http://sendang-wilisku.blogspot.com (blog-e konco dewe)

Senin, 27 Januari 2014

Cerpen

Lelaki Tampan di Sudut Masjid Nabawi 
 sumber :laman sebelah
 
Dengan mengucap “bismillahirrahmanirrahim”, aku menaiki pesawat Boeing 747 milik penerbangan Saudia Airlines. Inilah perjalanan umrahku yang pertama. Hatiku berdebar bercampur haru. Sejak kecil, aku memimpikan untuk bisa mengunjungi Mekah dan Madinah; dan mimpiku kini terwujud. Aku lebih berbangga dan bahagia sebab perjalanan umrahku ini hasil dari keringatku sendiri. Ya, selama ini aku menabung, menyisihkan uang sedikit demi sedikit dari gajiku agar dapat menunaikan mimpiku, kelak. Terbayang wajah almarhum Papa saat semua keluarga mengantarku di bandara Soekarno – Hatta pagi ini. Papa tak menyaksikan kebahagiaanku. Allah memanggilnya dua tahun lalu akibat kanker prostat yang menggerogotinya sejak empat tahun lalu. Teringat saat Papa mengantarku ke bangku TK dulu. Ampun deh, aku menangis sejadi-jadinya, dan Papa membiarkanku “diculik” bu guru. Papa juga yang mengantarku saat masuk SD, menemaniku saat masuk SMP, SMA dan menjadi fotografer setia saat aku diwisuda di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, empat tahun lalu. Tak lama setelah itu, Papa divonis sakit kanker prostat, dan semakin hari kesehatannya semakin menurun; sampai setahun lalu Papa menghembuskan nafas terakhirnya di RS Cipto Mangunkusumo, didampingi Ibu, Indra, Abangku, Aku dan Airin, adikku. Sore tadi, semua hadir di bandara. Bang Indra datang dari Bandung, khusus menemuiku di bandara. Airin berangkat bersamaku dan Mama dari rumah. Sejak menikah, Bang Indra tinggal di Bandung. Dia alumni ITB dan dapat istri teman kuliahnya. Dia lalu bekerja dan membangun rumah tangga di sana. Meski tinggal jauh denganku, Bang Indra adalah segalanya buatku, terutama sejak Papa meninggal dunia. Dia tak pernah absen melewati malam meneleponku, sekadar “say hello”, menanyakan pekerjaanku, dan – tentu – menanyakan calon pendampingku. Terus terang, kadang aku jenuh juga ditanyakan soal calon suami. Bang Indra tentu bermaksud baik. Usiaku kini 27 tahun. Sebagai abang, dia pasti khawatir dengan masa depanku. Tetapi, aku selalu meyakinkan dia, jodoh Allah yang tentukan. Dan aku selalu percaya kata-kata almarhum Papa; “wanita baik-baik akan mendapat laki-laki baik-baik juga..” hm…. Kata-kata Papa itu diucapkannya saat aku memutuskan memakai jilbab, saat kelas dua SMA dulu. Waktu itu, ibu menentang. Biasa lah, ibu khawatir aku bakalan tak suka gaul, tak modis. Kasarnya sih “susah laku!”. he… “Seat nomor berapa, Mba?” tanya pramugari Saudia Airlines memecah lamunanku. “Oh, 28-K Mba”, jawabku singkat. Pramugari itu melepas senyumnya dan menunjuki aku kursi nomor dua puluh delapan. Ternyata, meski penerbangannya Saudia, pramugarinya orang-orang Indonesia; mungkin karena melayani rute Indonesia, jadi yang direkrut orang Indonesia. Sejurus kemudian, aku mendapati kursi 28-K. Persis di dekat jendela dan barisan terdepan kursi kelas ekonomi. Sebetulnya aku bisa saja membayar umrah paket eksekutif, tapi karena aku berangkat sendiri dan “dititipkan” di keluarga Pak Arif, aku merasa tak pantas membayar kelas eksekutif sementara beliau di kelas ekonomi. Kata “dititipkan” sengaja aku berikan tanda petik. Sebab, dalam perjalanan umrah, seorang anak gadis tak boleh berangkat sendirian. Konon, itu peraturan pemerintah Saudi. Maka, oleh travel agent, aku didaftarkan sebagai anggota keluarga Pak Arief. Dan di visa-ku tertulis sebagai mahram Pak Arief. —***— Setelah melakukan perjalanan selama sembilan jam, pesawat Saudia Airlines mendarat mulus di Bandara Pangeran Muhammad bin Abdul Aziz, Madinah. Paket umrahku memang langsung ke Madinah baru kemudian Mekah. Kata Pak Endang, tour leader-ku, perjalanan ke Madinah dulu baru ke Mekkah lebih menguntungkan. Imigrasinya tak serumit di Jeddah, dan tak perlu naik bis dari Jeddah ke Madinah yang menempuh waktu enam jam lagi. Benar saja, imigrasi di Madinah relatif cepat; meski – menurutku – petugasnya tetap tak secekatan di Jakarta. Kadang, bangga juga jadi orang Indonesia, petugas imigrasinya ramah dan tak berbelit-belit. Kami langsung menuju hotel Royal al-Eman, hotel berbintang lima. Perjalanan dari bandara ke hotel sekitar tiga puluh menit. Sepanjang jalan, aku mencium aroma Madinah seperti yang kubaca di buku panduan dari travel agent. Suasana musim dingin terasa sejak keluar bandara; angin bertiup semilir; ada sederetan pohon kurma yang ditanam di median jalan raya. Meski hari beranjak malam, sekawanan burung merpati terbang rendah, tepat di dekat persimpangan sebuah lampu merah. Debu pun terbang tertiup angin. Aku teringat kata-kata ustadz Faishol saat belajar manasik di Jakarta, “Debu di Madinah adalah obat. Jadi jangan pakai masker di sana” Mulia sekali kota ini, bahkan debu-nya pun bernilai penawar sakit. Dan kini – aku berada di sini, di Madinah. Aku cubit tanganku sendiri; sekadar ingin memastikan aku tak sedang bermimpi. Di lobby hotel, saat menunggu pembagian kunci kamar, seorang petugas hotel berpakaian necis menghampiri kami. Aku menebak dia manager hotel, sebab – sungguh – dia rapi sekali: memakai jas, dasi dan bersepatu mengkilap. Rambutnya disisir ke belakang, alisnya tebal, kumis dan janggutnya dicukur bersih; dagunya belah, dan – oh my God, matanya biru. Aku seperti tak asing dengan wajahnya, tapi…Tidak, aku tidak sedang di Amerika atau Italia, aku di Madinah. Sekilas, aku bertemu mata dengannya, dan buru-buru aku menunduk, demi menyadari bahwa aku tengah ibadah. Dalam bahasa Arab, dia bercakap-cakap dengan Pak Endang. Aku tak paham sama sekali apa yang mereka berdua bicarakan, tapi pasti tak jauh dari soal pembagian kamar. Benar rupanya, petugas hotel itu meminta maaf sebab sebagian jamaah harus berada di lantai tiga, sebagian lain di lantai sembilan. Padahal, awalnya, kami dijanjikan akan berada di lantai yang sama. Aku, bu Wiwin, istri Pak Arif dan Linda, anaknya, ditempatkan di lantai tiga. Kami menempati kamar triple; sekamar bertiga. Sementara Pak Arief dan sebagian jamaah lainnya di lantai sembilan. Sekali lagi, si Arab itu melintasi kami; dan aku dengar dia berucap, “we are sorry for this inconvinience.” Oh, bagus juga bahasa Inggrisnya, gumamku. Kami check-in sekitar jam 9 malam waktu Madinah. –***— Kumandang adzan Subuh menggema memecah langit Madinah; aku, bu Wiwin dan Linda bergegas menuju masjid Nabawi. Hotel kami terletak sekitar lima ratus meter dari masjid Nabawi. Lamat-lamat, kuperhatikan, hotel-hotel di Madinah ini relatif sama; sama tingginya, sama pula modelnya. Mungkin hanya management-nya yang berbeda. Ini adalah shalat Subuh pertamaku di masjid Nabawi. Setelah istirahat sekian jam dari kedatanganku tadi malam, subuh ini sudah terasa fresh, meski masih ada sedikit sisa letih. Bu Wiwin pernah umrah, jadi cukup berpengalaman mengajakku langsung menuju masjid Nabawi wilayah khusus perempuan. Sesampainya di dalam masjid, aku langsung sujud syukur; “Ya Allah, aku sampai di kota Rasul-Mu.” Kelopak mataku kurasakan mengalirkan air hangat, ya – aku menangis. Betapa tidak, kini aku hanya beberapa meter dari makam Rasulullah yang mulia; makhluk teragung dalam sejarah peradaban umat manusia; nabi pemberi syafaat kelak; tokoh pilihan Allah untuk menyampaikan risalah-Nya. Sekali lagi aku ingat almarhum Papa. Aku teringat saat beliau sering sekali menceritakan Rasulullah sebelum kami beranjak tidur. Papa memang gemar membaca sejarah, terutama sejarah Nabi lalu diceritakannya kepada kami, anak-anaknya. Aku hampir hafal semua yang diceritakannya. Salah satu cerita yang paling aku suka adalah romantisme Rasulullah dan bagaimana beliau SAW menaruh trust– kepercayaan pada istri-istrinya. Sungguh, wanita merasa terhormat jika suami memberikan kepercayaan dalam senang dan susah. Kata almarhum Papa, setelah perang Khaibar selesai, para sahabat Nabi menghadap Rasulullah sambil membawa wanita bernama Shafiyah. Salah seorang di antara mereka berkata, “Shafiyah adalah wanita terhormat dari Bani Quraidzah dan Bani Nadzir. Dia hanya pantas buatmu, wahai Rasulullah.” Setelah wanita itu dimerdekakan, Rasulullah kemudian menikahinya untuk mengurangi tekanan batin dan guncangan jiwanya. Juga untuk memelihara kedudukannya yang terhormat. Rupanya, ada sahabat Nabi yang khawatir dengan keislaman Sofiyah, maka semalaman itu dalam perjalanan pulang dari Khaibar, Abu Ayyub Khalid Al-Anshari, sahabat Nabi itu, berjaga-jaga di sekitar tenda Rasulullah. Pagi harinya, Rasulullah melihatnya, dan bertanya, “Ada apa, wahai Abu Ayyub?” Abu Ayyub menjawab, “Aku khawatir akan keselamatanmu dari perbuatan wanita itu. Karena ayahnya, suaminya dan golongannya sudah terbunuh, sedang beberapa saat lalu dia masih seorang kafir.” Mendengar itu, Rasulullah tersenyum, lalu mendoakan Abu Ayyub agar ia selalu dijaga oleh Allah subhanahu wata‘ala. Lalu, lihatlah apa yang terjadi pada Shafiyah. Demi mendapatkan trust yang demikian besar dari suaminya, Rasulullah, Shafiyah pun sangat taat dan setia. Bahkan ketika Rasulullah sakit, Shafiyah berkata, “Ya Rasulullah, sekiranya mungkin, biarkan aku saja yang menderita sakitmu ini.” Selesai shalat subuh, aku berdoa agar kelak mendapatkan suami yang menaruh rasa percaya penuh padaku. Bagiku, itulah setinggi-tinggi penghormatan seorang suami pada istrinya. Ah, andai saja…. –***— Kini aku sudah tiga hari di Madinah, lusa kami akan ke Mekah. Aku telah ziarah ke makam Rasulullah, shalat di raudhah, city tour Madinah dan mulai menikmati suasana dingin kota ini. Diam-diam, dalam hati, aku ingin bertemu dengan manager hotel Royal Eman yang setiap bertemu selalu menyapa kami. Siapa tahu berpapasan di lobby hotel atau bertemu di lift. Aku cuma penasaran, kok ada orang Arab bermata biru seperti itu. Ya, aku ingat sekarang, dia mirip Pierce Brosnan, bintang film James Bond “Tomorrow Never Dies”. Bedanya; dia kelihatan lebih atletis, muda dan selama tiga hari, aku tak pernah melihatnya merokok. Jadi, kusimpulkan sementara, dia bukan perokok. Dia juga rajin sekali ke masjid. Setiap waktu shalat, masih dengan pakaian dinasnya itu, dia berangkat ke masjid. Hanya saja, aku tak pernah melihatnya masuk ke dalam masjid. Dia hanya shalat di pelataran masjid bersama para jamaah lainnya. Pernah kutanyakan pada Pak Endang, mengapa banyak orang yang tidak masuk ke masjid, dan hanya shalat di halaman masjid Nabawi. Pak Endang bilang, mereka rata-rata warga Madinah atau pekerja-pekerja hotel sekitar sini. Alasannya, mereka harus segera balik bekerja namun di saat yang sama tak ingin kehilangan shalat jamaah di masjid Nabawi. “Jika dia seorang cleaning service, misalnya. Dia kan harus segera bekerja. Kalau masuk ke dalam masjid, terlalu jauh. Jadi dia shalat di luar saja.” Oh, gumamku. Jadi, manager itu pun begitu. Dia selalu shalat di sudut masjid Nabawi dekat tiang arah pulang ke hotel agar segera bisa kembali bekerja. Subhanallah. Benar deh, benar-benar Pierce Brosnan plus dia. Tadi malam, saat kami makan di restoran bersama jamaah lain, Pierce Brosnan plus itu menghampiri kami, menanyakan cita-rasa masakan hotelnya. Tentu saja nikmat; semua masakan terasa betul bumbu Indonesia-nya. Terus terang, aku tak berani memandangnya. Namun, setelah dia pergi, Pak Endang justru bercerita kepada jamaah bahwa manager itu bernama Nael al-Zaydan. Dia warga negara Jordania; sudah lima tahun bekerja di Madinah. Sejak Pak Endang kenal, setiap kali datang ke Madinah, pasti Nael yang menyambutnya di Royal Eman. Dan – kata Pak Endang lagi – dia selalu tampil dandy. Menyaksikan ibu-ibu dan sejumlah anak gadis serius mendengarkan cerita Pak Endang, ada cemburu membakar hatiku. he.. –*** — Kami sudah mengepak seluruh koper dan tas jinjing untuk dibawa ke Mekah. Selepas shalat Zhuhur nanti, kami akan check-out. Tiba-tiba saja, aku merasa akan kehilangan kota ini. Ya, kota yang dipilih Rasulullah untuk membangun contoh peradaban Islami. Aku jadi ingat sekali lagi cerita almarhum Papa. Kata beliau, sewaktu selesai perang Hunain, Rasulullah membagi-bagikan harta rampasan perang kepada beberapa tokoh Quraisy; namun tidak kepada orang-orang Anshar Madinah. Hal ini menimbulkan kejengkelan dalam hati orang-orang Madinah hingga ada yang mengatakan: “Rasulullah memihak dengan kaumnya.” Kemudian Sa’d bin ‘Ubadah menemui Rasulullah. Katanya, “Wahai Rasulullah, orang-orang Madinah merasa tidak enak hati terhadap apa yang engkau lakukan dengan harta rampasan sebab engkau hanya membagikannya kepada kaum-mu sendiri.” Rasulullah balik bertanya, “Engkau sendiri di barisan mana, wahai Sa’d?” Ia menjawab, “Aku hanyalah bagian dari mereka.” Rasulullah kemudian, antara lain, berkata, “Tidakkah kalian ridha, wahai orang-orang Anshar, orang lain pergi dengan kambing dan unta mereka, sedangkan kalian pulang ke kampung halaman kalian membawa Rasulullah? Demi yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentulah aku termasuk salah seorang dari Anshar. Seandainya manusia menempuh satu lembah, dan orang-orang Anshar melewati lembah lain, pastilah aku ikut melewati lembah yang dilalui orang-orang Anshar. Ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak-anak kaum Anshar, dan cucu-cucu kaum Anshar.” Demi mendengar ucapan Rasulullah itu, menangislah orang-orang Anshar hingga membasahi janggut-janggut mereka, sambil berkata: “Kami ridha bagian kami adalah Rasulullah!” Ya, kota ini mendapat kemuliaan menjadi bagian dari sejarah Rasulullah. Dan sebentar lagi aku akan meninggalkannya. Meninggalkan kenikmatan beribadah di masjid Nabawi. Meninggalkan suara khas kumandang adzan masjid Nabawi ini. Saat aku berada di lobby mengawasi koperku dinaikkan ke bus, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang menyapaku. “Nisa…”. “How come you know my name?” tanyaku dengan wajah bego. “I have your passport” jawab Pierce Brosnan, eh Nael al-Zaydan sambil menggenggam photo-copy sejumlah paspor. Oh… Jadi… “Yes,” lanjutnya seakan membaca pikiranku. “I have learned your details. Thank you to be my guest in this hotel. I will be in Jakarta in the coming month, if you don’t mind, my I have your mobile number?” Hah! Dia meminta nomor HP-ku. Aku seakan tak menapak di atas lantai. Tanganku gemetar. Untuk apa? “I may need your help and we may communicate each other.” lanjutnya dengan senyum tersungging. Hah! Kini aku benar-benar tak berani menaikkan wajahku. Aku tak kuasa menjadi Zulaikha yang tertawan ketampanan Yusuf. Aku tak ingin melukai tanganku dengan pisau, eh pulpen dan menjadikannya berdarah-darah. Segera setelah selesai menuliskan nomor HP-ku, aku pun permisi. Kulihat dia tersenyum dengan secarik kertas yang aku berikan itu. Selepas Zhuhur, kami pun meninggalkan Madinah menuju Mekah guna menunaikan ibadah umrah. “Labaik Allahuma Labbaik… Labbaika Lasyarika La baik… Inal Hamda Wa Nikmata Laka Wal Mulk, La SyarikaLaak…” –*** — Tiga bulan berlalu sudah sejak aku umrah dan bertemu dengan lelaki tampan di sudut masjid Nabawi itu. Kini aku sedang berbulan madu bersama suamiku. Mau tahu siapa dia? He… lain kali aku ceritakan yah… :) Salam hormat, Nisa. 

Labbaik AllahumaLabbaik… Labaika La Syarika Labbaik… Innal Hamda Wa ni’mata LakaWal Mulk… La Syarika Laak…”
Mobil bus Ar-Raheel yang kami tumpangi memasuki tanah suci Mekah. Setelah menempuh perjalanan sekitar enam jam dari kota Madinah, kini kami mulai memasuki kawasan tanah haram Mekah. Cukup meletihkan perjalanan ini, namun semangat untuk segera melihat Ka’bah, bertawaf mengitarinya dan mencium hajar aswad telah berhasil membunuh rasa kantuk dan letihku.
Kuperhatikan jamaah yang umumnya telah sepuh, mereka mulai terbangun dari tidurnya. Perjalanan Madinah – Mekah memang menakjubkan. Meski bukan jalan tol, namun jalanan sangat lancar. Sepanjang perjalanan adalah gunung batu dan hamparan pasir. Aku teringat bagaimana dulu Rasulullah berangkat menunaikan haji dari Madinah ke Mekah. Berhari-hari melewati jalan batu ini. Sungguh, jamaah haji dan umrah sekarang sangat dimudahkan.
Kini, bus kami telah benar-benar berhenti di depan hotel. Ya, di depan hotel Darul Eman Mekah. Benarlah kata Pak Endang, tour leader kami; bahwa sepanjang perjalanan umrah ini menggunakan fasilitas Darul Iman Group. Top deh travel-nya. Dan kami mulai check in sekitar pukul delapan malam.
Pak Endang berpesan, “Selesaikan dulu makan malamnya, nanti sama-sama berkumpul lagi di lobby, kita bersiap umrah.” Umrah! Seakan aku tak percaya, sebentar lagi kami akan ke Masjidil haram, menunaikan ibadah umrah. Tak sabar rasanya untuk segera melihat Ka’bah; melihat “bangunan sederhana” yang menjadi kiblat setiap muslim menunaikan ibadah shalatnya.
Aku teringat ceramah ustadz Faishol saat manasik tempo hari. “Ka’bah adalah rumah ibadah paling tua yang dibangun oleh umat manusia. Al-Qur’an menegaskan, “sesungguhnya, rumah ibadah yang pertama kali untuk umat manusia adalah yang ada di Bakkah / lembah.” Karena itu, Ka’bah dinamakan sebagai “baitullahi al-atieq”; rumah Allah yang sangat antik.”
Tak sabar rasanya ingin segera bertawwaf, mengitari Ka’bah bersama ribuan umat muslim lainnya. “Mba Nisa, makan dulu yuk…” suara Linda membuyarkan lamunanku. Selesai makan malam, kami berkumpul kembali di lobby hotel. Kulihat Pak Endang juga sudah menunggu di lobby. Kali ini dia tidak sendiri. Kulihat ada seorang laki-laki, berperawakan tinggi, putih, agak kurus, bermuka tirus dan berhidung mancung tengah terlibat percakapan dengan Pak Endang. Aku tak mengenali laki-laki itu, sebab tak ada dari rombongan umrah kami anak muda itu.
Setelah jamaah semua berkumpul di lobby, Pak Endang bilang, “Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, mengingat jumlah kita banyak; lima puluh orang; maka, khawatir terpisah-pisah, kita akan dibantu Mas Idil.” Oh…Jadi dia mutawwif, pantas aku tak melihatnya. Hm…
— *** —
Akhirnya, sampailah kami di depan Ka’bah. Ya, benar-benar di depan Ka’bah. Aku langsung sujud syukur saat pertama menatap bangunan mulia itu. Ya Allah, betapa beruntungnya aku, saat jutaan umat muslim tak mampu ke tanah suci, aku telah berada di sini. Menatap Ka’bah dengan mata kepalaku sendiri. Aku menangis sejadi-jadinya.
Dalam sujud-ku, aku teringat almarhum Papa, Mama, Bang Indra dan Airin, adik-kakakku. Kami memulai tawwaf dari sudut bertanda lampu hijau. Pak Endang di depan kami, memulai aba-aba… “Bismillahi allahu akbar..” melangkahlah kaki kami dalam putaran tawwaf bersama ribuan malaikat yang terus bertasbih pada-Nya.
Putaran pertama selesai, lalu kedua, ketiga, keempat – dan kulihat rombongan kami yang berjumlah lima puluh orang ini semakin terberai. Aku tak melihat lagi Pak Endang dan bapak-ibu lainnya. Aku bersama Linda, bu Wiwin dan dua bapak tua (maaf aku tak hafal namanya) kini didampingi Mas Idil. Kami terus melanjutkan tawwaf hingga selesai tujuh putaran.
Selesai tawwaf, kami shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim, memanjatkan segala doa (tentu termasuk doa dapat jodoh :), lalu bersegera menuju bukit Shafa untuk bersa’i. “Sesungguhnya, Safa dan Marwa adalah bagian dari syiar Allah…”. Lamat-lamat terdengar suara orang-orang melafalkan bagian dari ayat tersebut. Kami memulai rangkaian perjalanan sa’i dari bukit Safa menuju bukit Marwa. Jauh juga ternyata, setidaknya satu perjalanan dari bukit Safa ke Marwa dibutuhkan waktu sekitar sepuluh menit. Kami menuntaskan seluruh prosesi umrah sekitar dua jam.
Kami tahalul (menggunting rambut sedikit) di atas bukit Marwa sebagai pertanda ibadah umrah kami telah sempurna. Aku, bu Wiwin dan Linda mengucapkan terima kasih pada Mas Idil yang telah sabar membimbing kami.
— *** —
Ini adalah hari kedua di Mekah. Tak ada agenda resmi dari pihak travel agent-ku kecuali nanti malam berkumpul di restoran untuk sekadar siraman rohani. Aku dan Linda memutuskan untuk mengisi pagi menunggu Zhuhur dengan belanja oleh-oleh. Sebenarnya sih, koperku sudah penuh sejak di Madinah, tapi ada saja yang belum terbeli. Biasa, ibu-ibu, eh belum yah.
Saat turun ke lobby hotel, aku bertemu Mas Idil.
“Mau ke mana, Mba?”
“Beli oleh-oleh” kataku sekilas.
“Kalau mau ikut denganku. Banyak oleh-oleh dengan harga murah dibandingkan di dekat Masjidil haram ini” Katanya.
Aku melirik Linda; ia nampak tak keberatan.
“Jauh?” tanyaku.
“Nggak, daerah di ujung Misfalah.” Katanya sambil menunjukkan jari ke arah Misfalah. “Aku kebetulan bawa mobil, jadi nanti terkejar shalat Zhuhurnya di masjid.”
Kami berangkat ke Misfalah. Sesaat aku teringat pesan orang-orang tua di kampung; jangan pernah naik taksi di Arab.
“Tenang saja, Mba. Ini bukan taksi.” Kata Mas Idil seakan membaca pikiranku.
“O yah. Namanya siapa?” Katanya lagi. Aku perkenalkan diriku dan Linda. Dari balik kaca spion, kulihat wajah Mas Idil sumringah. He… kurang kerjaan banget aku yah!
Jam sebelas kami sudah sampai kembali ke hotel. Aku ucapkan terima kasih untuk Mas Idil yang sudah berbaik hati mengantarkan “nyonya besar” belanja. Aku melihatnya tersenyum dan lalu izin pergi mau balik ke rumahnya. Katanya sih rumahnya di sekitar Subaikah. Mana aku tahu Subaikah; Pulo Gadung aku tahu.
Malam hari, siraman rohani diagendakan mulai jam delapan. Biasa lah, molor sedikit dari jadwalnya. Maklum, banyak ibu-ibu sepuh. Biasanya juga Pak Endang yang menyampaikan taushiyah. Tetapi malam ini berbeda. Laki-laki berpakaian Arab dengan sangat rapi duduk di depan jamaah. Sekilas, aku tak mengenali laki-laki itu; Sejurus kemudian baru aku tersadar bahwa itu Mas Idil.
Ya ampun, saat ia memakai gamis (baju panjang), sungguh tak terlihat sebagai orang. Pak Endang lalu “memperkenalkan” ustadz muda itu.“Bapak – ibu sekalian, taushiyah malam ini akan disampaikan olehal-mukarram sahabat dan guru kita semua; Aidil al-Atas.” oh, berdarah al-Atas toh, pantesan… gumamku.
Mas Idil, eh ustadz Aidil al-Atas itu kemudian menyampaikan tausiyahnya. Sungguh terlihat penguasaannya pada ilmu agama. Ia fasih menyitir ayat-ayat al-Qur’an, hadits dan tentu cerita-cerita menarik seputar Ka’bah.
Tentang Ka’bah, ustadz Aidil menceritakan bagaimana bangunan itu telah menjadi “centre of attraction” para peziarah sejak zaman sebelum Islam. Caranya menceritakan surah al-Fil (gajah) sungguh berbeda dengan para da’i di teve Indonesia yang umumnya kering, penuh lelucon dan tak berisi. Lalu, ia menceritakan tentang Tahun Gajah.
“Disebut demikian, sebab pada tahun ketika Nabi lahir itu, pasukan Abraha dari Yaman tengah menuju Mekah untuk menghancurkan Ka’bah. Peristiwa itu, menurut Ibn Hisyam, “coinsident” dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Awalnya, raja Abraha di Yaman telah membangun al-Qullaiys – gereja Ekanola – di Yaman. Abraha sendiri adalah raja Yaman yang berdarah Ethiopia. Saya lebih suka menyebutnya sebagai gubernur wilayah Yaman sebab pusat kekuasaan Kristen ketika itu adalah kerajaan Aksum di Ethiopia. Kerajaan itu sangat besar. Mereka menguasai perdagangan kawasan Arab dan India. Maka itu pula, Rasulullah sendiri pernah mencoba ber-hijrah ke Ethiopia; menunjukkan kawasan itu adalah “land of opportunity”.
Abraha berharap al-Qullaiys yang ia bangun menjadi “daya tarik” untuk mengembangkan industri turisme Yaman. Namun, pesona Ka’bah di lembah Mekah lebih menarik perhatian para peziarah. Sehingga, ia mengkonsolidasikan pasukannya untuk menghancurkan “bangunan kubus” di Mekah itu.
Peristiwa itu diabadikan al-Qur’an dengan diturunkannya surah al-Fil. Ketika menceritakan tentang proses penghadangan mereka, Allah SWT berfirman, وأرسلعليهم طيرا أبابيل Selama ini, pemahaman atas ayat itu adalah, Allah mengirim burung Ababil. Saya lebih suka memahaminya, “Dan Aku utus untuk menghadang mereka burung yang berbondong-bondong.” Sebab, burung-burung itu diutus untuk menghadapi empat puluh ribu tentara Abraha, maka wajar-lah jika mereka datang bergelombang.” Maka, sejak itu semua musuh Allah takut dengan kesucian Ka’bah.
Mas Idil lalu menutup ceramahnya dengan gurauan, “Perhatikan deh, ribuan merpati di dekat Masjidil haram ini juga takut dengan Ka’bah, tak ada satu pun yang hinggap di atas-nya.”
Iya kah? Pikirku. Diam-diam aku memperhatikan Ka’bah saat tawaf di hari berikutnya; memang tak ada merpati hinggap di atapnya. Padahal, kota ini dipenuhi ribuan burung jinak itu.
—***—
Hari demi hari berlalu. Tak terasa sudah sepekan kami di tanah suci Mekah. Seluruh rangkaian ziarah telah dilaksanakan; mengunjungi Arafah, Mina, Mudzhalifah dan tempat-tempat bersejarah lainnya. Bahkan, aku dan Linda dapat bonus dari Mas Idil. Ya, kami berdua diajak mengunjungi museum Ka’bah dan mampir makan di restoran di tengah padang pasir. Aku tak tahu nama daerahnya, tetapi jelas di luar kota Mekah; sebab di restoran itu banyak anak-anak muda Arab yang nongkrong sambil nonton bola. Pengalaman yang menakjubkan. Sesekali Mas Idil menelpon ke kamarku, sekadar tawarkan buah dan makanan kecil lainnya. Bu Wiwin pasti menggodaku.
Setelah selesai menunaikan seluruh rangkaian perjalanan ibadah umrah ini, kini kami bersiap-siap kembali ke tanah air. Jam sepuluh pagi kami telah berkemas; menyiapkan seluruh bawaan untuk dimasukkan ke koper. Mas Idil menghampiriku;
“Aku akan ikut kalian ke Jeddah” Katanya, seakan memberi tahu aku; padahal aku tak pernah bertanya.
Aku hanya tersenyum. Bu Wiwin dan Linda saling melirik. Aku tahu apa maksud mereka. Sekali waktu, Bu Wiwin juga pernah menggodaku; “Sudahlah, dipikir apa lagi. Tampan lho dia. Kalau di Jakarta sudah jadi bintang sinetron tuh” Aku hanya senyum-senyum saja.
Terus terang, aku mulai bimbang. Ada Nael Al-Zaydan yang kukenal hanya sekilas di Madinah namun mampu memberikan kesan yang mendalam. Dia sungguh sangat tampan, simpatik dan – shalih. Tapi, apa iya dengannya. Pria asing yang bahkan aku tak tahu asal-usulnya. Bagaimana pula nantinya, jauh sekali. Eh, aku kok jadi berfikir aneh.
“Nis…” suara Mas Idil memecah lamunanku. “Aku titip ini; baru boleh dibaca saat di mobil nanti.” Mas Idil memberikan sepucuk surat. Kini aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Dosakah aku? Salahkah aku dengan Nael; seseorang yang baru saja melintas di benakku. Tapi kan, dia bukan siapa-siapa aku…
Di dalam bus, aku membuka surat Mas Idil. Ini isi suratnya:
Assalamu’alaikum,
Nisa yang baik hati.
Bertahun sudah aku tinggal di Mekah; mula-mula ikut ayah yang merantau ke tanah suci ini, hingga akhirnya kuselesaikan studiku di Universitas Ummul Qura’. Kini, ayah telah wafat dan aku selalu ditanya ibu: kapan mau berumah-tangga. Tahu apa jawabanku, selalu. “Aku belum melihat merpati hinggap di atap Masjidil haram, bu.” Ibu lalu tersenyum.
Aku bangga mengenalmu, Nis. Aku bahagia sebab mendapati merpati yang kini hinggap, tidak lagi di Masjidil haram, tetapi di sini – di lubuk hatiku. Ia terbang jauh dari negeri nan hijau ke kota nan tandus ini, lalu menyirami hatiku yang gersang. Ia terbang bersama jutaan suara dalam irama talbiyah, dan aku menemukannya di antara jutaan suara itu.
Saat menulis surat ini, aku teringat Qais bin Maluh – itu lho penyair yang sampai gila karena cintanya tak tertunaikan pada Layla.
تعَلَّقتُ لَيْلَى وهْيَ غِرٌّ صَغِيرَة ٌ *** ولم يَبْدُ لِلأترابِ من ثَدْيها حَجْمُ
صَغِيرَيْنِ نَرْعَى البَهْمَ يا لَيْتَ أنَّنَا *** إلى اليوم لم نكبر ولم تكبر البهم
Aku mengagumi Layla saat ia bermain boneka; seorang anak kecil ***
bahkan gundukan pasir debu lebih besar dari ukuran tubuhnya
Kami adalah dua anak yang merawat domba bersama; sekiranya kami ***
hingga hari ini tak pernah menjadi dewasa; dan domba-domba itupun tak pernah menjadi tua.
Saat pertama melihat-mu, aku sungguh merasa menemukan sahabat kecilku. Impian saat kami merajut cita-cita di Taman Kanak-kanak di masjid al-Ittihad, Tebet, sekitar lima belas puluh tahun lalu. Nama kalian pun sama: Annisa.
Maaf jika aku kurang sopan, membandingkanmu dengan sahabat kecilku. Aku hanya ingin mempertegas bahwa “rasa” ini datang bagaikan kolektif memori yang membangunkanku dari lamunan panjang. Kita hanya sepekan bertemu, namun aku mulai punya keberanian untuk bercerita pada Ibu di rumah, di Subaikah. Insya-Allah, bulan depan – kami sekeluarga akan kembali ke Indonesia, jika Nisa berkenan, aku – dan tentu dengan ibu – ingin mampir ke rumah.
Aku senang mengutip Qais bin Maluh sekali lagi:
وَجَدْتُ الحبَّ نِيرَاناً تَلَظَّى *** قُلوبُ الْعَاشَقِينَ لَهَا وَقودُ
فلوكانت إذا احترقت تفانت ***  ولكن كلما احترقت تعود
Aku mendapati cinta sebagai api yang menyala ***
di mana dua hati sejoli adalah bahan bakarnya
Semestinya, setelah terbakar – punahlah ia ***
Namun, semakin sering terbakar, keduanya penuh kembali
Demikian surat ini kubuat, malam ini – jam 22.30 Waktu Mekah. Sampaikan salamku untuk ibu dan keluargamu di Indonesia. Salam hormat, Idil.
Selesai membaca surat itu, aku terhenyak. Dahsyat sekali kekuasaan Allah; dua puluh tujuh tahun aku di Indonesia, tak pernah ada yang benar-benar membuatku “bingung”, kini hanya dalam hitungan hari, aku bertemu dengan dua laki-laki yang membuatku “melongo”, bahkan aku jadi terkesan bloon dan bego.
Saat kami akan masuk imigrasi di bandara Jeddah, Mas Idil menghampiriku dan bilang, “hati-hati di jalan. Take care!” Aku hanya tersenyum.
— *** —
Kini, aku benar-benar dalam pilihan sulit. Nael al-Zaydan – sosok tampan — di Madinah; dan Mas Idil – sosok mempesona — di Mekah. Keduanya bulan depan ke Jakarta dan berniat menemuiku. Ya Allah bimbinglah aku dalam menentukan pendamping hidupku. Jadikanlah umrah-ku sebagai umrah yang maqbul hanya karena-Mu. Dan dua laki-laki itu adalah “bonus” untuk shalat istikharahku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar