http://sendang-wilisku.blogspot.com (blog-e konco dewe)

Selasa, 28 Januari 2014

Kalender Hijriah

Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriah

Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com – Kalender hijriah ditetapkan pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab, 17 tahun setelah hijrahnya Rasulullah SAW. Keputusan itu muncul setelah dijumpai kesulitan mengidentifikasikan dokumen yang tak bertahun. Hijrah Rasulullah akhirnya sepakat dipilih dari sekian usulan alternatif acuan tahun Islam, karena saat itulah titik awal membangun masyarakat Islami.
Akurasi penghitungan mundur untuk menetapkan awal tahun hijriyah dan peristiwa-peristiwa penting lainnya sepenuhnya bergantung pada ingatan banyak orang. Secara hitungan berskala besar, seperti tahun, kemungkinan kesalahannya relatif kecil. Mungkin sekian banyak orang masih ingat suatu peristiwa terjadi tahun ke berapa sesudah atau sebelum Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah. Tetapi hitungan rinci sampai tanggal atau bulan, kemungkinan kesalahannya lebih besar.
Riwayat kronologis kehidupan Rasulullah yang menyatakan tentang hari atau musim merupakan alat uji terbaik dalam analisis konsistensi historis-astronomisnya. Urutan hari tidak pernah berubah dan bersifat universal. Pencocokan musim diketahui dengan melakukan konversi sistem kalender hijriyah ke sistem kalender masehi. Program digunakan sebagai pendekatan awal yang praktis dalam merekonstruksi kronologi kejadian penting dalam kehidupan Rasulullah.
Analisis konsistensi kronologi sejarah dengan pendekatan astronomi menunjukkan bahwa sistem kalender hijriyah juga baik untuk menelusur kejadian sebelum hijrah. Walaupun bilangan nol belum dikenal saat itu, sistem kalender hijriyah ternyata telah memperkenalkan konsep tahun nol. Saat Rasul hijrah dianggap sebagai tahun nol, karena angka tahun menyatakan sekian tahun setelah Rasul hijrah.
Konsep tahun nol seperti itu tidak dikenal dalam sistem kalender Masehi sehingga menimbulkan polemik tentang kapan awal abad 21 atau milenium ke tiga (tahun 2000 atau 2001). Dengan konsep tahun nol pada tahun Hijriyah, umat Islam secara tepat dapat menyatakan tahun 1400 lalu sebagai awal abad 15 hijriyah, yang disebut sebagai abad kebangkitan Islam.
Rekonstruksi Kronologis
Dalam sebuah hadits shahih tentang puasa hari Senin, Rasulullah SAW menyatakan bahwa hari itu (Senin) dilahirkan, diutus menjadi Rasul, dan diturunkan Al-Quran pertama kalinya (HR Muslim). Jabir dan Ibnu Abbas berpendapat Rasulullah SAW dilahirkan malam Senin 12 Rabi’ul awal, pada hari dan tanggal itu beliau diangkat sebagai Nabi dan Rasul, di-Mi’raj-kan ke langit, hijrah ke Madinah, dan wafat.
Beragam informasi dijumpai di buku-buku tarikh tentang kejadian-kejadian itu. Haekal menyatakan tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW saja terdapat berbagai pendapat. Ada yang menyatakan lahir pada tanggal 2, 8, 9, atau 12. Bulannya pun beragam: Muharam, Shafar, Rabi’ul awal, Rajab, atau Ramadhan. Tahunnya: tahun Gajah, 15 tahun sebelum tahun Gajah, 30 tahun setelah tahun Gajah, atau 70 tahun setelah tahun Gajah. Namun kebanyakan pendapat menyatakan Rasulullah SAW dilahirkan pada hari Senin 12 Rabi’ul awal tahun Gajah.
Tahun Gajah adalah saat Abraha dan pasukan bergajahnya berniat menghancurkan Ka’bah, tetapi digagalkan Allah. Hal itu terjadi 53 tahun sebelum hijrah (secara matematis-astronomis dapat dinyatakan sebagai tahun -53 H). Sehingga saat kelahiran Nabi tersebut bertepatan dengan hari Senin 5 Mei 570 M.
Kapankah tepatnya pengangkatan beliau menjadi Rasul? Tahun kejadiannya umumnya bersepakat pada saat Nabi berumur 41 tahun, atau tahun Gajah ke-41 (tahun -13 H). Hanya tentang tanggal dan bulannya tidak ada kesepakatan. Menurut Jabir dan Ibnu Abbas tersebut di atas, hal itu terjadi pada hari Senin 12 Rabi’ul awal. Itu bertepatan dengan Senin 24 Februari 609 M.
Pendapat lainnya menyatakan terjadi pada 17 Ramadhan berdasarkan isyarat pada QS 8:41 bahwa Al-Quran diturunkan pada hari Furqan, hari bertemunya dua pasukan yang ditafsirkan sebagai saat perang Badar 17 Ramadhan. Isyarat lainnya ada pada QS 2:185 bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Bila harinya mengacu pada hadits Muslim serta pendapat Jabir dan Ibnu Abbas, maka 17 Ramadhan -13 H tersebut bertepatan dengan hari Senin 25 Agustus 609 M.
Hasbi Ash Shiddieqy dalam pengantar Tafsir Al Bayaan menyatakan ayat nubuwah (pengangkatan sebagai Nabi) pertama kali turun pada bulan Rabi’ul awal dengan 5 ayat pertama surat Al Alaq. Kemudian ayat risalah (pengangkatan sebagai Rasul) turun pada 17 Ramadhan dengan beberapa ayat awal surat Al Muddatstsir. Riwayat menyatakan bahwa baik saat menerima ayat nubuwah maupun ayat risalah, Rasulullah SAW meminta Sitti Khadijah menyelimuti beliau. Pendapat mana pun yang diambil, kenyataan pada saat musim panas bulan Agustus Rasulullah SAW minta diselimuti, menunjukkan betapa hebatnya ketakutan manusiawi beliau hingga beliau menggigil.
Peristiwa Isra’ Mi’raj saat mulai diwajibkannya shalat lima waktu pun tidak ada kesepakatan kapan terjadinya. Sebagian besar mengikuti pendapat Ibnu Katsir dari riwayat yang tidak shahih isnadnya, bahwa Isra’ mi’raj terjadi pada 27 Rajab -1 H (satu tahun sebelum Hijrah). Itu berarti terjadi pada hari Rabu 15 Oktober 620. Tetapi bila mengikuti pendapat Jabir dan Ibnu Abbas bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada hari Senin 12 Rabi’ul awal, berarti terjadi pada 12 Rabi’ul awal -3 H (tiga tahun sebelum Hijrah) yang bertepatan dengan Senin 6 November 618.
Peristiwa Hijrah Rasulullah SAW terjadi pada bulan Rabi’ul awal tahun 13 Bi’tsah (13 tahun setelah pengangkatan sebagai Rasul). Berangkat pada 2 Rabi’uilawal dan tiba pada 12 Rabi’ul awal. Saat tiba di Madinah 12 Rabi’ul awal 0 H bertepatan dengan hari Senin, 5 Oktober 621. Ini sesuai dengan pendapat Jabir dan Ibnu Abbas bahwa harinya Senin. Beberapa penulis riwayat Rasulullah SAW merancukan saat hijrah tersebut dengan tahun baru hijriyah pertama. Haekal dan Al Hamid Al Husaini menyebutkan peristiwa Hijrah terjadi pada bulan Juli. Haekal menyatakan Rasulullah tiba di Madinah hari Jumat. Sesungguhnya bulan Juli adalah tahun baru 1 Muharram 1 H yang jatuh pada hari Jumat, 16 Juli 622.
Puasa Ramadhan mulai diwajibkan pada hari Senin 2 Sya’ban 2 H atau 30 Januari 624 M. Itu berarti puasa Ramadhan pertama terjadi pada bulan Februari-Maret, dengan suhu yang relatif sejuk dan panjang hari termasuk normal (panjang siang hari sekitar 12 jam). Menurut analisis astronomis, selama Rasulullah hidup hanya 9 kali beliau berpuasa, 6 kali selama 29 hari dan hanya 3 kali selama 30 hari. Puasa pertama selama 29 hari.
Riwayat tentang perang Badar tidak konsisten dari segi hari dan tanggalnya. Menurut beberapa pendapat, perang Badar terjadi hari Jumat 17 Ramadhan 2 H. Sesungguhnya 17 Ramadhan 2 H jatuh pada hari Selasa 13 Maret 624.  Tanggal 17 Ramadhan yang jatuh pada hari Jumat terjadi pada tahun 1 H yang bertepatan dengan 25 Maret 623. Namun, dikonfirmasikan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya, tidak mungkin hal itu terjadi pada tahun pertama hijriyah. Jadi, riwayat yang menyatakan perang Badar terjadi pada hari Jumat, tidak akurat menyebutkan harinya.
Perang Uhud yang memberikan pelajaran berharga akan pentingnya ketaatan kepada perintah Rasul terjadi pada 15 Syawal 3 H atau hari Ahad 31 Maret 625. Pada perang tersebut kemenangan berbalik menjadi kekalahan ketika pasukan pemanah yang diperintah Rasulullah tidak taat untuk tetap di tempat. Walaupun demikian kedua belah pihak sama-sama menderita korban yang besar. Kemudian Abu Sufyan ketika hendak meninggalkan medan perang menantang untuk berperang kembali di Badar.
Ternyata perang Badar Shugra (Badar kecil) yang terjadi pada Sya’ban 4 H (Januari 626) saat musim paceklik tidak jadi berlangsung karena Abu Sufyan merasa ketakutan dan menarik pasukannya kembali ke Mekah (QS 3:172-174). Mungkin pada peristiwa inilah, yang terjadi sebelum Ramadhan, Rasulullah menyatakan bahwa mereka baru pulang dari perang yang kecil menuju jihad yang besar, jihadunnafs, jihad melawan hawa nafsu pada puasa Ramadhan yang menjelang tiba.
Berbeda dengan perang Badar kubra dan perang Uhud yang terjadi pada awal musim semi, perang Khandaq terjadi pada musim dingin saat krisis pangan dan perang Tabuk pada akhir musim panas yang sangat terik. Perang Khandaq (parit) terjadi pada bulan Syawal 5 H (Februari 627). Saat itu kaum Muslimin yang membentengi diri dengan parit di sekeliling Madinah dikepung selama 3 pekan. Kaum musyrikin menghentikan pengepungannya setelah diporakporandakan oleh badai yang sangat dingin.
Perang Tabuk terjadi pada bulan Rajab 9 H (Oktober 630). Hadits dan Al-Quran (QS 9:81) menceritakan perjuangan yang berat di tengah cuaca yang sangat terik menghadapi ancaman tentara Romawi. Sebagian penulis sejarah meragukan peristiwa tersebut terjadi pada bulan Oktober yang dianggapnya sudah memasuki musim dingin, yang berbeda dari ungkapan dalam hadits atau Al-Quran. Tapi sesungguhnya pada bulan itu suhu mendekati 30 derajat pada siang hari bukan hal yang mustahil dalam perjalanan dari Madinah ke Tabuk (dekat Jordan).
Hari-hari terakhir kehidupan Rasulullah ditandai dengan turunnya QS 5:3 yang menyatakan bahwa Allah telah menyempurnakan agama Islam dan meridhainya. Ayat itu turun saat wukuf di Arafah 9 Dzulhijjah 10 H yang bertepatan dengan Jumat 6 Maret 632. Mungkin ini berkaitan dengan sebutan haji akbar bila wukufnya jatuh pada hari Jumat.
Tiga bulan setelah turunnya ayat tersebut Rasulullah wafat pada  12 Rabi’ul awal 11 H. Analisis astronomis menyatakan 12 Rabi’ul awal mestinya jatuh pada hari Sabtu 6 Juni 632. Namun banyak yang berpendapat Rasulullah wafat pada hari Senin, itu berarti tanggal 8 Juni 632. Perbedaan dua hari tidak dapat dijelaskan akibat terjadinya istikmal (penggenapan menjadi 30 hari) bulan Shafar. Mungkin yang terjadi adalah  ‘kelalaian’ massal dalam penentuan awal bulan akibat kesedihan umat yang mendalam menghadapi Rasul yang dicintainya menderita sakit sejak bulan Shafar.
Terlepas dari “kelalaian” tersebut ada hal yang menarik tentang hari Senin 12 Rabi’ul awal tersebut. Apakah suatu kebetulan atau mukjizat Rasulullah SAW, ternyata beberapa peristiwa penting jatuh pada hari Senin 12 Rabi’ul awal. Konsistensi hari dan tanggal membuktikan bahwa Rasulullah lahir, hijrah, dan wafat terjadi pada hari dan tanggal tersebut. Walaupun tidak banyak yang bersepakat, pengangkatan sebagai Nabi saat menerima wahyu pertama kali dan peristiwa Isra’ Mi’raj mungkin pula terjadi pada hari dan tanggal tersebut.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/01/16/44887/konsistensi-historis-astronomis-kalender-hijriah/#ixzz2rYiQJDam

Pewayangan

KADEWATAN

Sang Hyang Widhi

Filosofi

"Hyang" merupakan sebutan untuk keberadaan spiritual memiliki kekuatan supranatural, bagaikan matahari di dalam mimpi. Kedatangannya dalam hidup seseorang memberikan kesenangan tanpa jeda dalam waktu lama yang tak dapat dibedakan antara mimpi dan realita. Orang-orang Indonesia umumnya mengenal kata ini sebagai penyebutan untuk penyebab keindahan, penyebab semua ini ada (pencipta), penyebab dari semua yang dapat disaksikan, atau secara sederhana disebut Tuhan.

Definisi Etimologi

Sang Hyang Widhi, berasal dari akar kata "Sang", "Hyang", dan "Widhi".
  • Sang, memiliki makna personalisasi atau identifikasi. Contoh penggunaan kata lainnya: sang bayu, sang Nyoman, sang Raja, dan lain-lain.
  • Hyang, terkait dengan keberadaan spiritual yang dimuliakan atau mendapatkan penghormatan yang khusus. Biasanya, ini dikaitkan dengan wujud personal yang bercahaya dan suci.
  • Widhi, memiliki makna penghapus ketidaktahuan. Penghapus ketidaktahuan memiliki wujud yang beragam menurut jalan ketidaktahuan diselesaikan. Wujud-wujud ini menjadi media bagaimana manusia dan ciptaan di jagat raya ini mengerti dan memahami diri dan lingkungannya. Widhi dapat berupa: cahaya, suara, wujud tersentuh, sensasi tersensori, memori pikiran, rasa emosional, radiasi bintang, pengartian tanda, rasa kecapan, dan lain-lain. Widhi ini sangat terkait dengan dharma, atau lingkungan yang merupakan pustaka abadi dimana manusia dapat membaca keseluruhan pengetahuan tentang widhi. Dharma secara keseluruhan adalah widhi itu sendiri. Terkait dengan proses belajar, dharma tampaknya terpartisi menjadi arus berlanjut yang hadir kepada manusia tanpa henti hingga masa manusia itu berakhir.

Dharma

Dharma adalah pustaka atau sarana belajar manusia untuk mengerti dan memahami semua pengetahuan untuk menyelesaikan ketidaktahuan. Dharma ini pun menjadi jalan untuk dapat memahami kemahakuasaan, termasuk memahami 'Sang Hyang Widhi'. Dharma ini secara nyata adalah lingkungan manusia, dari yang menyusun manusia itu sendiri hingga hal-hal di luar manusia.

Sang Hyang Widhi

Secara deskriptif, makna Sang Hyang Widhi tidak cukup untuk diungkapkan dengan beberapa kalimat. Namun, dengan adanya dharma, semua orang dapat memahami makna sang hyang widhi ini secara utuh. Bahwa sang hyang widhi dipahami pertama melalui terlihatnya matahari di dalam mimpi seseorang, yang memberikan kesenangan luar biasa atau kesenangan tertinggi dari yang pernah dia rasakan. Kesenangan atau kebahagiaan ini berlanjut beberapa hari tanpa jeda. Namun, seseorang tidak dapat melihat matahari di dalam mimpi jika di dalam kenyataan ini dia tidak perhatian dengan matahari dan perkembangan hari siang dan malam.
Sang Hyang Widhi secara sederhana berarti dia yang memancarkan widhi atau penghapus ketidaktahuan. Dengan batasan media yang berupa cahaya, maka sang hyang widhi adalah sumber cahaya. Sumber cahaya ini berupa matahari atau sumber cahaya lain. Dengan demikian, dengan membatasi bentuk widhi berupa cahaya, sang hyang widhi adalah sumber cahaya.


Sang Hyang Tunggal


Sang Hyang Tunggal adalah suami dari Dewi Wiranti putri dari Sang Hyang Rekatatama. Serta ayah dari Batara Ismaya (Semar), Batara Antaga (Togog) dan Batara Manikmaya (Bathara Guru).
Pada episode Dewa Ruci, dia muncul sebagai Dewa Ruci dan bertemu Bima di dasar Laut Selatan. Bentuk wayangnya (dalam wayang kulit) termasuk kecil, seukuran wayang kulit tokoh-tokoh perempuan. Tokoh ini jarang dimainkan dalam pertunjukkan wayang kulit, karena episode yang memunculkannya memang sangat sedikit. Konon tidak sembarang dalang berani memainkan tokoh ini. Sang Hyang Tunggal adalah anak dari Sang Hyang Wenang.
Kisah mistis perjalanan batin yang dialami oleh Bima sehingga bertemu dengan Sang Hyang Tunggal dalam Dewa Ruci sangat baik untuk diambil pelajarannya.....

 

Senin, 27 Januari 2014

Cerpen

Lelaki Tampan di Sudut Masjid Nabawi 
 sumber :laman sebelah
 
Dengan mengucap “bismillahirrahmanirrahim”, aku menaiki pesawat Boeing 747 milik penerbangan Saudia Airlines. Inilah perjalanan umrahku yang pertama. Hatiku berdebar bercampur haru. Sejak kecil, aku memimpikan untuk bisa mengunjungi Mekah dan Madinah; dan mimpiku kini terwujud. Aku lebih berbangga dan bahagia sebab perjalanan umrahku ini hasil dari keringatku sendiri. Ya, selama ini aku menabung, menyisihkan uang sedikit demi sedikit dari gajiku agar dapat menunaikan mimpiku, kelak. Terbayang wajah almarhum Papa saat semua keluarga mengantarku di bandara Soekarno – Hatta pagi ini. Papa tak menyaksikan kebahagiaanku. Allah memanggilnya dua tahun lalu akibat kanker prostat yang menggerogotinya sejak empat tahun lalu. Teringat saat Papa mengantarku ke bangku TK dulu. Ampun deh, aku menangis sejadi-jadinya, dan Papa membiarkanku “diculik” bu guru. Papa juga yang mengantarku saat masuk SD, menemaniku saat masuk SMP, SMA dan menjadi fotografer setia saat aku diwisuda di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, empat tahun lalu. Tak lama setelah itu, Papa divonis sakit kanker prostat, dan semakin hari kesehatannya semakin menurun; sampai setahun lalu Papa menghembuskan nafas terakhirnya di RS Cipto Mangunkusumo, didampingi Ibu, Indra, Abangku, Aku dan Airin, adikku. Sore tadi, semua hadir di bandara. Bang Indra datang dari Bandung, khusus menemuiku di bandara. Airin berangkat bersamaku dan Mama dari rumah. Sejak menikah, Bang Indra tinggal di Bandung. Dia alumni ITB dan dapat istri teman kuliahnya. Dia lalu bekerja dan membangun rumah tangga di sana. Meski tinggal jauh denganku, Bang Indra adalah segalanya buatku, terutama sejak Papa meninggal dunia. Dia tak pernah absen melewati malam meneleponku, sekadar “say hello”, menanyakan pekerjaanku, dan – tentu – menanyakan calon pendampingku. Terus terang, kadang aku jenuh juga ditanyakan soal calon suami. Bang Indra tentu bermaksud baik. Usiaku kini 27 tahun. Sebagai abang, dia pasti khawatir dengan masa depanku. Tetapi, aku selalu meyakinkan dia, jodoh Allah yang tentukan. Dan aku selalu percaya kata-kata almarhum Papa; “wanita baik-baik akan mendapat laki-laki baik-baik juga..” hm…. Kata-kata Papa itu diucapkannya saat aku memutuskan memakai jilbab, saat kelas dua SMA dulu. Waktu itu, ibu menentang. Biasa lah, ibu khawatir aku bakalan tak suka gaul, tak modis. Kasarnya sih “susah laku!”. he… “Seat nomor berapa, Mba?” tanya pramugari Saudia Airlines memecah lamunanku. “Oh, 28-K Mba”, jawabku singkat. Pramugari itu melepas senyumnya dan menunjuki aku kursi nomor dua puluh delapan. Ternyata, meski penerbangannya Saudia, pramugarinya orang-orang Indonesia; mungkin karena melayani rute Indonesia, jadi yang direkrut orang Indonesia. Sejurus kemudian, aku mendapati kursi 28-K. Persis di dekat jendela dan barisan terdepan kursi kelas ekonomi. Sebetulnya aku bisa saja membayar umrah paket eksekutif, tapi karena aku berangkat sendiri dan “dititipkan” di keluarga Pak Arif, aku merasa tak pantas membayar kelas eksekutif sementara beliau di kelas ekonomi. Kata “dititipkan” sengaja aku berikan tanda petik. Sebab, dalam perjalanan umrah, seorang anak gadis tak boleh berangkat sendirian. Konon, itu peraturan pemerintah Saudi. Maka, oleh travel agent, aku didaftarkan sebagai anggota keluarga Pak Arief. Dan di visa-ku tertulis sebagai mahram Pak Arief. —***— Setelah melakukan perjalanan selama sembilan jam, pesawat Saudia Airlines mendarat mulus di Bandara Pangeran Muhammad bin Abdul Aziz, Madinah. Paket umrahku memang langsung ke Madinah baru kemudian Mekah. Kata Pak Endang, tour leader-ku, perjalanan ke Madinah dulu baru ke Mekkah lebih menguntungkan. Imigrasinya tak serumit di Jeddah, dan tak perlu naik bis dari Jeddah ke Madinah yang menempuh waktu enam jam lagi. Benar saja, imigrasi di Madinah relatif cepat; meski – menurutku – petugasnya tetap tak secekatan di Jakarta. Kadang, bangga juga jadi orang Indonesia, petugas imigrasinya ramah dan tak berbelit-belit. Kami langsung menuju hotel Royal al-Eman, hotel berbintang lima. Perjalanan dari bandara ke hotel sekitar tiga puluh menit. Sepanjang jalan, aku mencium aroma Madinah seperti yang kubaca di buku panduan dari travel agent. Suasana musim dingin terasa sejak keluar bandara; angin bertiup semilir; ada sederetan pohon kurma yang ditanam di median jalan raya. Meski hari beranjak malam, sekawanan burung merpati terbang rendah, tepat di dekat persimpangan sebuah lampu merah. Debu pun terbang tertiup angin. Aku teringat kata-kata ustadz Faishol saat belajar manasik di Jakarta, “Debu di Madinah adalah obat. Jadi jangan pakai masker di sana” Mulia sekali kota ini, bahkan debu-nya pun bernilai penawar sakit. Dan kini – aku berada di sini, di Madinah. Aku cubit tanganku sendiri; sekadar ingin memastikan aku tak sedang bermimpi. Di lobby hotel, saat menunggu pembagian kunci kamar, seorang petugas hotel berpakaian necis menghampiri kami. Aku menebak dia manager hotel, sebab – sungguh – dia rapi sekali: memakai jas, dasi dan bersepatu mengkilap. Rambutnya disisir ke belakang, alisnya tebal, kumis dan janggutnya dicukur bersih; dagunya belah, dan – oh my God, matanya biru. Aku seperti tak asing dengan wajahnya, tapi…Tidak, aku tidak sedang di Amerika atau Italia, aku di Madinah. Sekilas, aku bertemu mata dengannya, dan buru-buru aku menunduk, demi menyadari bahwa aku tengah ibadah. Dalam bahasa Arab, dia bercakap-cakap dengan Pak Endang. Aku tak paham sama sekali apa yang mereka berdua bicarakan, tapi pasti tak jauh dari soal pembagian kamar. Benar rupanya, petugas hotel itu meminta maaf sebab sebagian jamaah harus berada di lantai tiga, sebagian lain di lantai sembilan. Padahal, awalnya, kami dijanjikan akan berada di lantai yang sama. Aku, bu Wiwin, istri Pak Arif dan Linda, anaknya, ditempatkan di lantai tiga. Kami menempati kamar triple; sekamar bertiga. Sementara Pak Arief dan sebagian jamaah lainnya di lantai sembilan. Sekali lagi, si Arab itu melintasi kami; dan aku dengar dia berucap, “we are sorry for this inconvinience.” Oh, bagus juga bahasa Inggrisnya, gumamku. Kami check-in sekitar jam 9 malam waktu Madinah. –***— Kumandang adzan Subuh menggema memecah langit Madinah; aku, bu Wiwin dan Linda bergegas menuju masjid Nabawi. Hotel kami terletak sekitar lima ratus meter dari masjid Nabawi. Lamat-lamat, kuperhatikan, hotel-hotel di Madinah ini relatif sama; sama tingginya, sama pula modelnya. Mungkin hanya management-nya yang berbeda. Ini adalah shalat Subuh pertamaku di masjid Nabawi. Setelah istirahat sekian jam dari kedatanganku tadi malam, subuh ini sudah terasa fresh, meski masih ada sedikit sisa letih. Bu Wiwin pernah umrah, jadi cukup berpengalaman mengajakku langsung menuju masjid Nabawi wilayah khusus perempuan. Sesampainya di dalam masjid, aku langsung sujud syukur; “Ya Allah, aku sampai di kota Rasul-Mu.” Kelopak mataku kurasakan mengalirkan air hangat, ya – aku menangis. Betapa tidak, kini aku hanya beberapa meter dari makam Rasulullah yang mulia; makhluk teragung dalam sejarah peradaban umat manusia; nabi pemberi syafaat kelak; tokoh pilihan Allah untuk menyampaikan risalah-Nya. Sekali lagi aku ingat almarhum Papa. Aku teringat saat beliau sering sekali menceritakan Rasulullah sebelum kami beranjak tidur. Papa memang gemar membaca sejarah, terutama sejarah Nabi lalu diceritakannya kepada kami, anak-anaknya. Aku hampir hafal semua yang diceritakannya. Salah satu cerita yang paling aku suka adalah romantisme Rasulullah dan bagaimana beliau SAW menaruh trust– kepercayaan pada istri-istrinya. Sungguh, wanita merasa terhormat jika suami memberikan kepercayaan dalam senang dan susah. Kata almarhum Papa, setelah perang Khaibar selesai, para sahabat Nabi menghadap Rasulullah sambil membawa wanita bernama Shafiyah. Salah seorang di antara mereka berkata, “Shafiyah adalah wanita terhormat dari Bani Quraidzah dan Bani Nadzir. Dia hanya pantas buatmu, wahai Rasulullah.” Setelah wanita itu dimerdekakan, Rasulullah kemudian menikahinya untuk mengurangi tekanan batin dan guncangan jiwanya. Juga untuk memelihara kedudukannya yang terhormat. Rupanya, ada sahabat Nabi yang khawatir dengan keislaman Sofiyah, maka semalaman itu dalam perjalanan pulang dari Khaibar, Abu Ayyub Khalid Al-Anshari, sahabat Nabi itu, berjaga-jaga di sekitar tenda Rasulullah. Pagi harinya, Rasulullah melihatnya, dan bertanya, “Ada apa, wahai Abu Ayyub?” Abu Ayyub menjawab, “Aku khawatir akan keselamatanmu dari perbuatan wanita itu. Karena ayahnya, suaminya dan golongannya sudah terbunuh, sedang beberapa saat lalu dia masih seorang kafir.” Mendengar itu, Rasulullah tersenyum, lalu mendoakan Abu Ayyub agar ia selalu dijaga oleh Allah subhanahu wata‘ala. Lalu, lihatlah apa yang terjadi pada Shafiyah. Demi mendapatkan trust yang demikian besar dari suaminya, Rasulullah, Shafiyah pun sangat taat dan setia. Bahkan ketika Rasulullah sakit, Shafiyah berkata, “Ya Rasulullah, sekiranya mungkin, biarkan aku saja yang menderita sakitmu ini.” Selesai shalat subuh, aku berdoa agar kelak mendapatkan suami yang menaruh rasa percaya penuh padaku. Bagiku, itulah setinggi-tinggi penghormatan seorang suami pada istrinya. Ah, andai saja…. –***— Kini aku sudah tiga hari di Madinah, lusa kami akan ke Mekah. Aku telah ziarah ke makam Rasulullah, shalat di raudhah, city tour Madinah dan mulai menikmati suasana dingin kota ini. Diam-diam, dalam hati, aku ingin bertemu dengan manager hotel Royal Eman yang setiap bertemu selalu menyapa kami. Siapa tahu berpapasan di lobby hotel atau bertemu di lift. Aku cuma penasaran, kok ada orang Arab bermata biru seperti itu. Ya, aku ingat sekarang, dia mirip Pierce Brosnan, bintang film James Bond “Tomorrow Never Dies”. Bedanya; dia kelihatan lebih atletis, muda dan selama tiga hari, aku tak pernah melihatnya merokok. Jadi, kusimpulkan sementara, dia bukan perokok. Dia juga rajin sekali ke masjid. Setiap waktu shalat, masih dengan pakaian dinasnya itu, dia berangkat ke masjid. Hanya saja, aku tak pernah melihatnya masuk ke dalam masjid. Dia hanya shalat di pelataran masjid bersama para jamaah lainnya. Pernah kutanyakan pada Pak Endang, mengapa banyak orang yang tidak masuk ke masjid, dan hanya shalat di halaman masjid Nabawi. Pak Endang bilang, mereka rata-rata warga Madinah atau pekerja-pekerja hotel sekitar sini. Alasannya, mereka harus segera balik bekerja namun di saat yang sama tak ingin kehilangan shalat jamaah di masjid Nabawi. “Jika dia seorang cleaning service, misalnya. Dia kan harus segera bekerja. Kalau masuk ke dalam masjid, terlalu jauh. Jadi dia shalat di luar saja.” Oh, gumamku. Jadi, manager itu pun begitu. Dia selalu shalat di sudut masjid Nabawi dekat tiang arah pulang ke hotel agar segera bisa kembali bekerja. Subhanallah. Benar deh, benar-benar Pierce Brosnan plus dia. Tadi malam, saat kami makan di restoran bersama jamaah lain, Pierce Brosnan plus itu menghampiri kami, menanyakan cita-rasa masakan hotelnya. Tentu saja nikmat; semua masakan terasa betul bumbu Indonesia-nya. Terus terang, aku tak berani memandangnya. Namun, setelah dia pergi, Pak Endang justru bercerita kepada jamaah bahwa manager itu bernama Nael al-Zaydan. Dia warga negara Jordania; sudah lima tahun bekerja di Madinah. Sejak Pak Endang kenal, setiap kali datang ke Madinah, pasti Nael yang menyambutnya di Royal Eman. Dan – kata Pak Endang lagi – dia selalu tampil dandy. Menyaksikan ibu-ibu dan sejumlah anak gadis serius mendengarkan cerita Pak Endang, ada cemburu membakar hatiku. he.. –*** — Kami sudah mengepak seluruh koper dan tas jinjing untuk dibawa ke Mekah. Selepas shalat Zhuhur nanti, kami akan check-out. Tiba-tiba saja, aku merasa akan kehilangan kota ini. Ya, kota yang dipilih Rasulullah untuk membangun contoh peradaban Islami. Aku jadi ingat sekali lagi cerita almarhum Papa. Kata beliau, sewaktu selesai perang Hunain, Rasulullah membagi-bagikan harta rampasan perang kepada beberapa tokoh Quraisy; namun tidak kepada orang-orang Anshar Madinah. Hal ini menimbulkan kejengkelan dalam hati orang-orang Madinah hingga ada yang mengatakan: “Rasulullah memihak dengan kaumnya.” Kemudian Sa’d bin ‘Ubadah menemui Rasulullah. Katanya, “Wahai Rasulullah, orang-orang Madinah merasa tidak enak hati terhadap apa yang engkau lakukan dengan harta rampasan sebab engkau hanya membagikannya kepada kaum-mu sendiri.” Rasulullah balik bertanya, “Engkau sendiri di barisan mana, wahai Sa’d?” Ia menjawab, “Aku hanyalah bagian dari mereka.” Rasulullah kemudian, antara lain, berkata, “Tidakkah kalian ridha, wahai orang-orang Anshar, orang lain pergi dengan kambing dan unta mereka, sedangkan kalian pulang ke kampung halaman kalian membawa Rasulullah? Demi yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentulah aku termasuk salah seorang dari Anshar. Seandainya manusia menempuh satu lembah, dan orang-orang Anshar melewati lembah lain, pastilah aku ikut melewati lembah yang dilalui orang-orang Anshar. Ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak-anak kaum Anshar, dan cucu-cucu kaum Anshar.” Demi mendengar ucapan Rasulullah itu, menangislah orang-orang Anshar hingga membasahi janggut-janggut mereka, sambil berkata: “Kami ridha bagian kami adalah Rasulullah!” Ya, kota ini mendapat kemuliaan menjadi bagian dari sejarah Rasulullah. Dan sebentar lagi aku akan meninggalkannya. Meninggalkan kenikmatan beribadah di masjid Nabawi. Meninggalkan suara khas kumandang adzan masjid Nabawi ini. Saat aku berada di lobby mengawasi koperku dinaikkan ke bus, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang menyapaku. “Nisa…”. “How come you know my name?” tanyaku dengan wajah bego. “I have your passport” jawab Pierce Brosnan, eh Nael al-Zaydan sambil menggenggam photo-copy sejumlah paspor. Oh… Jadi… “Yes,” lanjutnya seakan membaca pikiranku. “I have learned your details. Thank you to be my guest in this hotel. I will be in Jakarta in the coming month, if you don’t mind, my I have your mobile number?” Hah! Dia meminta nomor HP-ku. Aku seakan tak menapak di atas lantai. Tanganku gemetar. Untuk apa? “I may need your help and we may communicate each other.” lanjutnya dengan senyum tersungging. Hah! Kini aku benar-benar tak berani menaikkan wajahku. Aku tak kuasa menjadi Zulaikha yang tertawan ketampanan Yusuf. Aku tak ingin melukai tanganku dengan pisau, eh pulpen dan menjadikannya berdarah-darah. Segera setelah selesai menuliskan nomor HP-ku, aku pun permisi. Kulihat dia tersenyum dengan secarik kertas yang aku berikan itu. Selepas Zhuhur, kami pun meninggalkan Madinah menuju Mekah guna menunaikan ibadah umrah. “Labaik Allahuma Labbaik… Labbaika Lasyarika La baik… Inal Hamda Wa Nikmata Laka Wal Mulk, La SyarikaLaak…” –*** — Tiga bulan berlalu sudah sejak aku umrah dan bertemu dengan lelaki tampan di sudut masjid Nabawi itu. Kini aku sedang berbulan madu bersama suamiku. Mau tahu siapa dia? He… lain kali aku ceritakan yah… :) Salam hormat, Nisa. 

Labbaik AllahumaLabbaik… Labaika La Syarika Labbaik… Innal Hamda Wa ni’mata LakaWal Mulk… La Syarika Laak…”
Mobil bus Ar-Raheel yang kami tumpangi memasuki tanah suci Mekah. Setelah menempuh perjalanan sekitar enam jam dari kota Madinah, kini kami mulai memasuki kawasan tanah haram Mekah. Cukup meletihkan perjalanan ini, namun semangat untuk segera melihat Ka’bah, bertawaf mengitarinya dan mencium hajar aswad telah berhasil membunuh rasa kantuk dan letihku.
Kuperhatikan jamaah yang umumnya telah sepuh, mereka mulai terbangun dari tidurnya. Perjalanan Madinah – Mekah memang menakjubkan. Meski bukan jalan tol, namun jalanan sangat lancar. Sepanjang perjalanan adalah gunung batu dan hamparan pasir. Aku teringat bagaimana dulu Rasulullah berangkat menunaikan haji dari Madinah ke Mekah. Berhari-hari melewati jalan batu ini. Sungguh, jamaah haji dan umrah sekarang sangat dimudahkan.
Kini, bus kami telah benar-benar berhenti di depan hotel. Ya, di depan hotel Darul Eman Mekah. Benarlah kata Pak Endang, tour leader kami; bahwa sepanjang perjalanan umrah ini menggunakan fasilitas Darul Iman Group. Top deh travel-nya. Dan kami mulai check in sekitar pukul delapan malam.
Pak Endang berpesan, “Selesaikan dulu makan malamnya, nanti sama-sama berkumpul lagi di lobby, kita bersiap umrah.” Umrah! Seakan aku tak percaya, sebentar lagi kami akan ke Masjidil haram, menunaikan ibadah umrah. Tak sabar rasanya untuk segera melihat Ka’bah; melihat “bangunan sederhana” yang menjadi kiblat setiap muslim menunaikan ibadah shalatnya.
Aku teringat ceramah ustadz Faishol saat manasik tempo hari. “Ka’bah adalah rumah ibadah paling tua yang dibangun oleh umat manusia. Al-Qur’an menegaskan, “sesungguhnya, rumah ibadah yang pertama kali untuk umat manusia adalah yang ada di Bakkah / lembah.” Karena itu, Ka’bah dinamakan sebagai “baitullahi al-atieq”; rumah Allah yang sangat antik.”
Tak sabar rasanya ingin segera bertawwaf, mengitari Ka’bah bersama ribuan umat muslim lainnya. “Mba Nisa, makan dulu yuk…” suara Linda membuyarkan lamunanku. Selesai makan malam, kami berkumpul kembali di lobby hotel. Kulihat Pak Endang juga sudah menunggu di lobby. Kali ini dia tidak sendiri. Kulihat ada seorang laki-laki, berperawakan tinggi, putih, agak kurus, bermuka tirus dan berhidung mancung tengah terlibat percakapan dengan Pak Endang. Aku tak mengenali laki-laki itu, sebab tak ada dari rombongan umrah kami anak muda itu.
Setelah jamaah semua berkumpul di lobby, Pak Endang bilang, “Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, mengingat jumlah kita banyak; lima puluh orang; maka, khawatir terpisah-pisah, kita akan dibantu Mas Idil.” Oh…Jadi dia mutawwif, pantas aku tak melihatnya. Hm…
— *** —
Akhirnya, sampailah kami di depan Ka’bah. Ya, benar-benar di depan Ka’bah. Aku langsung sujud syukur saat pertama menatap bangunan mulia itu. Ya Allah, betapa beruntungnya aku, saat jutaan umat muslim tak mampu ke tanah suci, aku telah berada di sini. Menatap Ka’bah dengan mata kepalaku sendiri. Aku menangis sejadi-jadinya.
Dalam sujud-ku, aku teringat almarhum Papa, Mama, Bang Indra dan Airin, adik-kakakku. Kami memulai tawwaf dari sudut bertanda lampu hijau. Pak Endang di depan kami, memulai aba-aba… “Bismillahi allahu akbar..” melangkahlah kaki kami dalam putaran tawwaf bersama ribuan malaikat yang terus bertasbih pada-Nya.
Putaran pertama selesai, lalu kedua, ketiga, keempat – dan kulihat rombongan kami yang berjumlah lima puluh orang ini semakin terberai. Aku tak melihat lagi Pak Endang dan bapak-ibu lainnya. Aku bersama Linda, bu Wiwin dan dua bapak tua (maaf aku tak hafal namanya) kini didampingi Mas Idil. Kami terus melanjutkan tawwaf hingga selesai tujuh putaran.
Selesai tawwaf, kami shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim, memanjatkan segala doa (tentu termasuk doa dapat jodoh :), lalu bersegera menuju bukit Shafa untuk bersa’i. “Sesungguhnya, Safa dan Marwa adalah bagian dari syiar Allah…”. Lamat-lamat terdengar suara orang-orang melafalkan bagian dari ayat tersebut. Kami memulai rangkaian perjalanan sa’i dari bukit Safa menuju bukit Marwa. Jauh juga ternyata, setidaknya satu perjalanan dari bukit Safa ke Marwa dibutuhkan waktu sekitar sepuluh menit. Kami menuntaskan seluruh prosesi umrah sekitar dua jam.
Kami tahalul (menggunting rambut sedikit) di atas bukit Marwa sebagai pertanda ibadah umrah kami telah sempurna. Aku, bu Wiwin dan Linda mengucapkan terima kasih pada Mas Idil yang telah sabar membimbing kami.
— *** —
Ini adalah hari kedua di Mekah. Tak ada agenda resmi dari pihak travel agent-ku kecuali nanti malam berkumpul di restoran untuk sekadar siraman rohani. Aku dan Linda memutuskan untuk mengisi pagi menunggu Zhuhur dengan belanja oleh-oleh. Sebenarnya sih, koperku sudah penuh sejak di Madinah, tapi ada saja yang belum terbeli. Biasa, ibu-ibu, eh belum yah.
Saat turun ke lobby hotel, aku bertemu Mas Idil.
“Mau ke mana, Mba?”
“Beli oleh-oleh” kataku sekilas.
“Kalau mau ikut denganku. Banyak oleh-oleh dengan harga murah dibandingkan di dekat Masjidil haram ini” Katanya.
Aku melirik Linda; ia nampak tak keberatan.
“Jauh?” tanyaku.
“Nggak, daerah di ujung Misfalah.” Katanya sambil menunjukkan jari ke arah Misfalah. “Aku kebetulan bawa mobil, jadi nanti terkejar shalat Zhuhurnya di masjid.”
Kami berangkat ke Misfalah. Sesaat aku teringat pesan orang-orang tua di kampung; jangan pernah naik taksi di Arab.
“Tenang saja, Mba. Ini bukan taksi.” Kata Mas Idil seakan membaca pikiranku.
“O yah. Namanya siapa?” Katanya lagi. Aku perkenalkan diriku dan Linda. Dari balik kaca spion, kulihat wajah Mas Idil sumringah. He… kurang kerjaan banget aku yah!
Jam sebelas kami sudah sampai kembali ke hotel. Aku ucapkan terima kasih untuk Mas Idil yang sudah berbaik hati mengantarkan “nyonya besar” belanja. Aku melihatnya tersenyum dan lalu izin pergi mau balik ke rumahnya. Katanya sih rumahnya di sekitar Subaikah. Mana aku tahu Subaikah; Pulo Gadung aku tahu.
Malam hari, siraman rohani diagendakan mulai jam delapan. Biasa lah, molor sedikit dari jadwalnya. Maklum, banyak ibu-ibu sepuh. Biasanya juga Pak Endang yang menyampaikan taushiyah. Tetapi malam ini berbeda. Laki-laki berpakaian Arab dengan sangat rapi duduk di depan jamaah. Sekilas, aku tak mengenali laki-laki itu; Sejurus kemudian baru aku tersadar bahwa itu Mas Idil.
Ya ampun, saat ia memakai gamis (baju panjang), sungguh tak terlihat sebagai orang. Pak Endang lalu “memperkenalkan” ustadz muda itu.“Bapak – ibu sekalian, taushiyah malam ini akan disampaikan olehal-mukarram sahabat dan guru kita semua; Aidil al-Atas.” oh, berdarah al-Atas toh, pantesan… gumamku.
Mas Idil, eh ustadz Aidil al-Atas itu kemudian menyampaikan tausiyahnya. Sungguh terlihat penguasaannya pada ilmu agama. Ia fasih menyitir ayat-ayat al-Qur’an, hadits dan tentu cerita-cerita menarik seputar Ka’bah.
Tentang Ka’bah, ustadz Aidil menceritakan bagaimana bangunan itu telah menjadi “centre of attraction” para peziarah sejak zaman sebelum Islam. Caranya menceritakan surah al-Fil (gajah) sungguh berbeda dengan para da’i di teve Indonesia yang umumnya kering, penuh lelucon dan tak berisi. Lalu, ia menceritakan tentang Tahun Gajah.
“Disebut demikian, sebab pada tahun ketika Nabi lahir itu, pasukan Abraha dari Yaman tengah menuju Mekah untuk menghancurkan Ka’bah. Peristiwa itu, menurut Ibn Hisyam, “coinsident” dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Awalnya, raja Abraha di Yaman telah membangun al-Qullaiys – gereja Ekanola – di Yaman. Abraha sendiri adalah raja Yaman yang berdarah Ethiopia. Saya lebih suka menyebutnya sebagai gubernur wilayah Yaman sebab pusat kekuasaan Kristen ketika itu adalah kerajaan Aksum di Ethiopia. Kerajaan itu sangat besar. Mereka menguasai perdagangan kawasan Arab dan India. Maka itu pula, Rasulullah sendiri pernah mencoba ber-hijrah ke Ethiopia; menunjukkan kawasan itu adalah “land of opportunity”.
Abraha berharap al-Qullaiys yang ia bangun menjadi “daya tarik” untuk mengembangkan industri turisme Yaman. Namun, pesona Ka’bah di lembah Mekah lebih menarik perhatian para peziarah. Sehingga, ia mengkonsolidasikan pasukannya untuk menghancurkan “bangunan kubus” di Mekah itu.
Peristiwa itu diabadikan al-Qur’an dengan diturunkannya surah al-Fil. Ketika menceritakan tentang proses penghadangan mereka, Allah SWT berfirman, وأرسلعليهم طيرا أبابيل Selama ini, pemahaman atas ayat itu adalah, Allah mengirim burung Ababil. Saya lebih suka memahaminya, “Dan Aku utus untuk menghadang mereka burung yang berbondong-bondong.” Sebab, burung-burung itu diutus untuk menghadapi empat puluh ribu tentara Abraha, maka wajar-lah jika mereka datang bergelombang.” Maka, sejak itu semua musuh Allah takut dengan kesucian Ka’bah.
Mas Idil lalu menutup ceramahnya dengan gurauan, “Perhatikan deh, ribuan merpati di dekat Masjidil haram ini juga takut dengan Ka’bah, tak ada satu pun yang hinggap di atas-nya.”
Iya kah? Pikirku. Diam-diam aku memperhatikan Ka’bah saat tawaf di hari berikutnya; memang tak ada merpati hinggap di atapnya. Padahal, kota ini dipenuhi ribuan burung jinak itu.
—***—
Hari demi hari berlalu. Tak terasa sudah sepekan kami di tanah suci Mekah. Seluruh rangkaian ziarah telah dilaksanakan; mengunjungi Arafah, Mina, Mudzhalifah dan tempat-tempat bersejarah lainnya. Bahkan, aku dan Linda dapat bonus dari Mas Idil. Ya, kami berdua diajak mengunjungi museum Ka’bah dan mampir makan di restoran di tengah padang pasir. Aku tak tahu nama daerahnya, tetapi jelas di luar kota Mekah; sebab di restoran itu banyak anak-anak muda Arab yang nongkrong sambil nonton bola. Pengalaman yang menakjubkan. Sesekali Mas Idil menelpon ke kamarku, sekadar tawarkan buah dan makanan kecil lainnya. Bu Wiwin pasti menggodaku.
Setelah selesai menunaikan seluruh rangkaian perjalanan ibadah umrah ini, kini kami bersiap-siap kembali ke tanah air. Jam sepuluh pagi kami telah berkemas; menyiapkan seluruh bawaan untuk dimasukkan ke koper. Mas Idil menghampiriku;
“Aku akan ikut kalian ke Jeddah” Katanya, seakan memberi tahu aku; padahal aku tak pernah bertanya.
Aku hanya tersenyum. Bu Wiwin dan Linda saling melirik. Aku tahu apa maksud mereka. Sekali waktu, Bu Wiwin juga pernah menggodaku; “Sudahlah, dipikir apa lagi. Tampan lho dia. Kalau di Jakarta sudah jadi bintang sinetron tuh” Aku hanya senyum-senyum saja.
Terus terang, aku mulai bimbang. Ada Nael Al-Zaydan yang kukenal hanya sekilas di Madinah namun mampu memberikan kesan yang mendalam. Dia sungguh sangat tampan, simpatik dan – shalih. Tapi, apa iya dengannya. Pria asing yang bahkan aku tak tahu asal-usulnya. Bagaimana pula nantinya, jauh sekali. Eh, aku kok jadi berfikir aneh.
“Nis…” suara Mas Idil memecah lamunanku. “Aku titip ini; baru boleh dibaca saat di mobil nanti.” Mas Idil memberikan sepucuk surat. Kini aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Dosakah aku? Salahkah aku dengan Nael; seseorang yang baru saja melintas di benakku. Tapi kan, dia bukan siapa-siapa aku…
Di dalam bus, aku membuka surat Mas Idil. Ini isi suratnya:
Assalamu’alaikum,
Nisa yang baik hati.
Bertahun sudah aku tinggal di Mekah; mula-mula ikut ayah yang merantau ke tanah suci ini, hingga akhirnya kuselesaikan studiku di Universitas Ummul Qura’. Kini, ayah telah wafat dan aku selalu ditanya ibu: kapan mau berumah-tangga. Tahu apa jawabanku, selalu. “Aku belum melihat merpati hinggap di atap Masjidil haram, bu.” Ibu lalu tersenyum.
Aku bangga mengenalmu, Nis. Aku bahagia sebab mendapati merpati yang kini hinggap, tidak lagi di Masjidil haram, tetapi di sini – di lubuk hatiku. Ia terbang jauh dari negeri nan hijau ke kota nan tandus ini, lalu menyirami hatiku yang gersang. Ia terbang bersama jutaan suara dalam irama talbiyah, dan aku menemukannya di antara jutaan suara itu.
Saat menulis surat ini, aku teringat Qais bin Maluh – itu lho penyair yang sampai gila karena cintanya tak tertunaikan pada Layla.
تعَلَّقتُ لَيْلَى وهْيَ غِرٌّ صَغِيرَة ٌ *** ولم يَبْدُ لِلأترابِ من ثَدْيها حَجْمُ
صَغِيرَيْنِ نَرْعَى البَهْمَ يا لَيْتَ أنَّنَا *** إلى اليوم لم نكبر ولم تكبر البهم
Aku mengagumi Layla saat ia bermain boneka; seorang anak kecil ***
bahkan gundukan pasir debu lebih besar dari ukuran tubuhnya
Kami adalah dua anak yang merawat domba bersama; sekiranya kami ***
hingga hari ini tak pernah menjadi dewasa; dan domba-domba itupun tak pernah menjadi tua.
Saat pertama melihat-mu, aku sungguh merasa menemukan sahabat kecilku. Impian saat kami merajut cita-cita di Taman Kanak-kanak di masjid al-Ittihad, Tebet, sekitar lima belas puluh tahun lalu. Nama kalian pun sama: Annisa.
Maaf jika aku kurang sopan, membandingkanmu dengan sahabat kecilku. Aku hanya ingin mempertegas bahwa “rasa” ini datang bagaikan kolektif memori yang membangunkanku dari lamunan panjang. Kita hanya sepekan bertemu, namun aku mulai punya keberanian untuk bercerita pada Ibu di rumah, di Subaikah. Insya-Allah, bulan depan – kami sekeluarga akan kembali ke Indonesia, jika Nisa berkenan, aku – dan tentu dengan ibu – ingin mampir ke rumah.
Aku senang mengutip Qais bin Maluh sekali lagi:
وَجَدْتُ الحبَّ نِيرَاناً تَلَظَّى *** قُلوبُ الْعَاشَقِينَ لَهَا وَقودُ
فلوكانت إذا احترقت تفانت ***  ولكن كلما احترقت تعود
Aku mendapati cinta sebagai api yang menyala ***
di mana dua hati sejoli adalah bahan bakarnya
Semestinya, setelah terbakar – punahlah ia ***
Namun, semakin sering terbakar, keduanya penuh kembali
Demikian surat ini kubuat, malam ini – jam 22.30 Waktu Mekah. Sampaikan salamku untuk ibu dan keluargamu di Indonesia. Salam hormat, Idil.
Selesai membaca surat itu, aku terhenyak. Dahsyat sekali kekuasaan Allah; dua puluh tujuh tahun aku di Indonesia, tak pernah ada yang benar-benar membuatku “bingung”, kini hanya dalam hitungan hari, aku bertemu dengan dua laki-laki yang membuatku “melongo”, bahkan aku jadi terkesan bloon dan bego.
Saat kami akan masuk imigrasi di bandara Jeddah, Mas Idil menghampiriku dan bilang, “hati-hati di jalan. Take care!” Aku hanya tersenyum.
— *** —
Kini, aku benar-benar dalam pilihan sulit. Nael al-Zaydan – sosok tampan — di Madinah; dan Mas Idil – sosok mempesona — di Mekah. Keduanya bulan depan ke Jakarta dan berniat menemuiku. Ya Allah bimbinglah aku dalam menentukan pendamping hidupku. Jadikanlah umrah-ku sebagai umrah yang maqbul hanya karena-Mu. Dan dua laki-laki itu adalah “bonus” untuk shalat istikharahku.


Jumat, 24 Januari 2014

Indonesia Kehilangan Pakar Ilmu Fikih Modern

JAKARTA - Di tengah bencana yang melanda negeri tercinta, Indonesia kembali diuji Tuhan dengan dipanggilnya salah satu ulama kharismatiknya, KH Dr. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz.
Ketua Umum Ikatan Sarjana NU Ali Masykur Musa menyatakan kesedihannya yang mendalam atas meninggalnya Rais Aam PBNU tersebut. “Innnalilahi wa inna Ilaihi rojiun telah meninggal dunia guru kami, KH Sahal Mahfudz. Al Fatihah,” ujar Ali Masykur Musa kepada Okezone di Jakarta, Jum’at (24/1/2014).

Menurut Ali Masykur Musa, almarhum yang lazim disapa Mbah Sahal tersebut adalah fuqoha (ahli ilmu Fikih) modern. Ada dua kitab karya beliau yang selalu menjadi rujukan umat untuk memperkaya khasanah Islam, yaitu Fiqih Siyasah (politik) dan Fikih Lingkungan.

“Mbah Sahal adalah sosok yang sangat alim. Indonesia kehilangan ahli Fiqih terbaiknya. Dengan buku yang menjadi karya beliau itu hukum Islam mampu menjawab berbagai tantangan zaman,” ungkap Cak Ali, panggilan akrabnya.

Cak Ali melanjutkan, bahwa Mbah Sahal yang juga mengemban amanah sebagai Ketua Umum MUI selama 3 periode ini adalah tokoh yang sangat disegani, bukan hanya karena ilmu, tetapi juga akhlaknya. Dalam berorganisasi, almarhum adalah sosok sangat taat pada aturan organisasi yang ada, sehingga pengambilan keputusan selalu menunggu pendapat KH Sahal Mahfudz.

“Secara pribadi saya sangat kagum dan hormat pada almarhum Mbah Sahal. Banyak sikap politik saya yg dipengaruhi oleh pandangan beliau. Saya sangat terkesan saat menjadi Ketum ISNU saya dilantik langsung oleh beliau, yang mana tidak biasa dilakukan sebelumnya,” terangnya.

KH Sahal Mahfudz wafat pada Jum’at, (24/1) dini hari pukul 01.05 WIB di kediamannya, kompleks Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen Pati Jawa Tengah. Selain karena sudah sepuh, Mbah Sahal meninggal karena penyakit yang dideritanya selama beberapa bulan terakhir dan mendapat perawatan intensif. Rencananya almarhum akan dimakamkan pagi ini pukul 09.00 WIB di Kajen, Pati.

Kamis, 23 Januari 2014

Harum1

GAMBAR

Album Gambar

Aqidah

Alam Kubur 

sumber:dakwatuna


Manusia adalah makhluk Allah swt. yang diciptakan dari tanah (at-turab) dan ruh. Allah swt. membekalinya dengan hati, akal, dan jasad sehingga manusia memiliki tekad (al-‘azmu), ilmu dan amal. Dengan berbekal ketiganya manusia diberi amanah oleh Allah swt., sebuah amanah yang makhluk-makhluk lain yang jauh lebih besar dari manusia, seperti langit, bumi dan gunung-gunung, menolak untuk menerimanya (Al-Ahzab: 72). Amanah yang diterima manusia berupa ibadah (Adz-Dzariyat: 56) yang merupakan tujuan penciptaannya dan khilafah (Al-Baqarah: 30) yang merupakan fungsi manusia di dunia. Kedua amanah ini kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hari akhir.
Sesungguhnya manusia hidup bukan hanya di dunia saja, tetapi telah menjalani kehidupan lain sebelum ke dunia dan akan menjalani kehidupan lainnya lagi setelah di dunia. Itulah tahapan-tahapan kehidupan manusia. Allah swt. berfirman:
كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللهِ وَكُنْتُمْ اَمْوَاتًا فَاَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ اِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati(1), lalu Allah menghidupkan kamu(2), kemudian kamu dimatikan(3) dan dihidupkan-Nya kembali(4), kemudian kepada-Nya-lah kamu(5).” (Al-Baqarah: 28)
Secara garis besar penjelasan ayat di atas ditunjukkan oleh Tabel 1.
Tabel 1, Mengapa kamu kafir kepada Allah?
No
Potongan Ayat
Keterangan
1
padahal kamu tadinya mati
Mati
2
lalu Allah menghidupkan kamu
Hidup
3
kemudian kamu dimatikan
Mati
4
dan dihidupkan-Nya kembali
Hidup
5
kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan
Dikembalikan
Secara lebih rinci, seluruh tahapan kehidupan yang telah dan akan dialami manusia ditunjukkan oleh Tabel 2. Seluruh manusia akan mengalami 14 (empat belas) alam, dari alam ruh hingga surga atau neraka. sebelas alam di antaranya adalah alam setelah manusia mati. Sungguh perjalanan yang sangat panjang menuju surga atau neraka.
Tabel 2 Seluruh tahapan kehidupan manusia
AYAT
ALAM ANTARA
ALAM UTAMA
padahal
kamu tadinya mati
1) Alam Kesatu : ALAM ROH /ALAM ARWAH
yakni alam Awal manusia diciptakan dan tidak ada satupun manusia mengetahuinya karena bagi Allah swt. tidak ada batas Ruang/Waktu dan Tempat
lalu Allah menghidupkan kamu
2) Alam Kedua : ALAM RAHIM
yakni alam dimana manusia tercipta melalui suatu proses pembenihan di dalam Rahim/ kandungan yang lamanya sudah ditentukan 9 bulan
3) Alam Ketiga : ALAM DUNIA
yakni alam ujian sebagaimana yang kita sedang alami bersama sekarang ini.
kemudian kamu dimatikan
4) Alam Keempat : ALAM SAKARATUL MAUT
yakni alam pada saat roh manusia dicabut oleh Allah swt yakni alam antara Dunia menuju alam kubur
5) Alam Kelima : ALAM KUBUR atau ALAM BARZAH,
yakni alam di mana manusia akan memperolah Siksa atau Nikmat kubur tergantung perbuatannya selama hidupnya di dunia sambil menunggu datangnya hari kiamat. Dan bagi yang memperoleh nikmat kubur, mereka para ahlul kubur seperti tidur saja layaknya
dan dihidupkan-Nya kembali
6) Alam Keenam : KIAMAT atau disebut AKHIR ZAMAN atau Yaumul Qiyamah yakni alam dimana Allah swt memusnahkan Bumi – mahluk hidup beserta seluruh isinya Lihat Situs kiamat
7) Alam Ketujuh: KEBANGKITAN
8 ) Alam Kedelapan : ALAM MASYHAR yakni alam dimana Manusia dibangkitkan kembali dari Alam Kubur oleh Allah swt serta berkumpul di Padang Masyhar dan masing masing manusia tidak mengenal satu sama lainnya
kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan
9) Alam Kesembilan: BALASAN
10) Alam Kesepuluh: DIHADAPKAN KEPADA ALLAH DAN PERHITUNGAN
11) Alam Kesebelas: KOLAM
12) Alam Keduabelas: TIMBANGAN
13) Alam Ketigabelas: JALAN
14) Alam Kesembilan : SORGA DAN NERAKA
a) ALAM SORGA: alam kenikmatan bagi manusia yang selamat setelah dihisab oleh Allah swt.
b) ALAM NERAKA: alam kesengsaraan/siksaan bagi manusia yang tidak selamat setelah dihisab oleh Allah swt.
Alam Kubur (Al-Barzakh)
Alam kubur disebut juga alam barzakh (dinding), karena kubur adalah dinding yang memisahkan antara dunia dan akhirat. Di dalam Al-Qur’an kata “barzakh” disebut di tiga ayat, yaitu Al-Mu’minuun: 100, Al-Furqaan: 53, dan Ar-Rahmaan: 20. Barzakh yang bermakna kubur terdapat pada surat Al-Mu’minuun: 100. Allah swt. berfirman, “Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” Sedangkan surat Al-Qurqaan: 53 dan Ar-Rahmaan: 20 berkaitan dengan dinding pemisah antara dua lautan.
Allah swt. banyak menyebutkan tentang kubur di dalam Al-Qur’an baik secara eksplisit maupun implisit, begitu pula Rasulullah saw. di dalam haditsnya yang mulia. Firman Allah swt. tentang alam kubur:
“Dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.” (Al-Hajj: 7)
“Dan tidak sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (Faathir: 22)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah. Sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa.” (Al-Mumtahanah: 13)
“Pada hari mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala.” (70:43)
“Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur.” (‘Abasa: 21)
“Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur.” (Al-’Aadiyat: 9)
“Sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (At-Takaatsur: 2)
“Yaitu pada hari Dia memanggil kamu, lalu kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya dan kamu mengira, bahwa kamu tidak berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja.” (Al-Israa’: 52)
“Dan janganlah sekali-kali kamu menshalati (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (At-Taubah: 84)
“Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.” (Al-Mu’minuun: 16)
“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Apakah setelah kita menjadi tanah dan (begitu pula) bapak-bapak kita; apakah sesungguhnya kita akan dikeluarkan (dari kubur)?” (An-Naml: 67)
“Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur).” (az-Zukhruuf: 11)
Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang dari kamu berada dalam keadaan tasyahhud, maka hendaklah dia memohon perlindungan kepada Allah dari empat perkara dengan berdoa: yang bermaksud: Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon perlindungan kepadaMu dari siksaan Neraka Jahannam, dari siksa Kubur, dari fitnah semasa hidup dan selepas mati serta dari kejahatan fitnah Dajjal.”
Dalam Lu’lu’ wal Marjan hadits no. 1822 – 1826 disebutkan sabda Nabi saw., “Sesungguhnya seorang jika mati, diperlihatkan kepadanya tempatnya tiap pagi dan sore. Jika ahli surga, maka diperlihatkan surga, dan bila ia ahli nereka (maka diperlihatkan neraka). Maka diberitahu: Itulah tempatmu kelak jika Allah membangkitkanmu di hari kiamat.” (Bukhari dan Muslim)
“Nabi saw. keluar ketika matahari hampir terbenam, lalu beliau mendengar suara, maka bersabda: Orang Yahudi sedang disiksa dalam kuburnya.” (Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya seorang hamba jika diletakkan dalam kuburnya dan ditinggal oleh kawan-kawannya, maka didatangi dua malaikat, lalu mendudukannya keduanya dan menanyakan: Apakah pendapatmu terhadap orang itu (Muhammad saw.)? Adapun orang beriman maka menjawab, ‘Aku bersaksi bahwa dia hamba Allah dan utusanNya.’ Lalu diberitahu: Lihatlah tempatmu di api neraka, Allah telah mengganti untukmu tempat di sorga, lalu dapat melihat keduanya.” (Bukhari dan Muslim)
“Seorang mukmin jika didudukkan dalam kuburnya, didatangi dua malaikat, kemudian dia mengucapkan, ‘Asyhadu an laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan Rasulullah’ maka itulah arti firman Allah, ‘Allah akan menetapkan orang yang beriman dengan kalimat yang kokoh (Ibrahim: 27)’.” (Bukhari dan Muslim)
“Ketika selesai Perang Badr, Nabi saw. menyuruh supaya melemparkan dua puluh empat tokoh Quraisy dalam satu sumur di Badr yang sudah rusak. Dan biasanya Nabi saw. jika menang pada suatu kaum maka tinggal di lapangan selama tiga hari, dan pada hari ketiga seusai Perang Badr itu, Nabi saw. menyuruh mempersiapkan kendaraannya, dan ketika sudah selesai beliau berjalan dan diikuti oleh sahabatnya, yang mengira Nabi akan berhajat. Tiba-tiba beliau berdiri di tepi sumur lalu memanggil nama-nama tokoh-tokoh Quraisy itu: Ya Fulan bin Fulan, ya Fulan bin Fulan, apakah kalian suka sekiranya kalian taat kepada Allah dan Rasulullah, sebab kami telah merasakan apa yang dijanjikan Tuhan kami itu benar, apakah kalian juga merasakan apa yang dijanjikan Tuhanmu itu benar? Maka Nabi ditegur oleh Umar: Ya Rasulallah, mengapakah engkau bicara dengan jasad yang tidak bernyawa? Jawab Nabi: Demi Allah yang jiwaku di TanganNya, kalian tidak lebih mendengar terhadap suaraku ini dari mereka.” (Bukhari dan Muslim)

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/04/23/537/alam-kubur/#ixzz2rCezR2Fe

Galeri FOTO

Foto Album

Moco PAT

Pada umumnya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula. Seorang pakar Sastra Jawa, Arps menguraikan beberapa arti-arti lainnya di dalam bukunya Tembang in two traditions.
Selain yang telah disebut di atas ini, arti lainnya ialah bahwa -pat merujuk kepada jumlah tanda diakritis (sandhangan) dalam aksara Jawa yang relevan dalam penembangan macapat.
Kemudian menurut Serat Mardawalagu, yang dikarang oleh Ranggawarsita, macapat merupakan singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah "melagukan nada keempat". Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu. Konon maca-sa termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri. Ternyata ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama tembang gedhé. Maca-ro termasuk tipe tembang gedhé di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara. Maca-tri atau kategori yang ketiga adalah tembang tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya. Dan akhirnya, macapat atau tembang cilik diciptakan oleh Sunan Bonang dan diturunkan kepada semua wali.

Sejarah macapat

Secara umum diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah.Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh ada sebuah teks dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal dengan judul Kidung Ranggalawé dikatakan telah selesai ditulis pada tahun 1334 Masehi.Namun di sisi lain, tarikh ini disangsikan karena karya ini hanya dikenal versinya yang lebih mutakhir dan semua naskah yang memuat teks ini berasal dari Bali.
Sementara itu mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan kakawin, mana yang lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda. Prijohoetomo berpendapat bahwa macapat merupakan turunan kakawin dengan tembang gedhé sebagai perantara. Pendapat ini disangkal oleh Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini macapat sebagai metrum puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin. Maka macapat baru muncul setelah pengaruh India semakin pudar.

Struktur macapat

Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh dibagi menjadi beberapa pada. Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.
Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan. Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra. Sementara setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Setiap gatra jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula.
Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan. Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.

Jenis metrum macapat

Jumlah metrum baku macapat ada limabelas buah. Lalu metrum-metrum ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Kategori tembang cilik memuat sembilan metrum, tembang tengahan enam metrum dan tembang gedhé satu metrum.

Tabel macapat

Supaya lebih mudah membedakan antara guru gatra, guru wilangan lan guru lagu dari tembang-tembang tadi, maka setiap metrum ditata di dalam sebuah tabel seperti di bawah ini[17]:
Metrum
Gatra
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
Tembang cilik / Sekar alit
Dhandhanggula
10
10i 10a 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a
Maskumambang
4
12i 6a 8i 8a





Sinom
9
8a 8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12a
Kinanthi
6
8u 8i 8a 8i 8a 8i



Asmarandana
7
8i 8i 8a 7a 8u 8a


Durma
7
12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i


Pangkur
7
8a 11i 8u 7a 12u 8a 8i


Mijil
6
10i 6o 10é 10i 6i 6u



Pocung
4
12u 6a 8i 12a





Tembang tengahan / Sekar madya
Jurudhemung
7
8a 8u 8u 8a 8u 8a 8u


Wirangrong
6
8i 8o 10u 6i 7a 8a



Balabak
6
12a 12a 12u



Gambuh
5
7u 10u 12i 8u 8o




Megatruh
5
12u 8i 8u 8i 8o




Tembang gedhé / Sekar ageng
Girisa
8
8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a

Contoh penggunaan metrum macapat

Di bawah ini disajikan contoh-contoh penggunaan setiap metrum macapat dalam bahasa Jawa beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Dijelaskan pula tokoh penciptanya menurut legenda dan watak setiap metrum

Dhandhanggula

Dhandhanggula adalah sebuah metrum yang memiliki watak luwes. Metrum ini diatribusikan kepada Sunan Kalijaga.
Contoh (Serat Jayalengkara):
Bahasa Jawa Bahasa Indonesia
Prajêng Medhang Kamulan winarni, Diceritakan mengenai kerajaan Medhang Kamulan,
narèndrâdi Sri Jayalengkara, ketika sang raja agung Sri Jayalengkara
kang jumeneng nerpatiné, yang bertahta sebagai raja
ambek santa budi alus, memiliki pikiran tenang dan berbudi halus
nata dibya putus ing niti, raja utama pandai dalam ilmu politik
asih ing wadya tantra, mengasihi para bala tentara
paramartêng wadu, sayang terhadap para wanita
widagdêng mring kasudiran, teguh terhadap jiwa kepahlawanan
sida sedya putus ing agal lan alit, berhasil dalam berkarya secara lahiriah maupun batiniah
tan kènger ing aksara. tidak terpengaruh sihir.

Al-Qur'an

Empat Level Membaca Al-Quran

Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com - “Bacalah…”, “Iqra’…” Perintah pertama, wahyu pertama, dan kunci pertama Allah ajarkan untuk Nabi Muhammad SAW dan Umatnya. Apa artinya?
Ada arti yang luar biasa strategis diinginkan dengan agama Nabi Muhammad SAW ini. Untuk bisa lebih memahami pentingnya perintah membaca ini, mari kita bandingkan Umat Muhammad dengan umat-umat sebelumnya.
Untuk meyakinkan membuat Fir’aun dan kaum Nabi Musa, Allah menunjukkan kemukjizatan yang irasional, yaitu tongkat yang dapat berubah menjadi ular. Nabi Isa, Allah berikan kemampuan menghidupkan orang mati, membuat orang buta bisa melihat, menyembuhkan penyakit lepra yang di kala itu tidak dapat disembuhkan sama sekali. Bagaimana dengan Umat Muhammad SAW? Rasulullah bersabda:
“Tidak seorang nabi pun melainkan diberikan (mukjizat) yang membuat manusia beriman terhadap hal-hal seperti itu. Sedangkan yang diberikan kepadaku adalah wahyu yang diwahyukan kepadaku. Dan aku berharap menjadi (nabi) yang paling banyak pengikutnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Mukjizat Nabi Muhammad SAW bukan hal-hal yang irasional. Nabi Muhammad mengajak umat manusia beriman atas dasar kerja akal dan proses berpikir rasional. Mari renungkan perintah Allah untuk membaca tersebut:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Apa yang diperintahkan untuk dibaca? Tidak disebutkan dalam ayat tersebut. Karena yang lebih penting adalah bagaimana proses membaca dilakukan. Sangat banyak hal-hal yang harus dibaca. Supaya proses membaca menjadi efektif dan bermanfaat, Allah ajarkan adalah bagaimana kita membaca. Karena itu secara gamblang Allah jelaskan how to-nya: “Bacalah dengan nama Sang Pencipta.” Proses membaca yang bermanfaat yang mendorong pada keimanan kepada Sang Pencipta. Kegiatan membaca yang efektif adalah membaca yang dimulai dengan keberkahan iman kepada Allah. Allah yang menciptakan manusia. Allah merupakan sumber ilmu. Allah yang dengan murah hati memberikan karunia-Nya kepada hamba-Nya.
Bahan bacaan yang paling baik adalah al-Qur’an. Kualitas bahan bacaan selalu ditentukan oleh kualitas sumbernya. Membaca tulisan yang dikarang seorang pakar di bidangnya tentu jauh bermanfaat dibandingkan tulisan yang dikarang oleh orang awam.  Lalu bagaimana dengan bahan bacaan yang berasal dari Sang Pencipta Langit dan Bumi?
Membaca al-Qur’an berarti mengkonsumsi informasi yang paling berkualitas yang ada pada umat manusia. Membaca al-Qur’an berarti menyerap ilmu yang paling tinggi yang mungkin diraih manusia. Membaca al-Qur’an berarti melakukan peningkatan cakrawala dengan sarana terbaik. Membaca al-Qur’an berarti meningkatkan kualitas diri dengan nara sumber yang paling ideal yang tidak terbayangkan ketinggian kualitasnya.
Ada empat level dalam membaca al-Qur’an. Semuanya penuh berkah dan manfaat. Semakin tinggi level membaca seseorang, semakin besar manfaat yang diperoleh.
Level Pertama: Mengucapkan al-Qur’an dengan Benar
Rasulullah SAW, para sahabatnya dan para ulama sangat memberikan perhatian yang besar terhadap bagaimana mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an secara baik dan benar. Karena bentuk ideal transfer informasi adalah penyampaian redaksi secara tepat. Kesalahan pengucapan berakibat buruk pada proses transformasi informasi. Kalimat-kalimat ilahi dalam al-Qur’an bukan saja memuat informasi dan ajaran kebenaran dan keselamatan, tetapi juga memuat keindahan bahasa, ketinggian kualitas sastra, serta keagungan suasana ilahiyyah. Karena itu dalam membaca al-Qur’an sangat dianjurkan untuk memperhatikan adab-adabnya, seperti harus dalam keadaan suci, berpakaian menutup aurat, membaca dengan khusyu’, memperindah suara semampunya, dan memperhatikan tajwidnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Perindahlah al-Qur’an dengan suara kalian.” (HR Abu Daud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Al-Qur’an adalah kata-kata dari Allah yang Maha Indah, karena itu semaksimal mungkin kita menerjemahkan keindahan tersebut dengan cara kita membaca. Meskipun demikian bukan berarti mereka yang tidak mampu mengucapkan al-Qur’an dengan fasih mereka tidak boleh membaca al-Qur’an. Cukup bagi seorang mukmin untuk berusaha sesuai dengan kemampuannya. Rasulullah SAW bersabda:
“Orang mahir membaca al-Qur’an, bersama dengan malaikat yang mulia dan berbakti. Sedangkan orang yang membaca al-Qur’an terbata-bata dan mengalami kesulitan (mengucapkannya) dia mendapatkan dua pahala.” (HR Muslim)
Subhanallah, ini adalah kemurahan Allah SWT. Yang membaca al-Qur’an dengan penuh kesulitan dan terbata-bata Allah justru memberi dua pahala, yaitu pahala mengucapkan al-Qur’an dan pahala menghadapi kesulitan. Meskipun demikian yang mahir tetap mendapatkan kelebihan derajat yaitu kemuliaan bersama dengan para malaikat.
Level Kedua, Membaca dengan Pemahaman
Maksud dari semua perkataan adalah pemahaman terhadap makna dari perkataan tersebut. Demikian juga al-Qur’an. Allah menurunkan al-Qur’an kepada umat manusia bukan sekadar dibunyikan tanpa dipahami. Al-Qur’an bukanlah mantera-mantera yang diucapkan dengan komat-kamit. Al-Qur’an adalah petunjuk. Dan al-Qur’an tidak akan menjadi petunjuk jika maknanya tidak dipahami. Allah mengecam Ahlul Kitab yang merasa memiliki kitab suci tetapi tidak mengetahui isinya, Allah berfirman:
“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al kitab (Taurat), kecuali angan-angan belaka dan mereka hanya menduga-duga.” (QS.Al-Baqarah: 78).
Allah menyebut Ahlul Kitab sebagai “ummiyyin” padahal mereka mampu membaca dan menulis, tetapi karena mereka tidak mengetahui isi Kitab Suci mereka Allah menyebut mereka sebagai buta huruf. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa makna kata “amani” artinya membaca. Berdasarkan tafsir ini, kita memahami bahwa membaca saja tidak membuat kita mendapatkan hidayah jika kita tidak memahami dan mengetahui makna kalamullah.
Untuk memahami al-Qur’an tentu saja perlu mempelajari bahasanya. Bagi yang tidak mengetahui bahasa Arab, membaca terjemahan atau tafsir berbahasa Indonesia bisa dijadikan pengganti sebagai langkah darurat. Saya katakan itu adalah langkah darurat, karena ketinggian bahasa al-Qur’an tidak mungkin diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Terjemahan al-Qur’an hakikatnya hanyalah terjemahan dari pemahaman sang penerjemah. Bahkan jika kita tanya kepada siapapun yang menerjemahkan al-Qur’an, pasti dia akan mengatakan tidak semua makna yang dikandung oleh lafal-lafal al-Qur’an dapat ditemukan padanannya pada bahasa lain.
Setingkat lebih baik dari terjemah al-Qur’an adalah terjemahan tafsir al-Qur’an, atau tafsir yang memang ditulis dalam bahasa Indonesia. Siapapun yang ingin mempelajari isi al-Qur’an tidak boleh melewatkan kitab-kitab tafsir. Seorang yang ahli bahasa Arab pun tidak akan tepat memahami al-Qur’an jika tidak mempelajari kitab tafsir. Karena sebagaimana halnya semua bahasa yang hidup adalah dinamis. Tidak semua kata-kata yang dipakai orang zaman sekarang memiliki makna yang sama dengan makna yang dipakai pada zaman turunnya al-Qur’an. Misalnya, kata ‘sayyaroh’ pada zaman ini berarti mobil, sedangkan dalam al-Qur’an ‘sayyaroh’ berarti kafilah dagang. Kata ‘qoryah’ di zaman sekarang dipakai untuk makna desa, sedangkan dalam al-Qur’an artinya adalah kota atau negeri.
Di sisi lain kitab-kitab tafsir beragam kualitasnya sesuai dengan kapasitas keilmuan penulisnya. Yang paling dekat dengan kebenaran adalah yang paling banyak menggali pemahaman dari wahyu itu sendiri. Metode yang paling baik dalam menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an itu sendiri, kemudian menafsirkan al-Qur’an dengan Hadits Nabi, kemudian menafsirkan al-Qur’an dengan perkataan tabi’in, kemudian menafsirkan al-Qur’an dengan kaidah bahasa. Kitab tafsir yang paling baik menerapkan metode ini adalah Tafsir Ibnu Katsir.
Dikarenakan al-Qur’an kitab yang universal, maka setiap masa selalu membutuhkan penafsiran yang mengupas al-Qur’an terkait dengan isu-isu kontemporer. Pada abad ke-19 dan ke-20 muncul tafsir-tafsir kontemporer seperti al-Manar karya Rasyid Ridho, at-Tahrir wat-Tanwir karya Ibnu Asyur, Adhwa-ul Bayan karya Muhammad Amin asy-Syinqithy, dan yang fenomenal adalah Fi Zhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb.
Level Ketiga, Membaca dengan Tadabbur
Al-Qur’an mendorong manusia untuk memfungsikan akal dan hatinya lebih jauh dari sekadar memahami, walaupun level memahami al-Qur’an adalah level aktivitas otak yang tinggi. Jika seseorang memahami Kalamullah berarti dia telah mencerna informasi yang luar biasa tinggi kualitasnya. Tetapi ternyata Allah menginginkan kapasitas pemikiran seorang muslim bergerak lebih jauh. Al-Qur’an mendorong akal dan hati untuk mentadabburi al-Qur’an. Tadabbur berarti deep thinking, merenungi, memperhatikan secara mendalam, menggali hakikat yang tersimpan di balik kata-kata, dan menyingkap horizon di belakang makna.
Hal itu karena hakikat-hakikat yang terangkum dalam al-Qur’an tidak semuanya hakikat yang permukaan yang sederhana dan mudah ditangkap. Banyak hakikat-hakikat yang membutuhkan pemikiran yang dalam, perenungan yang jauh serta pandangan yang tajam. Dan hal itu tidak mungkin didapatkan hanya sekadar dengan menangkap lapisan luar lafal-lafal al-Qur’an. Lebih jauh bahkan Allah menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuan agar manusia mentadabburi ayat-ayat-Nya. Allah berfirman:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mentadabburi ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shad: 76).
Untuk mentadabburi ayat-ayat Allah diperlukan hati yang bersih dan pemikiran yang tajam. Hati yang dipenuhi oleh hawa nafsu tidak akan mampu melihat secara jernih, karena syahwat akan banyak berbicara dan mengendalikan hati.
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. al-Jatsiyah: 23). 
Ayat-ayat Allah yang terbentang di alam semesta juga hanya dapat ditangkap dan dipahami oleh hati-hati yang bersih.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulil Albab)” (QS. Ali Imran: 190). 
Level Keempat, Membaca dengan Khusyu’
Masih ada plafon yang lebih tinggi di atas tadabbur? Ya, al-Qur’an terus mendorong manusia untuk terbang tinggi menuju ketinggian ruh, masuk ke alam penuh dengan keagungan ilahi dengan hati khusyu’ ruh sang mukmin menyaksikan keagungan Allah.
Setelah hati mampu melihat alam di belakang dunia materi, memahami hakikat di balik fenomena alam, ketika tirai tersingkap, hati mukmin yang mentadabburi al-Qur’an luluh. Hati tunduk melihat kebesaran Allah. Kulit bergetar merasakan keagungan Hakikat Mutlak.
“Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. az-Zumar: 23). 
Orang-orang yang hatinya dipenuhi dengan ilmu ilahi, orang-orang yang kedalaman ilmunya kokoh akan bersujud tunduk, mata mereka akan memancarkan air mata kekhusyu’an setiap kali mereka diingatkan dengan ayat-ayat Allah, setiap kali hati mereka tersentuh dengan Kebenaran Ilahi Mutlak.  
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, (108) dan mereka berkata: “Maha suci Tuhan Kami, Sesungguhnya janji Tuhan Kami pasti dipenuhi”. (109) dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. al-Isra’: 107-109).

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/12/17/25371/empat-level-membaca-al-quran/#ixzz2rCgGZxM2