Selain yang telah disebut di atas ini, arti lainnya ialah bahwa -pat merujuk kepada jumlah tanda diakritis (sandhangan) dalam aksara Jawa yang relevan dalam penembangan macapat.
Kemudian menurut Serat Mardawalagu, yang dikarang oleh Ranggawarsita, macapat merupakan singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah "melagukan nada keempat". Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu. Konon maca-sa termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri. Ternyata ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama tembang gedhé. Maca-ro termasuk tipe tembang gedhé di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara. Maca-tri atau kategori yang ketiga adalah tembang tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya. Dan akhirnya, macapat atau tembang cilik diciptakan oleh Sunan Bonang dan diturunkan kepada semua wali.
Sejarah macapat
Secara umum diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah.Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh ada sebuah teks dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal dengan judul Kidung Ranggalawé dikatakan telah selesai ditulis pada tahun 1334 Masehi.Namun di sisi lain, tarikh ini disangsikan karena karya ini hanya dikenal versinya yang lebih mutakhir dan semua naskah yang memuat teks ini berasal dari Bali.Sementara itu mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan kakawin, mana yang lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda. Prijohoetomo berpendapat bahwa macapat merupakan turunan kakawin dengan tembang gedhé sebagai perantara. Pendapat ini disangkal oleh Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini macapat sebagai metrum puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin. Maka macapat baru muncul setelah pengaruh India semakin pudar.
Struktur macapat
Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh dibagi menjadi beberapa pada. Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan. Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra. Sementara setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Setiap gatra jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula.
Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan. Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.
Jenis metrum macapat
Jumlah metrum baku macapat ada limabelas buah. Lalu metrum-metrum ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Kategori tembang cilik memuat sembilan metrum, tembang tengahan enam metrum dan tembang gedhé satu metrum.Tabel macapat
Supaya lebih mudah membedakan antara guru gatra, guru wilangan lan guru lagu dari tembang-tembang tadi, maka setiap metrum ditata di dalam sebuah tabel seperti di bawah ini[17]:Metrum | |||||||||||
Tembang cilik / Sekar alit | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Dhandhanggula | 10i | 10a | 8é | 7u | 9i | 7a | 6u | 8a | 12i | 7a | |
Maskumambang | 12i | 6a | 8i | 8a | |||||||
Sinom | 8a | 8i | 8a | 8i | 7i | 8u | 7a | 8i | 12a | ||
Kinanthi | 8u | 8i | 8a | 8i | 8a | 8i | |||||
Asmarandana | 8i | 8i | 8é | 8a | 7a | 8u | 8a | ||||
Durma | 12a | 7i | 6a | 7a | 8i | 5a | 7i | ||||
Pangkur | 8a | 11i | 8u | 7a | 12u | 8a | 8i | ||||
Mijil | 10i | 6o | 10é | 10i | 6i | 6u | |||||
Pocung | 12u | 6a | 8i | 12a | |||||||
Tembang tengahan / Sekar madya | |||||||||||
Jurudhemung | 8a | 8u | 8u | 8a | 8u | 8a | 8u | ||||
Wirangrong | 8i | 8o | 10u | 6i | 7a | 8a | |||||
Balabak | 12a | 3é | 12a | 3é | 12u | 3é | |||||
Gambuh | 7u | 10u | 12i | 8u | 8o | ||||||
Megatruh | 12u | 8i | 8u | 8i | 8o | ||||||
Tembang gedhé / Sekar ageng | |||||||||||
Girisa | 8a | 8a | 8a | 8a | 8a | 8a | 8a | 8a |
Contoh penggunaan metrum macapat
Di bawah ini disajikan contoh-contoh penggunaan setiap metrum macapat dalam bahasa Jawa beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Dijelaskan pula tokoh penciptanya menurut legenda dan watak setiap metrumDhandhanggula
Dhandhanggula adalah sebuah metrum yang memiliki watak luwes. Metrum ini diatribusikan kepada Sunan Kalijaga.Contoh (Serat Jayalengkara):
Bahasa Jawa | Bahasa Indonesia |
Prajêng Medhang Kamulan winarni, | Diceritakan mengenai kerajaan Medhang Kamulan, |
narèndrâdi Sri Jayalengkara, | ketika sang raja agung Sri Jayalengkara |
kang jumeneng nerpatiné, | yang bertahta sebagai raja |
ambek santa budi alus, | memiliki pikiran tenang dan berbudi halus |
nata dibya putus ing niti, | raja utama pandai dalam ilmu politik |
asih ing wadya tantra, | mengasihi para bala tentara |
paramartêng wadu, | sayang terhadap para wanita |
widagdêng mring kasudiran, | teguh terhadap jiwa kepahlawanan |
sida sedya putus ing agal lan alit, | berhasil dalam berkarya secara lahiriah maupun batiniah |
tan kènger ing aksara. | tidak terpengaruh sihir. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar