebaran unit-unit reog sejenis, dan mereka
memiliki seleranya masing-masing dalam memilih warna. Unit-unit yang
terdiri dari golongan muda usia, biasanya memilih warna yang menyala,
merah misalnya.
Sebuah unit reog dari desa Gendhingan,
Kecamatan Kedhungwaru, Kabupaten Tulungagung, beranggotakan orang-orang
dewasa, bahkan tua-tua. Mungkin karena kedewasaannya itu mereka sengaja
memilih warna hitam sebagai latar dasar busananya, sedang
atribut-atributnya berwarna cerah. Busana itu terdiri atas:
- Baju hitam berlengan panjang, bagian belakang kowakan untuk keris. Sepanjang lengan baju diberi berseret merah atau kuning, juga di pergelangan.
- Celana hitam, sempit, sampai di bawah lutut. Di samping juga diberi berseret merah memanjang dari atas ke bawah.
- Kain batik panjang melilit di pinggang, bagian depan menjulai ke bawah. Sebagai ikat pinggang digunakan setagen, kemudian dihias dengan sampur berwarna.
- Ikat kepala berwarna hitam juga, diberi iker-iker (pinggiran topi) tetapi berbentuk silinder panjang bergaris tengah 3 cm, dililitkan melingkari kepala. Warnanya merah dan putih.
- Atribut-atribut yang dipakai:
- kacamata gelap atau terang;
- sumping di telinga kanan dan kiri;
- epolet di atas pundak, dengan diberi hiasan rumbai-rumbai dari benang perak;
- sampur untuk selendang guna menggendong dhogdhog;
- kaos kaki panjang.
Busana yang dikenakan oleh unit reog
dari golongan muda usia, tidak jauh berbeda, hanya warna mereka pilih
yang menyala, disamping hiasan-hiasan lain yang dianggap perlu untuk
“memperindah“ penampilan, misalnya rumbai-rumbai yang dipasang melingkar
pada iker-iker. Dalam pada itu pada kaki kiri dipasang gongseng, yaitu
gelang kaki yang bergiring-giring. Tentang gamelan yang mengiringi dapat
dituturkan sebagai berikut. Keenam instrumen dhogdhog, sebangsa
kendhang atau ketipung, tetapi kulitnya hanya sebelah, yang ditabuh oleh
penarinya sendiri, terbagi menurut fungsinya: dhogdhog kerep, dhogdhog
arang, timbang-timbangan atau imbalan, keplak, trentheng dan sebuah lagi
dipukul dengan tongkat kecil disebut trunthong. Di luar formasi ini
ditambah dengan tiga orang pemain tambahan sebagai pemukul kenong,
pemukul kempul, dan peniup selompret. Kenong dan kempul secara
bergantian menciptakan kejelasan ritma, dan selompret membuat melodi
lagu-lagu yang memperjelas pergantian-pergantian ragam gerak.
Berbeda dengan Reog Tulunggung yang ada
di desa Gendhingan, pada reog sejenis di desa Ngulanwentah, Kabupaten
Trenggalek, si penabuh kenong tidak mengambil tempat kumpul bersama
kedua rekannya penabuh, melainkan ikut di arena, walaupun tidak menari,
hanya mondar-mandir, atau berjalan keliling, atau menyelinap di antara
keenam penrinya, sembari memukul kenong yang diayunkan ke depan dan ke
belakang. Ia pun mengenakan busana serupa dengan busana penari, hanya
dengan warna lain, dan tanpa iker-iker pada ikat kepalanya.
Lagu-lagu pengiringnya dipilih yang
populer di kalangan rakyat, misalnya Gandariya, Angleng, Loro-loro,
Pring-Padhapring, Ijo-ijo, dan lain-lain. Terdapat kecenderungan pada
reog angkatan tua, (khususnya yang ada di desa Gendhingan), untuk
menggunakan irama lambat dan penuh perasaan, yang oleh angkatan mudanya
agaknya kurang disukai. Mereka, angkatan muda ini, lebih senang
menggunakan irama yang “hot”, sesuai dengan gejolak jiwanya yang
“dinamik”. Dalam hal ini AM Munardi menuliskan tanggapannya sebagai
berikut:
Legendanya tarian itu mengiring
temanten. Memang peristiwa ritual kita pada masa lampau tidak terlepas
dari existensi tari. Sampai sekarang Reog Kendhang (= Reog Tulungagung,
S.Tm.) juga sering ditampilkan orang dalam kerangka pesta perkawinan
atau khitanan.
Dalam perkembangan akhir-akhir ini
kemudian dipertunjukkan dalam pawai-pawai besar untuk memeriahkan
hari-hari besar nasional. Untuk kepentingan yang akhir inilah kemudian
orang membuat penampilan tari Reog Kendhang identik dengan “drum-band”.
Maka gerak-gerik yang semula dirasa refined dan halus, cenderung dibuat
lebih keras dan cepat. Derap-derap genderang ditirukan dengan
pukulan-pukulan dhogdhog. Terompet bambu-kayu semacam sroten itu pun
ditiup dengan lagu-lagu baru. Akibatnya musik diatonis itu pun
dipaksakan dalam nada-nada pelog pentatonis.
Dalam timbre yang tak mungkin
berkualitas sebuah drum-band modern, maka cara seperti itu menjadi
berkesan dangkal. Pada suatu kesempatan menonton pertunjukan Reog
Kendhang di Desa Gendhingan, Kecamatan Kedhungwaru, Tulungagung, maka
terasa benarlah bahwa proses penampilan Reog Kendhang yang pada umumnya
dipopulerkan oleh para remaja itu cenderung menuju pendangkalan.
Penampilan oleh para penari golongan tua
di desa tersebut terasa benar bobotnya. Geraknya yang serba tidak
tergesa-gesa lebih memperjelas pola tari yang sesungguhnya cukup refined. Kekayaan pola lantainya terasa benar menyatu dengan lingkungan.
Memperbandingkan Reog Kendhang di
Gendhingan ini dengan Reog Kendhang para remaja pada umumnya menjadi
semakin jelas adanya keinginan untuk tampilnya garapan-garapan baru,
tetapi tidak dimulai dengan pendasaran yang kokoh. Ya, kadang-kadang
orang terlalu cepat mengidentikkan arti “dinamika” dengan gerak yang
serba keras dan cepat.
Seperti halnya dengan rekannya Reog
Dhadhakmerak di Ponorogo, maka sebagai tontonan rakyat, Reog Tulungagung
(Reog Kendhang) pun tidak akan kehilangan peranannya sebagai penghibur
atau pemeriah suasana di mana saja warga desa mempunyai hajat.
Perkawinan, khitanan, kelahiran, tingkeban, bersih desa, musim panen,
dan lain sebagainya. Mungkin sekarang tidak selaris dulu, sebelum musik
pop berirama dangdut merajai pasaran dimana-mana Namun, pada hajat-hajat
yang masih ada hubungannya dengan kepercayaan yang bersifat sakral atau
yang masih mempunyai sifat-sifat tradisional, kesenian reog masih
diperlukan.
Dalam perarakan pengantin misalnya, maka
fungsi Reog Kendhang tidak saja sebagai pengiring yang memeriahkan
suasana atau sekedar manghibur semata-mata, melainkan bahkan pun sebagai
penjaga keselamatan mempelai laki-laki yang diarak. Mungkin ini
sisa-sisa kepercayaan legendarik, bahwa reog dulunya merupakan sepasukan
prajurit Kedhirilaya yang bertugas menjaga keselamatan sang pengantin
“Ratu Kilisuci”. Kepercayaan itu menjadi naluri yang masih terus
dipelihara, walaupun tinggal sepercik upacara simbolik belaka, atau
hanya tiru-tiru. Tetapi yang jelas, apakah itu upacara atau pun
tiru-tiru, tiap-tiap hajat selalu mengharapkan keselamatan, dalam hal
ini terutama keselamatan perkawinan kedua mempelai tentunya. Jadi Reog
berfungsi sebagai penolak bala, begitulah kira-kira.
KENTRUNG

Banyak di antara kita yang tidak lagi
mengenal Kentrung, salah satu kesenian yang dimainkan oleh sebuah grup
dengan seperangkat alat musik yang terdiri dari kendang, ketipung dan
jidor. Kentrung adalah salah satu kesenian bertutur, seperti layaknya
wayang kulit.
Hanya saja Kentrung tidak disertai
adegan wayang. Sepanjang pementasanya Kentrung hanya diisi oleh seorang
dalang yang merangkap sebagai penabuh gendang dan ditemani oleh penyenggak yang
menabuh rebana (jidor). Dulu Kentrung banyak dipentaskan pada berbagai
hajatan masyarakat seperti syukuran kelahiran anak, khitanan, pitonan, maupun mudun lemah.
Kentrung sarat akan nilai-nilai dakwah. Materi lakon-nya
pada umumnya menceritakan tentang ketauladanan zaman Khalifah Empat,
Wali Songo dan zaman Mataram Islam. Ada juga yang terkait dengan sejarah
di Pulau Jawa yang banyak dipengaruhi oleh Hindu dan Budha. Di antara
lakon-lakonnya yang populer adalah Nabi yusuf, Syeh Subakir, Amad Muhammad, Kiai Dullah, Amir Magang, Sabar-Subur, Marmaya Ngentrung, Sunan Kalijaga, Ajisaka dan Babad Tanah Jawa. Selain itu kerap juga membabarkan mengenai nilai-nilai tasawuf dengan mengupas berbagai topik seperti Purwaning Dumadi, Keutaman, Kasampurnan Urip, dan Sangkan Paraning Dumadi. Kentrung juga sarat dengan pesan-pesan moral yang tercermin pada tembang-tembang Kentrung, diantaranya Kembang-Kembangan; Kembang Terong Abang Biru Moblong-Moblong, dan Sak Iki Wis Bebas Ngomong, Ojo Clemang-Clemong (bunga terong berwarna merah biru mencorong, sekarang ini sudah bebas berbicara, tetapi jangan celometan).
Prof. Dr. Suripan Sudi Hutomo dalam bukunya Kentrung mengatakan
kesenian ini berkembang pada abad XVI di Kediri, Blitar, Tulungagung,
Tuban dan Ponorogo. Versi awal kesenian ini cukup beragam. Ada yang
menyebut Kentrung sebagai kesenian asli bangsa Indonesia. Namun versi
lain mengatakan Kentrung berasal dari jazirah Arab, Persia, dan India.
Yang pasti, sebagai sarana dakwah, pada masa kejayaannya Kentrung
diminati masyarakat. Kentrung mencapai zaman keemasannya pada tahun
1970-an hingga 1980-an. Selama dua dasawarsa itu hampir seluruh
masyarakat yang berpesta mengudang Kentrung. Di awal 90-an, ketika
televisi makin murah dan layar tancap menawarkan altenatif hiburan yang
praktis, Kentrung mulai terseok.
Dari catatan Seksi Kebudayaan Diknas
Tulungagung pada tahun 70-an hampir setiap desa di Tulungagung memiliki
kelompok Kentrung. Namun saat ini hanya tinggal 1 saja yang masih
bertahan. Diknas Tulungagung pernah menyarankan agar kelompok-kelompok
Kentrung tidak terpaku pada pakem, tapi menampilkan inovasi baru. Misal,
mencampur dengan teknik penampilan kesenian lain, kalau perlu mengambil
metode campursari. Lenyapnya apresiasi masyarakat, dan menyusutnya
komunitas seniman Kentrung, juga mengakibatkan tidak terjadinya
regenerasi dan pewarisan. Serbuan kesenian modern seperti layar tancap,
dangdut, atau memutar VCD menjadi penyebab utama hilangnya Kentrung di
tengah masyarakat. Kentrung tidak sendiri. Kesenian tradisional lainnya;
Ketoprak, Ludruk, Langen Tayub, Jaranan, dan Jathilan, juga mengalami
nasib serupa. Namun khusus untuk Kentrung, jalan menuju kematiannya
lebih disebabkan oleh sikap masyarakatnya yang lebih suka menjadikan
kesenian sebagai tontonan, bukan tuntunan. Jadi, tidak aneh jika perilaku masyarakat sekarang juga berubah karena kesenian tidak lagi berisi tuntunan-tuntunan.
Meskipun sekarang ini Kentrung mulai
meredup, beberapa seniman muda mulai menggeluti Kentrung dengan
mengembangkan inovasi-inovasi baru seperti menggabungkanya dengan
lawakan dan ludruk. Suatu usaha dari seniman muda yang patut mendapat
dukungan dan apresiasi dalam melestarikan Kentrung.
JAMASAN PUSAKA
Tombak Kyai Upas adalah pusaka Kabupaten
Tulungagung. Sebagaimana ditulis dalam buku Sejarah Babad Tulungagung,
menurut latar belakang budayanya atau cerita rakyat dari versi keluarga
Raden Mas Pringgo Kusumo Bupati Tulungagung yang ke X. Konon, pada akhir
pemerintahan Mojopahit banyak keluarga Raja yang membuang gelarnya
sebagai bangsawan, dan melarikan diri ke Bali, Jawa Tengah dan Jawa
Barat.
Salah seorang kerabat Raja bernama
Wonoboyo melarikan diri ke Jawa Tengah dan babat hutan disekitar wilayah
Mataram dekat Rawa Pening-Ambarawa. Setelah membabat hutan Wonoboyo
bergelar Ki Wonoboya. Selanjutnya hutan yang dibabad itu dikemudian hari
menjadi suatu pedukuhan yang sangat ramai. Dan sesuai dengan nama
putranya, oleh Ki Wonoboyo dukuh itu dinamakan Dukuh Mangir.
Pada suatu hari, Ki Wonoboyo mengadakan
selamatan bersih desa. Banyak para muda-mudi yang datang membantu. Namun
ada salah satu diantara pemudi yang lupa tidak membawa pisau, dan
terpaksa meminjam kepada Ki Wonoboyo. Ki Wonoboyo tidak keberatan, gadis
itu dipinjami sebuah pisau namun ada pantangannya, yakni jangan
sekali-kali pisau itu ditaruh dipangkuannya. Tetapi gadis itu lupa. Pada
saat ia sedang beristirahat, pisau itu ditaruh dipangkuannya. Namun
tiba-tiba pisau itu lenyap. Dengan hilangnya pisau tersebut sang gadis
itu hamil. Ia menangis, dan menceritakan persoalannya kepada Ki
Wonoboyo. Alangkah prihatinnya Ki Wonoboyo. Yang selanjutnya beliau
bertapa dipuncak Gunung Merapi.
Ketika telah datang saatnya melahirkan,
betapa lebih terkejutnya sang ibu, karena bukannya jabang bayi yang
dilahirkan-melainkan seekor ular naga. Namun bagaimanapun keadaannya ia
tetap anak bagi seorang ibu. Dan ular Naga itu diberi nama Baru
Klinting, yang berikutnya dibesarkan di Rawa Pening. Baru Klinting punya
jiwa dan bahkan bisa berbicara seperti layaknya manusia. Setelah
dewasa, kepada ibunya ia bertanya tentang siapa dan dimana ayahnya.
Dijawablah oleh sang ibu, jika ayahnya adalah Ki Wonoboyo dan saat ini
sedang melakukan tapa di puncak Gunung Merapi.
Atas ijin ibu, berangkatlah Sang Naga
mencari ayahnya. Namun setelah sampai ketempat tujuan, alangkah
kecewanya Baru Klinting. Karena bukannya pengakuan Ki Wonoboyo sebagai
ayah, tetapi sebuah cacian “Tak mungkin Wonoboyo mempunyai anak seekor
ular“. Baru Klinting tetap bersikukuh, maka Ki Wonoboyo mengajukan
sebuah tuntutan: lingkarilah puncak merapi.
Karena untuk mendapatkan pengakuan diri
sebagai anak Ki Wonoboyo, diturutinyalah permintaan ayahnya. Ketika
kurang sedikit, Baru Klinting menjulurkan lidah untuk menyambung antara
kepala dan ujung ekornya, tiba-tiba Ki Wonoboyo memotong lidah itu.
Berubahlah lidah ular raksasa itu menjadi sebilah mata tombak. Yang
akhirnya Baru Klinting melarikan diri dan dikejar oleh Wonoboyo. Baru
Klinting, selanjutnya menceburkan diri ke laut selatan dan berubah wujud
menjadi sebatang kayu. Diambilnya kayu itu oleh Wonoboyo dan
dipergunakan sebagai “landean“ atau batang tombak, dan tombak itu
diberinya nama Kyai Upas.
Sepeninggalan Ki Wonoboyo akhirnya
tombak itu dimiliki oleh putranya yang bernama Mangir. Dan dengan tombak
pusaka Kyai Upas, Mangir bergelar nama “Ki Ajar Mangir“. Kini Mangir
menjadi sakti. Desanya menjadi ramai, dan memutuskan untuk tidak mau
tunduk dengan Mataram. Memisahkan diri, tidak mau terikat oleh kekuasaan
Raja. Dengan sikap Mangir yang seperti itu, pihak Keraton cemas. Tak
mungkin Mangir ditundukkan dengan cara kekerasan. Mangir sakti karena
pusakanya. Akhirnya, terambil kesimpulan oleh Raja Mataram utuk mengirim
telik sandi yang berpura-pura “mbarang jantur“ menyelidiki kelemahan Ki
Ajar Mangir.
Putra-putri Raja dikorbankan untuk
menjadi “Waranggono“ dan masuk ke Dukuh Mangir. Tak sia-sia, Ki Ajar
Mangir kena jebak. Setelah putra mendiang Ki Wonoboyo itu mengetahui
orang yang mbarang jantur, dengan waranggononya yang canik-cantik
dirinya terpikat dan berujung pada niatnya untuk memperistri. Terjadilah
perkawinan antara Ki Ajar Mangir dengan Putri Raja.
Lama ia berumah tangga, hingga pada
suatu hari Sang Putri mengatakan pada suaminya, jika sebenarnya dirinya
adalah Putri Raja. Kata Putri, meskipun Raja Mataram adalah musuh dari
pada Ki Ajar Mangir, tetapi mengingat bahwa ia sekarang sudah menjadi
menantunya, apakah tidak sebaiknya jika putra menantu mau menghadap
untuk menghaturkan sembah bekti. Jika Ki Ajar Mangir memang dianggap
bersalah, maka sang Putri bersedia memintakan maaf. Karena didesak oleh
sang istri, akhirnya dengan tombak Kyai Upas juga berangkatlah mereka ke
Keraton untuk sungkem pada orang tua.
Namun karena tujuan pokok kedatangannya
ke Mataram untuk menghaturkan sembah bekti menantu kepada orang tua,
maka para penjaga pintu gerbang-melarang Kyai Upas dibawa masuk ke
Keraton.
Ketika Ki Ajar Mangir sedang
menghaturkan sungkem, kepalanya dipegang oleh mertuanya dan dibenturkan
pada tempat duduk yang terbuat dari batu Pualam, sehingga Ki Ajar Mangir
tewas seketika itu juga. Selanjutnya Mangir dimakamkan dalam posisi
badan-separo didalam tembok dan separo diluar tembok Keraton. Dan itu
menandakan, meskipun musuh-tetapi Ki Ajar Mangir juga anak menantu.
Sepeninggalan mendiang Ki Ajar Mangir
itu, Mataram terserang pagebluk dan itu sebabkan oleh Tombak Kyai Upas.
Adapun berikutnya, yang kuat berketempatan tombak Pusaka itu adalah
keturunan Raja Mataram yang mejadi Bupati di Kabupaten Ngrowo
(Tulungagung).
Menurut cerita kursi yang terbuat dari
batu Pualam yang dipakai untuk membenturkan kepala Mangir sampai
sekarang masih ada, ialah di Kota Gede dan dinamakan “Watu Gateng“.
LANGEN TAYUB

Anggapan Tayub sebagai tarian mesum
merupakan penilaian yang keliru. Sebab, tidak seluruh Tayub identik
dengan hal-hal yang negatif. Dalam Tayub, ada kandungan nilai-nilai
positif yang adiluhung. Selain itu, Tayub juga menjadi simbol
yang kaya makna tentang pemahaman kehidupan dan punya bobot filosofis
tentang jati diri manusia.
Kesan Tayub sebagai tarian mesum muncul
pada abad 19. Pada 1817, GG Rafles dari Inggris, dalam bukunya berjudul
''History of Java'', menulis Tayub sebagai tarian ronggeng mirip
pelacuran terselubung. Kesan sama juga dituliskan oleh peneliti asal
Belanda, G Geertz dalam bukunya ''The Religion of Java''.
Tapi, menurut koreografer Tayub
Wonogiren, S Poedjosiswoyo BA, orang Jawa akan protes bila kesan Rafles
dan Gertz itu diterima secara utuh. Sebab, kata dia, kesan mesum yang
diberikan pada Tayub hakikatnya terbatas pada pandangan sepintas yang
baru melihat kulitnya saja, tanpa mau mengenali isi maupun kandungan
nilai filosofisnya.
Dalam buku ''Bauwarna Adat Tata Cara
Jawa'' karangan Drs R Harmanto Bratasiswara disebutkan, Tayuban adalah
tari yang dilakukan oleh wanita dan pria berpasang-pasangan. Keberadaan
Tayub berpangkal pada cerita kadewatan (para dewa-dewi), yaitu ketika
dewa-dewi mataya (menari berjajar-jajar) dengan gerak yang guyub
(serasi).
Menurut Poedjosiswoyo, berdasarkan
sejarahnya, Tayub lahir sebagai tarian rakyat pada abad Ke XI. Waktu
itu, Raja Kediri berkenan mengangkatnya ke dalam puri keraton dan
membakukannya sebagai tari penyambutan tamu keraton. Betapa Tayub
memiliki kandungan nilai adiluhung, kiranya dapat disimak dari tulisan
dalam buku ''Gending dan Tembang'' yang diterbitkan Yayasan Paku Buwono
X.
Dalam buku itu disebutkan, Tayub telah
dipakai untuk penobatan Prabu Suryowiseso sebagai Raja Jenggala, Jawa
Timur, pada abad XII. Keraton Jenggala kemudian kemudian membakukan
Tayub sebagai tari adat kerajaan, yang mewajibkan permaisuri raja menari
ngigel (goyang) di pringgitan untuk menjemput kedatangan raja.
Nilai Agamis
Tayub juga diyakini memiliki kandungan
nilai agamis. Hal itu terjadi pada abad XV, ketika Tayub digunakan
sebagai media syiar agama Islam di pesisir utara Jawa oleh tokoh agama
Abdul Guyer Bilahi, yang selalu mengawali pagelaran ayub dengan dzikir
untuk mengagungkan asma Allah.
Budaya kejawen penganut paham tasawuf
menilai Tayub kaya kandungan filosofis akan gambaran jati diri manusia
lengkap dengan anasir keempat nafsunya. Dalam tarian itu selalu ada
penari pria yang menjadi tokoh sentral, sebagai visualisasi keberadaan
Mulhimah. Kemudian dilengkapi dengan empat penari pria pendamping, yang
disebut sebagai pelarih, sebagai penggambaran anasir empat nafsu
manusia, terdiri atas aluamah (hitam), amarah (merah), sufiah (kuning)
dan mutmainah (putih).
Selain itu, pemeran penari tledhek wanita
sebagai penggambaran dari cita-cita keselarasan hidup yang diidamkan
manusia. ''Yang inti kesimpulannya, untuk meraih cita-cita, harus
terlebih dahulu mampu mengendalikan anasir empat nafsu. Yang ini identik
dengan pakem wayang lakon Harjuno Wiwoho-Dewi Suprobo,'' kata
Poedjosiswoyo.
Di Tulungagung, Tayub juga dikenal
sebagai Lelangen Beksa. Kesenian ini berpotensi sebagai sarana pergaulan
yang merakyat dan aktual. Hampir di setiap bulan "baik", Lelangen Beksa
digelar untuk acara hajatan di daerah pinggiran Tulungagung.
TIBAN

Tiban, merupakan suatu permainan dua
orang saling cambuk mencambuk. Cambuk yang dipergunakan tersebut dari
lidi aren juga diancam (dipintal). Inti permainan ini adalah latihan
keberanian, tetapi umumnya permainan ini dimainkan bersamaan dengan
upcara "meminta hujan". Kita memang tidak dapat menunjukkan dari zaman
apa tarian/permainan ini asal mulanya.
Tetapi melihat pelaksanaan permainan ini
biasanya pada musim kering, dimana petani-petani sangat mengharapkan
adanya hujan, maka nama permainan itulah yang mempunyai arti magis.
Tiban berasal dari kata "tiba", yang artinya jatuh. Dalam hal ini dengan
diadakannya permainan itu diharapkan agar "jatuh hujan" pada saat-saat
kering itu. Kepercayaan semacam ini tentu tidak terlepas dari unsur
dinamisme/animisme yang memang pernah hidup di tanah air kita.
Pelaksanaan permainan Tiban didahului dengan sembahyang Istiqa.
Tiban merupakan salah satu budaya
tradisional daerah Wajak yang merupakan suatu permainan adu kekuatan
daya tahan tubuh dengan menggunakan cambuk sebagai senjatanya. Istilah
Tiban muncul pada zaman pemerintahan Tumenggung Surontani II. Hal ini
dimaksudkan untuk mencari bibit-bibi tprajurit yang tangguh dan gagah
perkasa. Sampai sekarang kesenian Tiban masih dilestarikan di daerah
Wajak dan sekitarnya. Bahkan setiap digelar Tiban, masyarakat "Tumplek
Blek" memadati lapangan. Berikutnya laporan wartawan Mataram Timur,
Hariyanto.
Kesenian tradisional Tiban sudah
mendarah daging masyarakat Wajak Lor Kecamatan Boyolangu Kobupaten
Tulungagung. Suntu permainan adu kekuatan daya tahan tubuh dengan
menggunakan Cambuk sebagai senjatanya. Berdasarkan sejarah budirinya
daerah Wajak, istilah Tiban rnuilcul pada zaman pemerintahan Tumenggung
Surontani II. Hal ini dimaksudkan untuk mencari bibit-bibit prajurit
yang tnngguh dan gagah perkasa yang nantinya akan dipersiapkan untuk
menghadapi Kerajaan Mataram.
Menurut tokoh masyarakat Wajak Lor
Sayuti. Kisah itu berawal para era Tumenggung Surontani II. Dewi Roro
Pilang anak kandung Tumenggung Surontani II dihamili oleh Gusti
Panembahan Senopati Mataram, pada waktu penobatan Tumenggung Suwantri
II. Mendengar peristiwa tersebut Tumenggung Surontani II menjadi murka,
ia memerintahkan senopatinya untuk meminta pertanggungjawaban dari Gusti
Penembahan Senopati di Mataram. Sambil menanti kabar dari senopatinya,
Tumenggung Surontani II mengadakan pertunjukan adu kekuatan yang
sekaligus sebagai hiburan rakyat. Pertunjukan tersebut dinamakan
"Tiban". Sebenarnya semua itu merupakan taktik Tumenggung Surontani II
untuk mencari bibit prajurit yang dipersiapkan untuk menghadapi
serangan.
Senopati murka atas pengiriman Patih
Tumenggung Surontani II untuk meminta pertanggungjawaban dan beliau
mengirimkan pasukannya untuk menyerang KetemenggunganWajak.
Sayuti, mantan Purn.TNI Yonif 511 yang
juga sebagai landang Tiban (wasit) menjelaskan dari kisah itulah
masyarakat wajak, menjadikan Tiban sebagai tradisi di daerah Wajak.
Bahkan sampai saat ini tradisi tersebut masih mendarah daging dalam
tubuh masyarakat Wajak. Namun demikian pada perkembangannya, Tiban
mempunyai tujuan yang berbeda dari tujuan pada waktu pertama kali
diadakan Tiban.
Sayuti yang juga mantan karateka atau
pendekar Wajak menceritakan pada jaman pada penjaiahan Belanda, Tiban
masih terus dilaksanakan lebih-lebih ketika mendapat dukungan dari
pemerintah Belanda.
Ada beberapa sebab Tiban yang dilaksanakan di daerah Wajak selalu mendapat dukungan pemerintah Belanda.
Pertama, Tiban dalam pelaksanaanya penuh dengan peristiwa persabungan yang dijadikan alat adu domba oleh pemerintah Belanda.
Kedua, sejak kedatangannya di Desa
Wajak, dengan diadakannya pertunjukan Tiban, dalam benak, pemerintanan
Belanda, tersimpan suatu rasa kagum terhadap kekuatan orang-orong di
Pulau Jawa. Mereka berkeyakinan bahwa orang-orong Jawa itu hebat.
Sampai sekarang Tiban masih tetap
membudaya dalam masyarakat daerah Wajak. Namun telah mengalami perubahan
dalam hal tujuan diadakannya pertunjukan tersebut. Tujuan Tiban semula
yakin untuk mencari prajurit-prajurit yang tangguh, sudah dianggap tidak
lagi berfungsi atau berguna bagi masyarakat Wajak yang ada di negara
Indonesia yang sudah merdeka. Sehingga masyarakat sebagai pendukung dari
kebudayaan akan mengadakan refisi/perubahan terhadap tujuan dari
kesenian Tiban tersebut.
Dari proses itulah saat ini Tiban telah
mempunyai tujuan baru yang telah disetujui oleh masyarakat Wajak. Yaitu
Tiban dijadikan alat untuk meminta hujan. Pada waktu meminta terjadi
kemarau panjang.
Dengan demikian di Desa wajak sendiri
telah terjadi perubahan kebudayaan yang mengasilkan kebudayaan yang
dianggap berfungsi atau berguna sehingga dapat dijadikan pedoman hidup
bermasyarakat.
Pelaksanaan Tiban dilaksanakan pada
musim kemarau. Tak heran demi hujan berbagai upaya dilakukan, baik oleh
kalangan intelektual atau kaum supranaturalis dan masyarakat awam.
Kerinduan masyarakat dengan adanya hujan tersebut dibeli dengan darah,
yang dilakukan melalui pertunjukan Tiban.
Lewat peristiwa sakral yang penuh
persabungan kanuragan dan adu kesaktian itu, mereka berusaha
mendatangkan hujan. Tradisi demikian berkembang sampai ke pelosok daerah
Kabupaten Blitar, Trenggalek, Kediri, dan Ponorogo.
Sayuti menjelaskan setiap kegiatan
memerlukan persiapan yang matang, tak terkecuali Tiban, yang metupakan
kegiatan yang harus dibeli dengan darah. Terlebih dahulu, sebelum "H"nya
diadakan persiapan yang benar-benar matang pada diri jagoan-jogoan
Tiban yang menginginkan terjun di dalam kalangan dan bergantung dengan
jagaan Tiban lainnya.
Masyarakat Wajak mempunyai cara
tersendiri dalam mempersiapkan diri sebagai jagoan Tiban yang handal.
Persiapan khusus yang dilakukan oleh Jagoan Tiban antara lain pada malam
hari sebelum hari pelaksanaan Tiban mereka tidur di dekat makam para
pendiri daerah Wajak, khususnya di dekat kuburan Tumenggung Surontani II
selaku pelaksana Tiban awal mulanya daerah Wajak.
Dalam sejarah lain menyebutkan bahwa
sebelum dilaksanakannya Tiban, kegiatan ini dibuka dengan upacara
"Ngedus Kucing". Dalam upacara ini kucing disiram dengan air kembang
spiritual lebih dulu membaca mantra-mantra.
Sementara cerita rakyat Tulungagung
tentang asal usul ngedus kucing ini antara lain merebutkan. Konon
bermula dari musim kemarau yang amat panjang yang menimpa daerah itu.
Dalam situasi yang memprihatinkan itu seorong janda yang tidak diketahui
sebelumnya tiba-tiba melihat seekor kucing yang amat kotor bulunya
berniat ingin membersihkan bulu kucing itu. Secara kebetulan Mbok Rondo
(sebut saja demikian) melihat sebuah mata air yang tidak mancur. Bak
gayung bersambut, kucing tersebut langsung saja dimandikan. Tidak
berselang lama keanehan terjadi. Secara tiba-tiba hujan turun dengan
lebatnya. Dengan pesta masyarakat menyambut kehadiran hujan yang telah
mengakhiri kemarau panjang itu dengan Tiban. Lama-lama acara Ngedus
Kucing itu menjadi kegiatan awal dalam Tiban, mereka mengharap keadaan
turunnya hujan itu, terjadi pula dalam akhir Tiban.
Pelaksanaan Tiban dapat diikuti oleh
siapa saja dan membutuhkan keberanian yang tinggi pada umumnya
pelaksanaan Tiban lebih mendominasi oleh para keturunan pelaksanaan
Tiban yang dahulu, tetapi tidak jarang pelaksanaan, jagoan Tiban muncul
dari kalangan mayarakat umum dan tentunya mereka mempunyai keberanian
dan kesaktian yang dapat diandalkan.
Dalam pelaksanaan Tiban penuh dengan
peristiwa bersabungan itu berlangsung satu lawan satu. Masing-masing
jagoan bersenjatakan ujung cambuk khas Tiban yang terbuat dari lidi daun
aren. Sedang peristiwa pencambukan berlangsung secara bergiliran
artinya bila seorang pemain mendapat giliran, mencambuk lawannya hanya
boleh menadah (mengelak atau menangkis dengan ujungnya).
Sayuti yang selalu sebagai landang Tiban
menambahkan dalam aturan main, masing-masing jagoan Tiban diharuskan
bertelanjang dada dan yang boleh dicambuk hanya bagian badan saja. Bila
terjadi pelanggaran dalam pertarungan, maka landang yang memberi
keputusan.
Bagi seorang jagoan Tiban yang militan,
meskipun tubuhnya telah penuh dengan luka akibat sabetan cambuk lawan,
pantang mundur dari acuan sebelum benar-benar tidak berdaya. Para pemain
Tiban yang demikian seringkali disanjung-sanjung sebagai jagoan Tiban
yang mengakibatkan para pemain Tiban tersebut akan lebih bangga dan
muncul rasa tidak kenal takut pada dirinya.
Pada tanggal 17 Desember 2006 di
lapangan Desa Wajak Lor Boyolangu masyarakat tumplek blek melihat dari
dekat pelaksanaan Tiban. Para jagoan Tiban datang dari berbagai daerah.
Di antaranya Tulungagung, Blitar, Kediri, Trenggaiek, dan Ponorogo.
REYOG
Reyog
Tulungagung ini merupakan gubahan tari rakyat, yang menggambarkan arak –
arakan prajurit pasukan Kedhirilaya tatkala mengiring pengantin “ Ratu
Kilisuci “ ke gunung Kelud, untuk menyaksikan dari dekat hasil pekerjaan
Jathasura, sudahkah memenuhi persyaratan pasang – girinya atau belum.
Dalam gubahan Tari Reyog ini barisan prajurit yang berarak diwakili oleh
enam orang penari.
Yang
ingin dikisahkan dalam tarian tersebut ialah, betapa sulit perjalanan
yang harus mereka tempuh, betapa berat beban perbekalan yang mereka
bawa, sampai terbungkuk – bungkuk, terseok – seok, menuruni lembah –
lembah yang curam, menaiki gunung – gunung, bagaimana mereka
mengelilingi kawah seraya melihat melongok – longok ke dalam, kepanikan
mereka, ketika “ Sang Puteri “ terjatuh masuk kawah, disusul kemudian
dngan pelemparan batu dan tanah yang mengurug kawah tersebut, sehingga
Jathasura yang terjun menolong “ Sang Puteri “ tewas terkubur dalam
kawah, akhirnya kegembiraan oleh kemenangan yang mereka capai.
Kuda Lumping (jaranan)
Jaranan
biasanya dipertunjukkan pada acara-acara seperti penyambutan petinggi
daerah, syukuran, acara keluarga, bahkan pada saat memperingati hari
besar kenegaraan. Di Tulungagung jaranan merupakan kesian daerh yang
begitu merakyat jadi bagi masyarakat disana bila mengadakan suatu acara
tidak lengkap jika tidak mempertunjukkan jaranan.
Jaranan sendiri mempunyai banyak
jenis, diantaranya adalah jaranan senterewe, jaranan campursari, jaranan
pegon, jaranan jawa. Di Tulungagung sendiri jaranan yang biasanaya
dipertunjukkan adalah jaranan campur sari. Perlengkapan jaranan ada
beberapa jenisnya dianataranya adalah gandang, kenong, gong, slompet,
kostum dan aksesoris, serta kuda-kudaan.
Karawitan
Karawitan
Gending merupakan salah satu bentuk kesenian yang dalam penyajiannya
lebih mengutamakan unsur instrumental atau alat musik. Selain orang
dewasa, seni karawitan di Desa Sendang juga diajarkan kepada anak-anak
usia Sekolah Dasar, sehingga kesenian tersebut tidak akan cepat punah
seiring kemajuan jaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar