PANTAI CORO

Pantai Coro Apa yang menarik dari pantai
ini? Pantai yang memiliki panjang sekitar 400 meter, pasirnya berwarna
putih, bersih, dan lembut. Menjadikan Pantai Coro tidak kalah dengan
pantai lain yang ada di Jawa Timur. Selain itu daya tarik lain pada
pantai yang berjarak sekitar 1,5 km timur padepokan "Retjo Sewu" adalah
keberadaannya yang masih natural, belum banyak tergarap, serta ombak
pantai juga tidak terlalu besar.
Lebih dari itu air laut pantai sangat
jernih sehingga permukaan dasar laut bisa dilihat dengan mata telanjang,
seperti semua karang dan tumbuhan laut.
Di pantai yang menurut cerita dulunya
banyak hewan coro (kecoak), juga banyak sekali dijumpai batu karang,
tumbuhan dan hewan laut. Pengunjung bisa melihat dengan jelas tumbuhan
dan hewan laut hidup di batu-batu karang di sepanjang pantai yang
berbentuk teluk tersebut. Dan semua itu akan lebih jelas terlihat ketika
air laut mulai surut.
Bagi mereka yang suka mengoleksi aneka
kulit kerang bisa datang ke tempat ini, karena banyak sekali jenis kulit
kerang yang terdampar di bibir pantai, begitu juga dengan batu karang
yang terdapat di hamparan pasir putih yang luas
CANDI PANAMPEHAN

Candi Penampehan yang terletak dilereng
Gunung Wilis, Dusun Turi Desa Geger kecamatan Sendang Kabupaten
Tulungagung merupakan candi Hindu kuno peninggalan kerajaan Mataram kuno
dibangun pada tahun saka 820 atau 898 Masehi. Arti penampehan itu
sendiri konon berasal dari Bahasa Jawa yang berarti antara penolakan dan
penerimaan yang bersyarat demikian tafsirnya.
Candi penampehan merupakan candi
pemujaan dengan tiga tahapan (teras) yang dipersembahkan untuk memuja
Dewa Siwa, dimana konon peresmian candi ini dengan mengadakan pagelaran
Wayang (ringgit). Selanjutnya era demi era pergolakan perebutan
kekuasaan dan politik di tanah jawa berganti mulai dari kerajaan Mataram
Kuno, Kediri, Singosari, hingga Majapahit sekitar abad 9-14 M, candi
ini terus digunakan untuk bertemu dan memuja Tuhan, Sang Hyang Wenang.
Di dalam kompleks Candi terdapat
beberapa Arca yaitu arca Siwa dan Dwarapala, tetapi karena ulah Manusia
yang tidak mencintai dan menghargai Heritage dan legacy dari nenek
moyang beberapa arca telah hilang dan rusak. Untuk mengamankan beberapa
arca yang tersisa yaitu arca siwa sekarang diletakan di museum situs
Purbakala Majapahit Trowulan Jawa timur.
Selain Arca terdapat sebuah prasasti
kuno yaitu Prasasti Tinulat tertulis dengan menggunakan huruf Pallawa
dengan stempel berbentuk lingkaran di bagian atas prasasti. Berdasarkan
Penuturan Bu Winarti umur 44 Tahun, juru kunci Candi Penampehan,
prasasti itu berkisah tentang Nama-nama raja Balitung, serta seorang
yang bernama Mahesa lalatan, siapa dia? Sejarah lisan maupun artefak
belum bisa menguaknya. Serta seorang putri yang konon bernama Putri
Kilisuci dari Kerajaan Kediri. Selain menyebutkan nama, prasasti itu
juga memberikan informasi tentang Catur Asrama yaitu sistem sosial
masyarakat era itu di mana pengklasifikasian masyarakat (stratifikasi)
berdasarkan kasta dalam agama Hindu yaitu Brahmana, Satria, Vaisya dan
Sudra.
Masih di kompleks candi Penampehan
terdapat 2 kolam kecil yang bernama Samudera Mantana (pemutaran air
samudera), di mana menurut pengamatan empiris selama berpuluh-puluh oleh
Bu Winarti, 2 kolam tersebut merupakan indikator keadaan air di Pulau
Jawa. Kolam yang sebelah utara merupakan indikator keadaan air di Pulau
Jawa bagian utara dan Kolam sebelah selatan merupakan indikator keadaan
air di Pulau Jawa bagian selatan. Berdasarkan penuturan Bu Winarti,
Apabila sumber air di kedua kolam tersebut kering berarti keadaan air
dibawah menderita kekeringan, sebaliknya bila kedua atau salah satu
kolam tersebut penuh air berarti keadaan air di bawah sedang banjir.
PANTAI SINE

Pantai yang terletak di Desa Kalibatur
Kecamatan Kalidawir atau sekitar kurang lebih 35 km kearah selatan dari
kota Tulungagung ini mempunyai keindahan dan panorama alam yang begitu
indah. Pantai Sine ini merupakan pantai bebas dengan ombak yang cukup
besar selain itu Pantai Sine ini merupakan pantai alam berbentuk teluk
di pesisir selatan Kabupaten Tulungagung.
Di sebelah utara terdapat tebing dengan
pancuran alami yang mana airnya berasal dari mata air di atasnya dan di
sebelah selatan Pantai Sine terdapat hutan yang masih terlindungi dan
keberadaan pasar ikan tradisional yang pastilah menambah keindahan
Pantai Sine. Walaupun menghabiskan waktu yang lumayan lama dari pusat
kota tetapi perjalanan menuju wisata Pantai ini sangatlah menyenangkan
karena melewati pegunungan dan perbukitan yang sangat indah.
Selain menyajikan keindahan alami Pantai
Sine ini juga menyajikan keragaman budaya lokal masyarakat sekitar,
misalnya kesenian wayang kulit yang dipertunjukkan setiap tanggal satu
suro, dan ada juga prosesi larung sesaji yang berguna untuk menangkal
mara bahaya ataupun acara mencuci atau memandikan gaman seperti keris
dan tombak dari para sesepuh masyarakat.
CANDI DADI

Komplek Candi Dadi berada pada
ketinggian 360 m dari permukaan laut, berada di areal kehutanan di
lingkungan RPH Kalidawir. Candi ini memiliki candi tunggal yang tidak
memiliki tangga masuk, hiasan, maupun arca. Candi tersebut berdiri tegak
pada puncak sebuah bukit di lingkungan pegunungan Walikukun. Denah
candi berbentuk bujursangkar dengan ukuran panjang 14 m, lebar 14 m, dan
tingi 6,50 m.
Bangunan berbahan batuan andesit itu
terdiri atas batur dan kaki candi. Berbatur tinggi dan berpenampil pada
setipa sisinya. Bagian atas batur merupakan kaki candi yang berdenah
segi delapan, pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat yang
kemungkinan berfungfi sebagai sumuran. Diameter sumuran adalah 3,35
dengan kedalaman 3 m.
Dalam perjalanan ke lokasi ini dapat
dilihat sisa bangunan kuna yang masing-masing disebut Candi Urung, Candi
Buto dan candi Gemali. Candi-candi yang disebut belakangan dapat
dikatakan tidak terlihat lagi bentuknya, kecuali gundukan batuan
andesit, itupun sudah dalam jumlah yang sangat kecil yang menandai
keberadaannya dahulu.
Latar Belakang Sejarah
Berakhirnya kekuasaan Hayam wuruk juga
merupakan masa suram bagi kehidupan agama Hindu-Budha. Pertikaian
politik yang terjadi di lingkungan kraton memunculkan kekacauan, seiring
dengan munculnya agama Islam. Dalam kondisi yang demikian, penganut
Hindu-Budha yang berupaya menjauhkan diri dari pertikaian yang ada
melakukan pengasingan agar tetap dapat menjalankan kepercayaan/tradisi
yang dimilikinya.
Sebagian besar memilih bukit-bukit atau
setidaknya kawasan yang tinggi dan sulit dijangkau. Biasanya tempat baru
yang mereka pilih merupakan tempat yang jauh dari pusat keramaian
maupun pusat pemerintahan. Candi Dadi adalah salah satu dari karya
arsitektural masa itu, sekitar akhir abat XIV hingga akhir abat XV.
CANDI SANGGRAHAN

Candi Sanggrahan terletak di Dusun
Sanggrahan, Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu. Secara umum kompleks
Candi Sanggrahan terdiri atas sebuah bangunan induk dan dua buah sisa
bangunan kecil lainnya. Bangunan induk menggunakan batuan andesit dengan
isian bata. Bangunan induk berukuran panjang 12,60 m, lebar 9,05 m, dan
tinggi 5,86 m. Bangunan ini terdiri atas empat tingkat yang
masing-masing berdenah bujursangkar dengan arah hadap ke barat.
Bangunan kecil yang berada disebelah
timur bangunan induk hanya tersisa bagian bawahnya saja. Di tempat ini
dulu terdapat lima buah arca Budha yang masing-masing memiliki posisi
mudra yang berbeda (demi keamanan arca tersebut sekarang tersimpan di
rumah Juru Pelihara).
Bangunan Candi Sanggrahan berada pada
teras/undakan berukuran 5,10 m x 42,50 m. Pagar penahan undakan itu
adalah bata setinggi tidak kurang dari dua meter.
Latar Belakang Sejarah
Para ahli sejarah menduga bahwa Candi
Sanggrahan dibangun sebagai tempat peristirahatan rombongan pembawa
jenazah pendeta wanita Budha kerajaan Majapahit bernama Gayatri yang
bergelar Rajapadmi. Jenazah itu dibawa dari Kraton Majapahit untuk
menjalani upacara pembakaran di sebuat tempat di sekitar Boyolangu.
Belakangan abu jenazahnya disimpan di Candi Boyolangu. Dimungkinkan
Candi Sanggrahan dibangun pada jaman Majapahit masa pemerintahan Raja
Hayam Wuruk (1359-1389 M).
Kompleks Goa Selomangleng yang menempati
areal kehutanan di lingkungan BKPH Kalidawir, atau tepatnya di Dusun
Sanggrahan Kidul, Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu, merupakan lereng
Jurang Sanggrahan yang cukup terjal. Berbatasan dengan kebun milik
penduduk, kompleks ini dapat dibedakan atas dua bagian, yakni bagian
yang sekarang agak datar yang berada di bagian bawah, serta bagian yang
terjal di bagian atas. Di bagian pertama itulah terdapat dua buah goa,
sedangkan sebuah candi terdapat di bagian kedua.
Ketiga kekunoan tersebut merupakan hasil
pengerjaan pada bongkahan batu besar, memenuhi hampir seluruh sisa
bagian atas batu. Goa pertama berada di bagian tanah yang relatif datar,
merupakan hasil pengerukan terhadap sebuah bongkah batu besar (monolit)
dengan bentuk mulut persegi empat sebanyak dua buah. Gua pertama
dihiasi dengan relief, sedangkan goa kedua tidak memilki relief. Lahan
yang ditempati bongkahan batu bergoa tersebut meliputi areal seluas 29,5
m x 26 m. Ukuran bagian dalam goa pertama adalah: panjang 360 cm, lebar
175 cm, dan dalam ceruk 380 cm. Mulut goa mengahadap ke arah arah
barat. Relief dipahatkan pada panel di dinding sisi timur dan utara.
Hiasan itu menggambarkan bagian dari cerita Arjunawiwaha, yakni ketika
Indra memerintahkan bidadarinya untuk menggoda Arjuna di Gunung
Indrakila.
Digambarkan pula adegan ketika bidadari
menuruni awan dari kahyangan ke bumi. Gua kedua terletak di bagian
selatan dari goa pertama, pada bongkah yang sama, tetapi pada posisi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan goa pertama. Goa yang di bagian
selatan ini menghadap ke selatan dan tidak memiliki hiasan apapun di
dalamnya. Ukurannya panjang 360 cm dan lebar 200 cm
Beberapa meter di sebelah timur goa
tersebut, pada tempat yang lebih tinggi terdapat bongkahan batu yang
dipahatkan kaki dan batur candi berdenah persegi empat dengan ukuran
panjang 490 cm dan lebar 475 cm. Dinding batur candi tersebut dihiasi
palang Yunani berbingkai bujursangkar.
Latar Belakang Sejarah
Secara khusus tidak dijumpai keterangan
yang dapat diacu untuk mengenal lebih dalam lagi latar belakang sejarah
situs tersebut. Menghubungkan kesamaan relief yang terdapat di goa
Selomangleng dengan yang dijumpai di Petirtaan Jalatunda, A. J. Bernet
Kempers menduga bahwa situs tersebut dibuat dan digunakan pada akhir
abad X. Sebaliknya, berdasarkan cara pemahatan dan penataan rambut
tokoh-tokohnya, Satyawati Suleiman, berpendapat bahwa goa tersebut
berasal dari masa awal Majapahit.
Di Tulungagung, relief yang dipahatkan
mengambil cerita bagian dari Arjunawiwaha, khususnya pada episode
penggodaan bidadari terhadap Arjuna yang sedang menjalankan tapa. Ini
mencerminkan kedekatan mereka akan wiracarita gubahan para pujangga
sejak zaman Kerajaan Kadiri. Sekaligus untuk mengingatkan mereka akan
laku yang sedang ditekuninya, serta harapan bahwa kekuatan yang
terkandung dalam kisah cerita tersebut dapat terwujud.
Laut dan Waduk
KecamatanKalidawir |
|||||||||||||||||||||
![]()
Pantai Sine terletak di desa Kalibatur, kecamatan Kalidawir, 35 Km
arah selatan kota Tulungagung. Pantai Sine ini merupakan pantai bebas
dengan ombak yang cukup besar selain itu Pantai Sine ini merupakan
pantai alam berbentuk teluk di pesisir selatan Kabupaten Tulungagung.
Selain menyajikan keindahan alami Pantai Sine ini juga menyajikan
keragaman budaya lokal masyarakat sekitar, seperti kesenian wayang kulit
yang dipertunjukkan setiap tanggal satu suro. Ditambah lagi, prosesi
larung sesaji yang dipercaya untuk mengusir semua hal-hal buruk ataupun
acara mencuci atau memandikan senjata kuno seperti keris dan tombak dari
para sesepuh masyarakat.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar